Sunday, May 05, 2013

GANTUNGLAH CITA-CITA-MU SETINGGI LANGIT


Mpu Peniti, mentor spiritual saya - bertutur, "Dimana-pun kau berada dan dalam usia serta posisi apapun, jangan pernah berpikir bahwa hidupmu gagal, karena sesungguhnya hidup ini merupakan sebuah perlombaan maraton, yang belum selesai. Dan ketika engkau belum menyentuh garis finish, maka masih ada perjuangan dan masih ada harapan". Ucapan beliau pada saya ini, selalu menjadi pelita yang menerangi hidup saya setiapa kali saya menemukan ganjalan hidup.

Dan bahwa hidup ini adalah sebuah maraton, terasa seringkali benar adanya. Layaknya sebuah maraton, kita memerlukan persiapan sangat banyak. Mulai dari rencana hingga latihan. Rencana hidup adalah sesuatu yang seringkali terabaikan dan tidak pernah kita pikirkan. Sebuah titik awal yang penting tapi entah kenapa tidak pernah menjadi prioritas. Teman saya seorang pendidik, punya pengamatan yang menggelitik. Kata beliau, "ketika kita mulai sekolah - orang yang lebih tua selalu bertanya, apa cita-cita kita ?". Pertanyaan ini klasik. Maksud-nya baik, yaitu memotivasi kita agar punya cita-cita tinggi. Seperti pameo, gantunglah cita-cita-mu setinggi langit. Lalu saat belia itu, kita biasanya menjawab dengan 2 jawaban populer, menjadi dokter, atau insinyur. Selebihnya kita ada juga jawaban yang lebih bergengsi seperti pilot atau presiden. Percaya atau tidak itu cuma jawaban kebiasaan. Yang terlontar tanpa pikir panjang. Karena memang kita dituntut menjawab seperti itu. Nah, teman saya bertanya, berapa teman sekolah saya yang akhirnya benar-benar menjadi dokter dan insinyur ? Saya hitung-hitung ternyata kurang dari 10%. Saya jadi ikut terbahak.

Lanjut teman saya, ketika masuk sekolah dan belajar disekolah, barangkali kita sudah melupakan cita-cita kita. Pelajaran sekolah yang begitu banyak, hanya bertujuan satu. Yaitu agar kita berhasil memenuhi target kurikulum dan punya angka ulangan yang bagus, dan naik kelas. Pengalaman saya sekolah dasar dan sekolah lanjutan pertama, hanya membuat kita lelah, berusaha mengisi otak kita dengan macam-macam pengetahuan. Tapi tidak ada satu-pun yang punya peta jelas, untuk mempersiapkan masa depan kita. Sekolah saat itu, tidak membuat kita punya perasaan penasaran, menjadikan kita manusia yang kreatif, dan mendidik kita menjadi manusia mandiri yang inovatif. Sekolah hanya menjadi sebuah kegiatan membaca, menulis, menghafal dan lulus ujian.

Yang sangat parah, adalah ketika kita masuk sekolah lanjutan atas. Setelah setahun kita sekolah, tiba-tiba masa depan kita mendapat vonis kematian. Kalau angka anda di subyek tertentu, seperti fisika, matematik, dan beberapa ilmu pasti nilainya kurang, maka anda dijuruskan masuk bagian sosial budaya. Hanya yang angkanya bagus di subyek itu yang akan dijuruskan masuk bagian pasti alam, alias pas-pal. Begitu dijaman saya. Dan stigma yang terjadi dijaman sekolah saya, adalah sebuah pengkotak-kan yang sangat keji. Pertama anak-anak jurusan pas-pal itu pandai dan cerdas. Anak-anak yang masuk jurusan sos-bud dianggap lebih bodoh dan kurang berbakat. Kedua selalu saja, cewe-cewe yang lebih cantik ada di jurusan sos-bud. Cewe di pas-pal selalu kurang cantik. Tanpa sengaja, kita dibentuk persepsinya bahwa yang cantik itu lebih malas dan lebih bodoh. Ketiga dan ini yang mematikan, dijaman saya kalau anda dari jurusan sos-bud anda tidak akan bisa mendaftar ke jurusan dokter dan insinyur. Artinya nasib dan masa depan anda sudah diputusakan oleh sekolah, sebelum anda berumur 17 tahun. Sebuah praktek yang sangat kejam dan keji bukan ?

Teman saya sang pendidik, bertanya saya masuk jurusan apa ? Sambil senyum saya menjawab pas-pal. Dia ikut terbahak. Saya sendiri punya pengalaman yang sangat unik ketika lulus SMA. Terus terang saya bingung mau melanjutkan jurusan apa setelah SMA ? Kebetulan ayah saya, punya kenalan yang punya pemikiran sangat moderen dan terbuka. Lalu saya berdiskusi dengan teman ayah saya itu. Awal diskusi kami, dia bertanya saya punya cita-cita apa ? Terus terang saat itu saya sempat bengong dan kehabisan kata-kata. Pikiran saya kosong. Dan saya baru menyadari bahwa saya bukan saja butuh jawaban, tapi saya butuh kepastian. Saya mau jadi apa ? Terus terang saya tidak tahu apa jawaban-nya. Nol kosong.

Lalu teman ayah saya berkisah. Ceritanya sangat seru tentang Al Capone. Bagaimana boss gangster ini menghindari hukum sekian lama. Lalu tertangkap dan dipenjarakan karena kasus pajak. Maka pelajaran yang paling menarik yang dikisahkan oleh teman ayah saya, bahwa dunia ini dikuasai oleh 2 golongan manusia. Pertama adalah mereka yang mengerti uang. Dan kedua adalah mereka yang mengerti hukum. Di negara-negara maju, yang berkuasa adalah ahli keuangan dan para akuntan. Baru kemudian diurutan kedua adalah pengacara. Di Indonesia awalnya akan terbalik. Para pengacara yang mengerti hukum akan lebih dulu berkuasa dan sangat kaya raya. Kedua baru ahli keuangan dan para akuntan. Tapi nanti kalau hukum di Indonesia sangat maju, situasi akan terbalik dan ahli keuangan akan lebih kaya raya dibanding pengacara. Begitu ramalan teman ayah saya. Dan kalau saya timbang-timbang, terasa sangat benar dan di Indonesia saat ini pengacara lebih kaya raya dibanding ahli keuangan.

Terbuai oleh cerita teman ayah saya, maka saya memutuskan untuk kuliah akuntansi dan per-bank-an. Padahal awalnya saya kepingin jadi sastrawan. Teman ayah saya, menasehati agar saya terus menulis dan menjadi penulis yang baik. Menulis bisa juga sebagai hobby yang serius. Akhirnya nasehat itu yang saya jalankan dan memang berhasil. Usai selesai kuliah akuntansi dan per-bank-an, suatu hari dosen hukum saya, bercerita tentang rahasia keberhasilan seorang pengacara. Kata beliau, seorang pengacara hanya akan bisa sukses besar, apabila ia tahu rahasia kemahiran menjual. Karena setiap kali ia berada dipengadilan, maka hal terpenting yang selalu ia lakukan adalah menjual sesuatu yang abstrak, yaitu ide ! Entah itu ide untuk membela klien-nya atau ide untuk menyerang lawan musuhnya. Seseorang yang mahir menjual tidak akan pernah kelaparan seumur hidupnya. Maka sehabis kuliah akutansi per-bank-an, saya memutuskan menyambung kuliah pemasaran. Semata saya ingin punya kemahiran menjual. Hasilnya memang manjur mujarab bukan kepalang. Peristiwa inilah yang menyelamatkan masa depan saya. Dan membentuk peta perjalanan karir saya selanjutnya.

Lalu anda bertanya, apakah ini artinya kita tidak boleh bercita-cita menjadi dokter ? Atau insinyur ? Tentu saja boleh. Namun menjadi dokter terkenal dan insinyur terkenal tidaklah mudah. Anda butuh bakat luar biasa. Tambahan kerja keras yang luar biasa. Bila tidak, anda cuma akan jadi dokter biasa biasa saja dan insinyur biasa biasa saja. Bukan berarti saya sinis atau kejam, namun kita perlu menjadi seorang optimis yang cerdas. Tahu berhitung untuk masa depan kita.

Nah, andaikata anda sudah terperosok selesai kuliah, lalu apapun jenis pekerjaan anda saat ini, apakah anda masih punya masa depan dan harapan ? Tentu saja masih ! Karena ingat hidup ini adalah sebuah maraton yang panjang dan belum selesai pula. Lalu langkah apa yang anda harus lakukan ? Mpu Peniti, menasehati pada saya, bahwa nasib hidup kita berubah menjadi baik, bukan semata karena kesempatan yang datang dan diberikan kepada kita. Melainkan lebih kepada perubahan apa yang ingin kita lakukan untuk mengubah nasib kita.

Ada orang yang bertubi-tubi mendapatkan kesempatan, namun selalu gagal memanfaatkan kesempatan itu. Nasibnya tidak pernah berubah. Tetapi ada orang yang tidak beruntung untuk mendapatkan kesempatan, tetapi punya tekad dan niat, dan melakukan perubahan. Maka akhirnya nasibnya ikut berubah. Kehidupannya ikut berubah. Niat, tekad dan keberanian berubah, adalah kunci yang dimaksud Mpu Peniti. Cita-cita cuma kompas dan peta perjalanan. Upaya menuju tujuan itu adalah ukuran keberhasilan yang nantinya akan menentukan prestasi kita dalam menempuh maraton kehidupan ini.


No comments: