Sunday, January 31, 2010

FILSAFAT PEMIMPIN ALA POHON MANGGA & 100 HARI SBY



Seorang mahasiswa saya, bertanya dengan lugu-nya, “Kenapa yaaah …. Harus seratus hari ?” Mendengar itu saya merasa seperti ditinju. Kalau dipikir-pikir, benar juga yah. Kenapa 100 hari pertama sebuah pemerintahan semacam SBY itu jadi sedemikian penting ? Apa sih, yang bisa diperbuat sebuah pemerintahan hanya dalam 100 hari ? Anehnya, mengapa harus 100 ? Apakah angka seratus itu keramat ? Atau menjiplak konsep bahwa 100 adalah nilai tertinggi. Adakah jumlah hari yang lebih baik dan logis ? Misalnya 120 hari ? 150 ? Atau 200 ?

Ketika Mpu Peniti saya ajak becanda soal angka ini, beliau cuma terkekeh. Dan berkomentar singkat, “Seperti orang meninggal saja !”. Tiba-tiba bulu kuduk saya berdiri. Apa lagi dikoran ramai diberitakan bakal ada demo besar diseluruh Jakarta pas 100 hari pemerintahan SBY tanggal 28 Januari 2010. Bikin deg-deg-an semua orang saja.

Rupanya tradisi evaluasi sebuah pemerintahan 100 hari pertama bukan ciptaan dan inovasi SBY. Tetapi menjiplak tradisi Amerika. Konon menurut cerita, Presiden Amerika Roosevelt yang dilantik pada bulan Maret 1933, mencanangkan sebuah “crash program” dalam periode 100 hari itu. Saat itu beliau bersama kongres Amerika berhasil meloloskan 15 Undang-Undang dalam 100 hari itu, yang sangat kritis untuk perbaikan ekonomi Amerika. Sejak itu, masa 100 hari itu dijiplak berbagai kalangan, termasuk di industri dan manajemen organisasi, sebagai titik evaluasi terpenting. Artinya kalau dalam 100 hari seorang pemimpin itu ‘memble’ dan tidak berhasil membuat gebrakan yang berarti, maka dapat disimpulkan pemimpin itu bakal gagal alias ‘memble berkepanjangan’.

Masa 100 hari itu sendiri memang sering diperdebatkan. Ada yang bilang terlalu pendek. Ada yang bilang cukup. Dan ada pula yang menganggap itu sangat panjang dan lebih dari cukup. Saya sendiri beranggapan jangankan 100 hari, tetapi 10 hari-pun sebenarnya cukup, apabila memang kita punya ‘crash program’ yang rinci. Tetapi apabila kita tidak punya strategi dan rencana, maka kita akan kehilangan taktik dan kesempatan bertindak. Beberapa tahun yang lalu, disaat saya sedang lesu, Mpu Peniti mendongeng sebuah kisah pendek. Kata beliau, ibaratnya kita melihat sebuah pohon mangga yang sedang berbuah sangat lebat. Terus kita kepingin memetik buahnya. Maka minimal kita harus punya 3 modal. Yang pertama, tentu saja keberanian. Yaitu, berani tidak kita memanjat pohon. Bagaimana kalau pohon tinggi ? Kedua, adalah ikhtiar. Memanjat pohon perlu usaha, dan ketrampilan memanjat. Bukan hal yang sepele, kalau pohon-nya licin dan sukar dipanjat. Dan yang ketiga kita juga harus bijaksana. Kalau sudah diatas pohon, jangan dimakan semua buah yang ada. Tetapi pilih yang betul-betul masak dan matang pohon. Konsumsi secukupnya dan jangan serakah. Begitu petuah Mpu Peniti. Hingga kini, ajaran sederhana itu menjadi satu pelita yang pas untuk menunjukan arah saya bertindak. Mpu Peniti menyebutkan filosofi pemimpin ala pohon mangga.

Barangkali, andaikata dan jikalau serta seandainya, filosofi pohon mangga itu secara strategis mau diterapkan ke 100 hari SBY, mungkin skenarionya bakal jadi seperti ini. Pertama program 100 hari bukanlah soal prestasi tetapi soal gebrakan. Persis di langkah pertama ini sebenarnya yang diperlukan adalah nyali dan keberanian menciptakan gebrakan. Sama seperti Roosevelt menggebrak dengan meloloskan 15 Undang-Undang dalam 100 hari itu. Mestinya SBY yang sudah berpengalaman selama 5 tahun diperiode sebelumnya punya cukup modal menciptakan gebrakan yang dahsyat sehingga bisa menimbulkan momentum yang positif buat citra, prestasi dan juga kemajuan bangsa. Sayangnya langkah pertama ini gagal dimanfaatkan SBY.

Kedua, SBY juga mestinya punya pengalaman dan modal untuk jungkir balik dalam 100 hari mengerahkan mesin birokrasi agar ber-ikhtiar dan kerja keras membuat sejumlah kejutan dan gebrakan. Sayangnya yang kedua ini tidak juga terjadi. Seorang teman mengatakan bahwa sejak Reformasi bergulir, kebanyakan permasalahan bangsa dan negara diselesaikan dengan Solusi Politik. Ini lumrah, karena soal kekuasaan Partai yang sangat majemuk. Pemilihan Menteri hingga Direktur BUMN dan pejabat lain-nya masih berdasarkan Solusi Politik. SBY yang mampu setidaknya menciptakan sejumlah kestabilan di periode pertama, seharusnya melirik opsi Solusi Manajemen di periode kedua. Artinya urusan politik bisa dikalahkan dengan kepentingan manajemen, terlebih-lebih SBY punya mayoritas di periode kedua. Sudah saatnya segala ikhtiar dan perjuangan kita dalam 5 tahun mendatang harus berbasis Solusi Manajemen bukanlagi melulu Solusi Politik.

Akhirnya, satu yang tersisa dan barangkali masih bisa dimanfaatkan SBY, adalah apakah beliau bisa bijaksana memilih mangga yang masak dan matang pohon ? Apakah SBY tidak akan tergoda dengan mangga mengkel yang masam, keras dan membuat kita merem melek. Barangkali ada baiknya kita bangsa yang besar ini, tidak harus ikut latah menjiplak tradisi bangsa lain. Marilah kita mengembangkan keluhuran pribadi bangsa Indonesia yang sudah terkenal sejak ribuan tahun yang lalu. Menjadikan Indonesia sebagai panutan Internasional, dan biarlah bangsa lain yang menjiplak kita.

No comments: