Mpu Peniti, mentor spiritual saya - bertutur, "Dimana-pun kau berada dan dalam usia serta posisi apapun, jangan pernah berpikir bahwa hidupmu gagal, karena sesungguhnya hidup ini merupakan sebuah perlombaan maraton, yang belum selesai. Dan ketika engkau belum menyentuh garis finish, maka masih ada perjuangan dan masih ada harapan". Ucapan beliau pada saya ini, selalu menjadi pelita yang menerangi hidup saya setiapa kali saya menemukan ganjalan hidup.
Dan bahwa hidup ini adalah sebuah maraton, terasa seringkali
benar adanya. Layaknya sebuah maraton, kita memerlukan persiapan sangat banyak.
Mulai dari rencana hingga latihan. Rencana hidup adalah sesuatu yang seringkali
terabaikan dan tidak pernah kita pikirkan. Sebuah titik awal yang penting tapi
entah kenapa tidak pernah menjadi prioritas. Teman saya seorang pendidik, punya
pengamatan yang menggelitik. Kata beliau, "ketika kita mulai sekolah -
orang yang lebih tua selalu bertanya, apa cita-cita kita ?". Pertanyaan
ini klasik. Maksud-nya baik, yaitu memotivasi kita agar punya cita-cita tinggi.
Seperti pameo, gantunglah cita-cita-mu setinggi langit. Lalu saat belia itu,
kita biasanya menjawab dengan 2 jawaban populer, menjadi dokter, atau insinyur.
Selebihnya kita ada juga jawaban yang lebih bergengsi seperti pilot atau
presiden. Percaya atau tidak itu cuma jawaban kebiasaan. Yang terlontar tanpa pikir
panjang. Karena memang kita dituntut menjawab seperti itu. Nah, teman saya
bertanya, berapa teman sekolah saya yang akhirnya benar-benar menjadi dokter
dan insinyur ? Saya hitung-hitung ternyata kurang dari 10%. Saya jadi ikut
terbahak.
Lanjut teman saya, ketika masuk sekolah dan belajar
disekolah, barangkali kita sudah melupakan cita-cita kita. Pelajaran sekolah
yang begitu banyak, hanya bertujuan satu. Yaitu agar kita berhasil memenuhi
target kurikulum dan punya angka ulangan yang bagus, dan naik kelas. Pengalaman
saya sekolah dasar dan sekolah lanjutan pertama, hanya membuat kita lelah,
berusaha mengisi otak kita dengan macam-macam pengetahuan. Tapi tidak ada
satu-pun yang punya peta jelas, untuk mempersiapkan masa depan kita. Sekolah
saat itu, tidak membuat kita punya perasaan penasaran, menjadikan kita manusia
yang kreatif, dan mendidik kita menjadi manusia mandiri yang inovatif. Sekolah
hanya menjadi sebuah kegiatan membaca, menulis, menghafal dan lulus ujian.
Yang sangat parah, adalah ketika kita masuk sekolah lanjutan
atas. Setelah setahun kita sekolah, tiba-tiba masa depan kita mendapat vonis
kematian. Kalau angka anda di subyek tertentu, seperti fisika, matematik, dan
beberapa ilmu pasti nilainya kurang, maka anda dijuruskan masuk bagian sosial
budaya. Hanya yang angkanya bagus di subyek itu yang akan dijuruskan masuk
bagian pasti alam, alias pas-pal. Begitu dijaman saya. Dan stigma yang terjadi
dijaman sekolah saya, adalah sebuah pengkotak-kan yang sangat keji. Pertama
anak-anak jurusan pas-pal itu pandai dan cerdas. Anak-anak yang masuk jurusan
sos-bud dianggap lebih bodoh dan kurang berbakat. Kedua selalu saja, cewe-cewe
yang lebih cantik ada di jurusan sos-bud. Cewe di pas-pal selalu kurang cantik.
Tanpa sengaja, kita dibentuk persepsinya bahwa yang cantik itu lebih malas dan
lebih bodoh. Ketiga dan ini yang mematikan, dijaman saya kalau anda dari
jurusan sos-bud anda tidak akan bisa mendaftar ke jurusan dokter dan insinyur.
Artinya nasib dan masa depan anda sudah diputusakan oleh sekolah, sebelum anda
berumur 17 tahun. Sebuah praktek yang sangat kejam dan keji bukan ?
Teman saya sang pendidik, bertanya saya masuk jurusan apa ?
Sambil senyum saya menjawab pas-pal. Dia ikut terbahak. Saya sendiri punya
pengalaman yang sangat unik ketika lulus SMA. Terus terang saya bingung mau
melanjutkan jurusan apa setelah SMA ? Kebetulan ayah saya, punya kenalan yang
punya pemikiran sangat moderen dan terbuka. Lalu saya berdiskusi dengan teman
ayah saya itu. Awal diskusi kami, dia bertanya saya punya cita-cita apa ? Terus
terang saat itu saya sempat bengong dan kehabisan kata-kata. Pikiran saya
kosong. Dan saya baru menyadari bahwa saya bukan saja butuh jawaban, tapi saya
butuh kepastian. Saya mau jadi apa ? Terus terang saya tidak tahu apa
jawaban-nya. Nol kosong.
Lalu teman ayah saya berkisah. Ceritanya sangat seru tentang
Al Capone. Bagaimana boss gangster ini menghindari hukum sekian lama. Lalu
tertangkap dan dipenjarakan karena kasus pajak. Maka pelajaran yang paling
menarik yang dikisahkan oleh teman ayah saya, bahwa dunia ini dikuasai oleh 2
golongan manusia. Pertama adalah mereka yang mengerti uang. Dan kedua adalah
mereka yang mengerti hukum. Di negara-negara maju, yang berkuasa adalah ahli
keuangan dan para akuntan. Baru kemudian diurutan kedua adalah pengacara. Di
Indonesia awalnya akan terbalik. Para pengacara yang mengerti hukum akan lebih
dulu berkuasa dan sangat kaya raya. Kedua baru ahli keuangan dan para akuntan.
Tapi nanti kalau hukum di Indonesia sangat maju, situasi akan terbalik dan ahli
keuangan akan lebih kaya raya dibanding pengacara. Begitu ramalan teman ayah
saya. Dan kalau saya timbang-timbang, terasa sangat benar dan di Indonesia saat
ini pengacara lebih kaya raya dibanding ahli keuangan.
Terbuai oleh cerita teman ayah saya, maka saya memutuskan
untuk kuliah akuntansi dan per-bank-an. Padahal awalnya saya kepingin jadi
sastrawan. Teman ayah saya, menasehati agar saya terus menulis dan menjadi
penulis yang baik. Menulis bisa juga sebagai hobby yang serius. Akhirnya nasehat
itu yang saya jalankan dan memang berhasil. Usai selesai kuliah akuntansi dan
per-bank-an, suatu hari dosen hukum saya, bercerita tentang rahasia
keberhasilan seorang pengacara. Kata beliau, seorang pengacara hanya akan bisa
sukses besar, apabila ia tahu rahasia kemahiran menjual. Karena setiap kali ia
berada dipengadilan, maka hal terpenting yang selalu ia lakukan adalah menjual
sesuatu yang abstrak, yaitu ide ! Entah itu ide untuk membela klien-nya atau
ide untuk menyerang lawan musuhnya. Seseorang yang mahir menjual tidak akan
pernah kelaparan seumur hidupnya. Maka sehabis kuliah akutansi per-bank-an,
saya memutuskan menyambung kuliah pemasaran. Semata saya ingin punya kemahiran
menjual. Hasilnya memang manjur mujarab bukan kepalang. Peristiwa inilah yang
menyelamatkan masa depan saya. Dan membentuk peta perjalanan karir saya
selanjutnya.
Lalu anda bertanya, apakah ini artinya kita tidak boleh
bercita-cita menjadi dokter ? Atau insinyur ? Tentu saja boleh. Namun menjadi
dokter terkenal dan insinyur terkenal tidaklah mudah. Anda butuh bakat luar
biasa. Tambahan kerja keras yang luar biasa. Bila tidak, anda cuma akan jadi
dokter biasa biasa saja dan insinyur biasa biasa saja. Bukan berarti saya sinis
atau kejam, namun kita perlu menjadi seorang optimis yang cerdas. Tahu
berhitung untuk masa depan kita.
Nah, andaikata anda sudah terperosok selesai kuliah, lalu apapun
jenis pekerjaan anda saat ini, apakah anda masih punya masa depan dan harapan ?
Tentu saja masih ! Karena ingat hidup ini adalah sebuah maraton yang panjang
dan belum selesai pula. Lalu langkah apa yang anda harus lakukan ? Mpu Peniti,
menasehati pada saya, bahwa nasib hidup kita berubah menjadi baik, bukan semata
karena kesempatan yang datang dan diberikan kepada kita. Melainkan lebih kepada
perubahan apa yang ingin kita lakukan untuk mengubah nasib kita.
Ada orang yang bertubi-tubi mendapatkan kesempatan, namun
selalu gagal memanfaatkan kesempatan itu. Nasibnya tidak pernah berubah. Tetapi
ada orang yang tidak beruntung untuk mendapatkan kesempatan, tetapi punya tekad
dan niat, dan melakukan perubahan. Maka akhirnya nasibnya ikut berubah.
Kehidupannya ikut berubah. Niat, tekad dan keberanian berubah, adalah kunci
yang dimaksud Mpu Peniti. Cita-cita cuma kompas dan peta perjalanan. Upaya
menuju tujuan itu adalah ukuran keberhasilan yang nantinya akan menentukan
prestasi kita dalam menempuh maraton kehidupan ini.
No comments:
Post a Comment