Sunday, April 21, 2013

MENCARI PRESIDEN GILA 2014 - (bagian 2)




Sehabis nulis artikel diatas bagian I, seorang teman politik jaman reformasi dulu, menilpun saya. Minta bertemu dan makan siang sembari diskusi. Awalnya saya merasa agak aneh. Maklum terakhir saya ketemu beliau di airport Bangkok, dan itupun sudah lebih dari 5 tahun yang lalu. Dan ketika bertemu, beliau tidak sendirian. Mereka berempat. 3 teman beliau semuanya berkaca mata. Tampangnya sangat intelek, macam profesor diperguruan tinggi. Teman saya mengatakan bahwa ia kini bekerja disebuah organisasi 'think-tank'. Yang tidak jelas mewakili siapa dan buat siapa.

Saat kita berdiskusi, topiknya memang berawal dari artikel saya. Salah satu diantara mereka bercerita tentang Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008, tentang persyaratan pengajuan calon presiden. Pasal itu mengatur parpol atau gabungan parpol dapat mengusung capres dan cawapres jika memiliki kursi minimal 20 persen dari total kursi di DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional. Awalnya saya tidak menaruh banyak perhatian pada masalah ini. Namun setelah salah satu teman saya memaparkan peta politik saat ini, barulah bulu kuduk saya setengah berdiri. Karena kalau anda mau mencoba berhitung, partai politik yang bisa meraih suara sebesar itu sangat terbatas sekali. Optimisnya maksimum 1 atau 2. Sisanya kalau mau mencalonkan presiden dan calon wakil presiden, mereka harus mau tidak mau berkoalisi. Ini perhitungan yang sangat runyam dan sangat nyelimet. 2014 jelas sangat mengkhawatirkan.

Mari dengan kepala dingin kita belajar berhitung. Pertama hanya partai besar yang bisa mendulang 25% suara di Pemilu. Tahun 2009, ada 44 partai politik yang ikut Pemilu. 3 besar adalah Partai Demokrat = 20,85% lalu Golkar = 14,45% dan PDI-P = 14,03%. Tahun 2014 konon ada 12 partai politik yang bakal ikut bertarung di Pemilu. Karena jumlah partai berkurang, diatas kertas 3 partai terbesar otomatis bakal mendapat suara limpahan dari partai-partai kecil yang tidak lagi ikut pemilu. Artinya apabila mau lolos batas ambang 25%, maka peluang terbesar semestinya bakal diraih Demokrat, Golkar dan PDI-P. Masalahnya Demokrat mengalami sejumlah gonjang ganjing selama hampir 4 tahun terakhir. Bisa saja masyarakat pemilih, akan tidak lagi memilih Demokrat. Terlebih SBY sudah tidak dapat lagi dicalonkan menjadi Presiden. Besar kemungkinan Demokrat akan turun jauh dalam perolehan suara. Golkar dan PDI-P memiliki gonjang ganjing yang jauh lebih sepi. Namun dengan Ical masih bermasalah di Lapindo, barangkali Golkar tidak akan beringsut banyak dibanding tahun 2009. Hanya PDI-P yang barangkali punya potensi menaik-kan jumlah perolehan suara di tahun 2014. Berapa banyak, sangat sulit kita tebak.

Kalau dalam pemasaran, semuanya bergantung dalam 12 bulan mendatang. Andaikata Demokrat, Golkar dan PDI-P, ibaratnya sebuah merek, mampu melakukan "brand activation", yang sexy, unik dan khas. Maka bisa saja perolehan suara mereka tetap naik dan lolos batas ambang 25%. Bila tidak, mereka akan naik secara marjinal, karena jumlah pilihan yang berkurang dari 44 partai ke 12 partai saja.

Kekuatan kedua adalah gabungan partai Islam. Tahun 2009 - PKS,PAN,PKB dan PPP mendulang suara gabungan hampir 25%. Namun dengan PKS dirundung sangat banyak gonjang-ganjing, kemungkinan suaranya akan beralih ke sisa tiga partai lain-nya. Apapun yang terjadi umat Islam harus menentukan suaranya nanti ditahun 2014. Memberikan suara ke partai Islam atau memberikan suara ke partai besar lain-nya. Peluangnya adalah apabila ada seorang pemimpin yang sangat kharismatik dan mampu mengayomi ke 4 partai itu dan membentuk sebuah koalisi Islam Nasional, bisa saja ke-empat partai itu mendulang suara diatas 30% atau malah lebih. Masalahnya siapa tokoh itu ? Yang sekaligus bisa menjaga mereka berempat akur selama 6 tahun mendatang. Karena koalisi partai politik di Indonesia terkenal rapuh dan mudah retak.

Sisanya adalah kuda hitam seperti Nasdem, Gerindra (4,46%) dan Hanura (3,77%). Berapa yang bakal mereka peroleh ? Gerinda dengan Prabowo jelas akan naik perolehan-nya di tahun 2014. Gerindra yang juga aktif memasang iklan untuk menjaring caleg, barangkali akan punya komposisi yang unik. Hanya saja mereka belum mengumumkan siapa-siapa saja tokoh nasional yang berhasil mereka jaring. Agar Prabowo bisa melangkah langsung ke calon presiden, maka Gerindra butuh 25% perolehan suara, yang mungkin akan sangat sulit. Apabila Prabowo melakukan koalisi, karena suaranya tidak cukup, kemungkinan besar Prabowo harus puas hanya menjadi cawapres seperti tahun 2009 kemarin. Dan ini tetap menjadi perhitungan sangat sulit.

Kongsi Hary Tanoe dan Wiranto di Hanura menjadi kuda hitam yang cukup menarik. Pertama apakah kongsi ini bakal tetap utuh hingga tahun 2014 ? Bila ya, apakah Hary Tanoe bisa merangkul suara dan simpati dari golongan keturunan Tionghoa ? Kalau dua faktor ini terpenuhi, maka Hanura bisa saja naik kelas ditahun 2014 dan punya suara yang sangat signifikan. Kuda hitam yang terakhir adalah Nasdem. Sangat sulit diramalkan, tapi bisa saja mereka jadi kekuatan politik baru.

Melihat perhitungan ini, dan kalau kita dipaksa memilih dari apa yang ada dan apa yang bakal disodorkan pada kita, rasanya ibarat makanan, sudah hampir basi dan tidak menarik lagi. Padahal Indonesia butuh pemimpin baru yang bisa meletakan dasar-dasar baru menuju Indonesia 2020. Pemimpin yang punya visi besar, untuk menjadikan Indonesia mercu suar ASIA yang baru setelah, Jepang, Korea dan China. Kita butuh itu !

Teman saya, dan rekan-rekan-nya mengatakan Indonesia harus punya pilihan lain. Tapi dengan sistim politik yang ada sekarang ini rasanya sangat sukar. Kepemimpinan Nasional kita disandera oleh sistim politik yang ada saat ini. Saya cuma tertawa mendengarnya. Rasanya benar juga. Kita semakin banyak mendengar betapa kepemimpinan politik di negeri ini yang semakin dilanggengkan menjadi warisan keluarga. Kata teman saya sudah mirip seperti perusahaan keluarga. Dimana anak dan cucu secara gotong royong mengurus perusahaan. Dan pimpinan perusahaan diwariskan hanya berdasarkan garis keturunan. Partai politik di negeri ini juga semakin hari cenderung semakin seperti perusahaan keluarga. Anak, ipar, mantu, dan keponakan ramai-ramai ikut mengurus partai. Yang juga semakin parah, adalah jabatan bupati, walikota, dan gubernur, di negeri ini mulai juga diwariskan kepada suami atau istri. Indonesia seperti miskin dan melarat tokoh pemimpin. Sebuah kemiskinan yang perlu kita dobrak bersama.

Esok harinya, pengalaman diatas saya cerita-kan dengan Mpu Peniti, mentor spiritual saya. Beliau ikut prihatin. Sebuah kelumpuhan yang fatal. Begitu komentar beliau. Lalu beliau memberikan komentar bagaimana dalam olah raga kita juga gagal menemukan bibit-bibit berprestasi. Padahal penduduk kita sangat banyak. Apabila kita serius mencari - masa sih dari Sabang hingga Merauke, kita tidak bisa menemukan bibit bibit terbaik negeri ini ? Barangkali Mpu Peniti membang benar. Bahwa kita tidak serius mencari dan menanam. Kepemimpinan nasional negeri ini, bukan lagi soal tokoh tertentu. Tetapi harus menjadi sebuah upaya bersama-sama dari sebuah tradisi budi daya. Ibaratnya kita ingin punya kebun mangga super. Maka kita harus mencari bibit terbaik. Menyiapkan lahan. Lalu menanam. Memelihara. Hingga menghasilkan mangga berkualitas terbaik. Bilamana kita bisa melakukannya pada mangga, maka kita mestinya juga bisa melakukan terhadap calon pemimpin di negeri ini.


(bersambung bagian 3)










No comments: