Mpu Peniti asyik bermain catur dengan seorang teman-nya di beranda. Mereka main lebih dari dua jam. Sambil berbicara dengan suara yang sangat halus. Mirip orang berbisik. Luar biasa seriusnya. Seperti sedang membicarakan nasib republik. Sesekali, saya melihat teman Mpu Peniti mengusap air mata dari mata tuanya yang renta. Jelas kelihatan kesedihan yang sangat mendalam. Saking asyiknya, saya hanya berani menonton dari jarak jauh. Ketika permainan selesai, sang tamu pamit dan memeluk Mpu Peniti erat sekali dan cukup lama. Nampaknya ia enggan berpisah.
Lalu Mpu Peniti bercerita kepada saya. Konon menantunya yang sangat disayangi dan dicintai oleh teman Mpu Peniti, harus kabur ke luar negeri. Dan dengan sangat berat hati teman Mpu Peniti terpaksa mengihklaskan-nya. Ceritanya sangat panjang. Beberapa tahun yang lalu, sang menantu ditipu oleh salah seorang rekan usahanya. Meninggalkan hutang kesana sini, yang jumlahnya banyak sekali. Sang menantu terpaksa gali lobang tutup lobang. Sampai akhirnya ia tidak sanggup lagi, dan terpaksa harus kabur keluar negeri. Gara-gara ulah satu orang, meninggalkan derita dan kesusahan yang bernatai dan berentet jumlahnya. Satu akibat yang berbuntut panjang. Menurut Mpu Peniti; terkadang kita lupa memikirkan akibat perbuataan kita. Padahal satu perbuatan bisa menyebabkan akibat yang berantai yang luar biasa hebatnya.
Seorang teman saya diberhentikan dari tempatnya bekerja. Suatu hari ia dan seorang staff wanitanya, pergi keluar kota untuk mengunjungi klien. Pulang dari luar kota, ia diadukan staff wanitanya dengan delik aduan pelecehan seksual. Namun peristiwa ini sangat sulit dibuktikan. Karena tidak ada saksi. Cuma ada 2 pengakuan yang berbeda. Celakanya sang direktur HRD-nya adalah wanita yang bersimpati dengan staff wanita itu. Maka diadakan-lah penyelidikan diam-diam yang menyeluruh. Teman saya memiliki beberapa kesalahan administrasi yang mungkin biasanya termaafkan. Namun karena dijumlah bersama-sama kasus pelecehan seksual tadi, kesalahan teman saya menjadi fatal dan tak terampuni. Ia kena PHK. Berita yang keluar, ia diberhentikan karena korupsi. Tentu saja ini pukulan yang menghancurkan hidup teman saya. Ia tidak lagi bisa bekerja ditempat lain. Berita cepat menyebar, dan ia sudah dilekati dengan predikat koruptor. Yang parah adalah hubungannya dengan keluarga juga hancur berantakan. Anaknya berminggu-minggu hanya mau memakai pakaian seragam sekolah. Baik disekolah, dirumah, dan tidur sekalipun. Ia merasa jijik memakai pakaian lain. Karena ia merasa semua pakaiannya dibelikan dengan uang hasil korupsi.
Mpu Peniti bertutur, bahwa seringkali kita lupa menghitung akibat. Setiap kali kita ingin sukses, kita hanya menghitung hasil dan melupakan menghitung akibat. Padahal setiap sukses yang kita ciptakan, pasti akan berakibat kepada kegagalan orang lain. Lucunya, kalau kita gagal, kita hanya penasaran mencari sebab kegagalan, dan juga keliru mencari akibat. Ini bukan pelajaran mudah bagi saya. Melainkan sesuatu yang luar biasa sulitnya. Tetapi kalau kita percaya kepada lingkungan yang harmonis dengan keseimbangan, maka sebab dan akibat adalah ibaratnya kemudi mobil yang selalu kita coba luruskan agar jalan mobil juga mulus lurus.
Menghitung cermat sebuah akibat dalam manajemen, merupakan disiplin yang bisa membuat gaya kepemimpinan anda menjadi sangat arif. Seorang konsultan manajemen Jepang, menuturkan bahwa senioritas dalam tata krama manajemen Jepang selalu dihormati dan mendapatkan prioritas tinggi. Kadang dalam manajemen yang bukan bergaya Jepang, senioritas malah dianggap beban. Misalnya bapak anu, adalah orang lama, konservatif, cara berpikirnya kolot, dstnya. Maka bapak anu dianggap pagar penghalang. Apalagi kalau bapak anu tidak mewakili golongan yang berpikiran maju, kreatif dan progresif. Lalu bapak anu dianggap golongan bodoh. Padahal menurut teman saya, sang konsultan Jepang, seseorang yang bisa bertahan sangat lama dalam sebuah organisasi, menunjukan kualitas stamina, adaptasi, mungkin cerdas bergaul dan kemahiran politik yang sangat luar biasa. Seringkali sisi ini tidak pernah diperhitungkan. Sebuah akibat yang patut kita kagumi.
Dalam pemasaran ilmunya juga persis sama. Jarang kita menghitung akibat. Misalnya saja, supaya produk kita laku, maka kita pasang harga sangat murah. Tapi kita lupa melihat situasi sekeliling. Mulanya produk kita memang laris. Lalu surut perlahan-lahan. Tak lama kemudian produk kita dianggap murahan. Seorang manajer penjualan belum lama ini mengeluh kepada saya. Konon, beberapa bulan yang lalu, ia mengadakan promosi berhadiah langsung piring dan gelas. Penjualannya memang bagus dan melonjak luar biasa. Ketika hadiah dicopot; penjualan melorot lagi. Tanpa sengaja ia telah membuat para konsumennya terdidik untuk hanya tertarik membeli bilamana ada hadiahnya. Kini ia panik bukan main. Budget promosinya kering. Penjualan ambruk. Sebuah restoran baru dibuka. Pengunjung belum banyak. Promosi langsung diusung. Tapi promosinya heboh luar biasa -- memakai spanduk besar di depan restoran, dan bunyinya “Makan sepuasnya cuma Rp. 59.000/orang”. Anehnya konsumen tidak juga ramai seketika. Tanpa disadarinya, spanduk itu mengakibatkan konsumen punya impresi bahwa memang restoran ini tidak laku, sehingga di-obral. Lagi-lagi akibat yang seringkali kita anggap remeh dan tidak diperhitungkan.
No comments:
Post a Comment