Sunday, January 24, 2010
CARA SUKSES UNTUK GAGAL
Kalau anda jalan-jalan ke toko buku, sesekali perhatikan buku-buku bergaya motivasi yang dijual. Hampir semuanya mengajarkan taktik, cara, atau strategi menuju sukses. Ini memang normal, dan pakem yang berlaku. Semua orang ingin sukses. Jadi buku yang laku dijual, otomatis adalah buku yang mengajarkan cara sukses. Tapi andaikata anda iseng, coba saja anda nekat dan menanyakan ada tidak, buku yang mengajarkan cara sukses untuk gagal. Pasti penjaga toko buku akan mengernjitkan dahinya, melihat anda dengan pandangan aneh dan mungkin menganggap anda sedikit gila.
Secara matematik dan teori probabilitas, sukses dan gagal punya potensi 50% berbanding 50%. Artinya dalam hidup ini anda punya peluang 50% gagal atau 50% sukses. Yang dilakukan banyak orang adalah meningkatnya peluang sukses sebsar-besarnya. Taktik sederhana untuk menghindari kegagalan. Celakanya berapa-pun tinggi peluang anda untuk sukses, anda tidak akan terhindar dari peluang gagal. Tidak peduli berapa kecil-pun. Kalau begitu mengapa tetap saja tidak ada kursus atau pelatihan yang mengajarkan kita agar gagal dengan sukses. Aneh bukan ?
Didalam olah raga bela diri Judo ada tekhnik yang disebut dengan nama Ukemi. Secara sederhana Ukemi memang mengajarkan cara yang paling bijak untuk jatuh. Atau dijatuhkan lawan. Tetapi secara filosofis Ukemi jauh lebih dalam lagi artinya. Ukemi adalah tekhnik mawas diri, yang menyadarkan diri kita bahwa kita selalu dalam posisi yang rawan untuk selalu menerima serangan musuh dan lawan. Dan setiap kali kita diserang, ada kemungkinan kita dijatuhkan lawan. Ukemi menjadi pra-syarat untuk tetap eling, menerima serangan dengan bijak, agar jatuh dengan baik dan benar – tanpa cidera. Agar kita bisa bangkit kembali dan mempertahankan diri.
Pelajaran tentang Ukemi ini, saya dapati secara filosofis dari mentor saya Mpu Peniti, lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Saat itu beliau menasehati saya, “Gagal bukanlah soal jatuh. Tetapi seberapa siap dan seberapa cepat kita bisa bangkit lagi. Itu hitungan dan rumusnya ” Mpu Peniti menjelaskan bahwa anggap saja hidup ini seperti sekolah. Kalau sukses dan kebahagian adalah jam mata pelajaran. Maka gagal adalah jam istirahatnya. Sambil tertawa, Mpu Peniti mengajarkan agar ‘jam istirahatnya’ jangan lama-lama. Menurut Mpu Peniti, beliau belum pernah menemukan orang yang selama hidupnya selalu sukses. Kalau-pun ada, pasti saat-saat gagalnya tidak pernah ia ceritakan.
Sehari-hari kita sebenarnya selalu siap dan sudah dipersiapkan untuk membuat kesalahan. Buktinya banyak sekali. Pensil yang kita beli diujung-nya sudah disiapkan bersama penghapus. Komputer dan kamera digital kita dilengkapi dengan tombol “delete”. Dan ‘tipp-ex’ adalah bagian dari kehidupan kantor kita sehari-hari. Jadi sebenar-benarnya kita juga punya budaya salah dan gagal. Malah dalam perkawinan saja juga sudah disiapkan opsi bercerai. Demekian juga kontrak bisnis yang memiliki klausul memutuskan ‘kongsi’ kalau gagal. Lha, kalau salah, gagal dan cerai sebenarnya bukanlah hal yang tabu, mengapa tetap saja tidak ada buku, kursus atau pendidikan yang mengajarkan agar kita bisa sukses untuk gagal ? Apakah gagal itu memang mudah ? Sehingga tidak perlu diajarkan atau tidak perlu ada buku petunjuknya ?
Bagi saya yang berulang kali mengalami kegagalan dan berbuat aneka kesalahan, gagal tidaklah mudah sama sekali. Andaikata ada kursus berijazah atau pendidikan berdiploma, sudah sejak dulu saya ikut. Sayangnya tidak ada. Dan entah kenapa gagal dianggap sangat memalukan. Akibatnya saya belajar gagal dan salah dengan susah payah. Mencoba bijak untuk menimba sejumlah pelajaran dari kegagalan dan kesalahan yang saya perbuat. Hal ini sangat tidak nyaman sekali. Seringkali menyakitkan, dengan sejumlah emosi yang negatif. Mulai dari rasa frustasi, depresi hingga kehilangan rasa percaya diri.
Tetapi nyeri dan sakit kadang sangat bermanfaat. Menjadi motivasi terbaik untuk sembuh. Dan alasan agar tidak menyerah dan putus asa. Kadang rasa sakit itu menjadi dendam dan alasan untuk membalas. Hingga titik tertentu perasaan-perasaan itu tetap positif dan bisa menjadi terapi untuk membulatkan tekad, memacu semangat dan mengeraskan hati. Suatu hari salah satu cucu perempuan Mpu Peniti pulang sekolah, menangis sekeras-kerasnya. Ia baru saja putus dengan pacarnya. Menurut versinya, pacarnya selingkuh dengan teman karibnya. Ia merasa dunia mau kiamat dan berhenti berputar. Sang cucu mengadu kepada Mpu Peniti. Entah nasehat apa yang dibisiki beliau. Yang jelas sang cucu menangis lebih keras selama setengah jam.
Yang saya tahu, Mpu Peniti mengajarkan secara tuntas tentang kegagalan pada sang cucu saat itu. 2 minggu kemudian ketika saya bertemu lagi dengan sang cucu, wajahnya gembira dan sangat sumringah. Ia bercerita punya pacar baru yang lebih ganteng dan baik hati. Pastinya, sejak saya belajar filosofis Ukemi dari Mpu Peniti, saya melihat kegagalan dan kesalahan dalam sebuah persepsi yang sangat berbeda. Bahwa jatuh ‘dengan baik’ adalah bagian dari bela diri. Ada tiga pokok pemikiran yang kini menjadi bagian dari filosofis bisnis saya. Ukemi membuat saya siap jatuh setiap saat, membuat saya lebih rendah diri, dan tidak pernah menganggap enteng setiap musuh dan kompetitor. Ukemi membantu saya eling dan waspada. Sehingga setiap kegagalan dan kesalahan yang saya perbuat, resiko kerugian-nya menjadi lebih minim. Yang terakhir Ukemi meningkatkan rasa percaya diri saya, dengan satu jurus. Bahwa saya akan lebih siap bangkit dan lebih cepat siaga, setiap kali saya berbuat kegagalan dan kesalahan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment