Wednesday, May 30, 2007
DIMANA NYALI KITA ?
Sayangnya nyali atau keberanian tidak dijual sepraktis dalam kemasan permen. Keberanian atau nyali lebih mirip dengan stamina. Bayangkan anda sedang dalam sebuah lomba marathon. Anda sudah berlari sekian lama, otot anda sudah nyeri dan pegal-pegal. Nafas anda pendek-pendek. Tubuh sudah mandi keringat. Dan didepan anda 100 meter lagi terlihat pita garis finish. Pada detik itulah, anda yang memutuskan. Menyerah dan menjatuhkan diri anda kebumi. Atau sekali lagi menarik nafas dalam-dalam, mengerahkan semua otot dan tenaga anda untuk berlari lagi dan merangkul pita finish. Itulah nyali atau keberanian. Mirip extra stamina. Tidak semua orang memilikinya. Konon hanya para juara yang terlatih memiliki dan memahaminya.
Kabar baiknya nyali atau keberanian bisa dilatih. Tetapi syarat utama harus dipenuhi terlebih dahulu. Yaitu anda harus punya mental juara. Juara bisnis, umumnya punya naluri untuk masuk ke bisnis yang mereka yakin akan menang. Jadi misalnya ada peluang bisnis dengan resiko kecil, tetapi kita tidak memahami bisnis itu, jangan gegabah untuk mencoba masuk kebisnis itu. Pengalaman saya, lebih dari 70% bisnis yang gagal, kebanyakan disebabkan oleh gagal manajemen. Artinya peluangnya bagus, tetapi gagal karena manajemennya salah urus. Kadang latah dan ikut-ikutan menjadi penyebab gagal manajemen dalam kasus ini. Misalnya saja, sekarang sedang tren membuat toko donat, maka kita rame-rame ikut bikin toko donat. Karena kurang pemahaman, biasanya kita terjebak berbuat kesalahan yang terlihat sepele pada awalnya, lalu menumpuk menjadi kesalahan berlapis yang cenderung menjadi awal bencana.
Juara bisnis kadang, masuk kedalam sebuah bisnis yang beresiko tinggi. Tapi ia punya pengalaman dan pemahaman yang mendalaman. Dalam kasus ini, ia cuma mengambil posisi ”underdog” saja. Ibarat lomba mobil Formula One, ia tidak mendapat start didepan. Biasanya ia punya perhitungan untuk menyalib didalam pertarungan didepan. Itu sebabnya ia terlihat memiliki nyali atau keberanian. Nyali atau keberanian seringkali datang bukan karena nafsu yang sifatnya tiba-tiba melainkan karena perhitungan khusus, yang didapat para juara bisnis dari bertahun-tahun pengalaman.
Kalau anda ingin belajar punya nyali atau keberanian dalam bisnis, saya punya sejumlah tips yang saya kumpulkan dari para juara bisnis. Pertama-tama nyali atau keberanian, datang dari pengalaman dan kefasihan. Kalau anda sudah berpengalaman dan fasih naik sepeda, maka anda berani naik sepeda dengan gaya lepas tangan. Bayangkan dirumah anda ada tangga yang menghubungkan lantai satu dan lantai 2. Tangganya sedikit curam. Tetapi karena anda sudah sangat sering menggunakan-nya maka anda bisa saja naik dan turun tangga dengan setengah beralari dan cepat sekali. Jadi nyali dan keberanian, sumbernya adalah pengalaman. Yang anda harus lakukan adalah memberdayakan pengalaman anda. Ini langkah awalnya.
Kedua, juara bisnis selalu mulai dengan sesuatu yang kecil dan melakukannya perlahan-lahan. Istilah keren-nya ”starts small and slow”. Juara bisnis hampir semuanya memiliki rute sukses dengan pola ini, kecil dan perlahan-lahan. Pernah saya berdialog dengan seorang pengusaha tentang teori ini. Beliau menuturkan, bahwa dalam bisnis, hitungan yang paling penting adalah ”exit strategy”. Kalau bioskop atau gedung perkantoran, harus ada ”emergency exit”, maka dalam bisnis situasinya juga mirip. Dalam bisnis, ada pameo yang mengatakan ”jangan mudah menyerah !”. Seth Godin, pengarang buku ”The Dip” mengatakan hal itu adalah nasehat yang buruk. Justru menurut Seth Godin, juara bisnis, umumnya sangat paham dan ahli untuk menyerah. Bukan sembarang menyerah, tetapi menyerah pada waktu yang pas. Nah, kalau anda start bisnis dengan modal dan skala kecil, andaikata macet, maka dengan mudah anda bisa ”exit” tanpa harus menderita kerugian besar. Lagi pula sesuatu yang kecil lebih mudah dikendalikan daripada sesuatu yang besar dan kompleks.
Nasehat yang terakhir, rada unik. Menurut seorang juara bisnis, setiap bisnis pasti punya resiko. Ada yang besar dan ada yang kecil. Yang besar resikonya membuat kita tidak nyaman dan mengagalkan nyali atau keberanian kita. Tetapi kalau kita mundur, sebenarnya itu resiko juga. Bisa saja peluang itu akhirnya diambil oleh kompetitor kita, yang belakang hari bukan mustahil akan merepotkan kita. Kadang ini perhitungan yang sering diambil oleh para juara bisnis. Seorang pengusaha bercerita bahwa ia sering dikritik serakah dan tanpa perhitungan, karena banyak mengambil bisnis-bisnis resiko tinggi. Ia bercerita bahwa motif sesungguhnya adalah justru ia ingin memagari kompetitornya. Orang lain yang tidak tahu ceritanya, selalu menganggap ia bernyali besar. Padahal ia justru penuh perhitungan
Friday, May 25, 2007
ANCAMAN RESESI ?
Dalam beberapa hari belakangan ini, media cetak di
Pandita Ekonomi Alan Greenspan sendiri, sejak Februari 2007, telah memperingatkan bahwa ekonomi Amerika yang terus menggelembung sejak tahun 2001, kemungkinan besar akan masuk keakhir siklus pertumbuhan dan akan melambat. Konon eknomi Amerika sendiri tumbuh spektakuler sebesar 3.5% di kwartal terakhir 2006. Namun tanda-tanda melemahnya ekonomi Amerika mulai terlihat. Diantaranya keuntungan perusahaan yang mulai stabil dan tidak tumbuh. Alan Greenspan juga merisaukan defisit bujet ekonomi Amerika, sebesar 247 milyar dollar lebih. Angka defisit terbesar selama 4 tahun terakhir ini. Alan Greenspan secara konservatif meramalkan perlambatan ekonomi Amerika setelah 2007, dan mungkin akan terasa semakin nyata tahun 2008 berikutnya.
Bila Amerika mengalami resesi, maka daya beli konsumen Amerika menurun. Padahal secara global Amerika adalah salah satu konsumen global terbesar. Bayangkan kalau Amerika mengurangi impornya dari Asia. Cina kemungkinan besar akan mendorong produknya kepasar lain, seperti Asean. Eksportir Indonesia kemungkinan juga akan kehilangan sebagian pasarnya. Sedangkan Cina akan menyerbu pasar lokal kita dengan produk-produk yang sangat murah. Industri dalam negeri bisa terganggu. Dan anda bisa bayangkan sendiri akibatnya setelah itu.
Ketika artikel ini ditulis, rupiah secara perkasa bertengger di 8.800. Artinya dolar Amerika memang melemah dibanding rupiah. Seorang pialang bergurau kepada saya bahwa bukan rupiahnya yang perkasa, tetapi memang dolar Amerika yang sedang melemah. Beberapa eksportir ikut mengeluh, karena melemahnya dolar, membuat penerimaan rupiah mereka semakin sedikit. Keuntungan otomatis menjadi menipis. Untuk naik harga hampir tidak mungkin. Buat mereka ini situasi yang dilematis.
Lalu, secara mengejutkan BPS mengumumkan bahwa di Indonesia pada bulan April, telah terjadi deflasi sebesar 0,16 %. Setidaknya 30 kota di Indonesia tercatat, penurunan harga barang, dan jasa disektor bahan makanan, dan kelompok pendidikan, olahraga dan rekreasi. Saya berdoa, tanda-tanda deflasi ini bukan trend tetapi koreksi harga saja. Misalnya terhadap melemahnya mata uang dolar. Bila tebakan saya salah, dan deflasi menunjukan trend baru, maka secara awam bisa disimpulkan, permintaan pasar sangat lemah, sampai-sampai produsesn menurunkan harga. Ini sinyal sangat berbahaya, karena deflasi ini bisa menjadi tanda-tanda bahwa ekonomi Indonesia juga ikut melambat.
Secara makro, ekonomi Indonesia memang terlihat sangat perkasa. Tetapi secara mikro, ekonomi Indonesia dikritik tidak memercikan insentif-insentif pertumbuhan yang sehat. Konon gara-gara gencarnya gerakan pemberantasan korupsi akhir-akhir ini, juga tanda-tanda bahwa semakin banyak pejabat dan bekas pejabat yang diseret masuk penjara, maka proyek-proyek di daerah ikut cenderung menurun. Tak heran kalau seorang pejabat membisiki saya bahwa Bank Pembangunan Daerah juga sulit mengucurkan dananya untuk proyek. Malah demi aman-nya banyak Bank Pembangunan Daerah yang menyimpan dananya di SBI mengikuti jejak bank swasta. Jumlah simpanan Bank Pembangunan Daerah di SBI mencapai 34.5 trilyun rupiah. Bandingkan dengan bank umum yang menyimpan di SBI sebesar 364 trilyun lebih.
Bayangkan kalau separuh dari jumlah itu sekitar 200 trilyun dikembalikan ke sistim ekonomi kita dalam bentuk proyek-proyek yang bisa memotivasi pertumbuhan ekonomi. Pasti dahsyat bukan main. Yang membuat saya miris adalah pemberdayaan ekonomi yang juga masih lemah. Seorang distributor produk-produk konsumen di Jawa Barat mengaku pada saya belum lama ini, bahwa jumlah penjualannya terus menerus menurun dari November 2006 hingga April 2007. Tiap hari ada saja yang mengeluh soal ekonomi. Ada sarjana yang lulus dari perguruan tinggi terkemuka di Yogya, sudah hampir setahun masih luntang lantung di Jakarta. Kepada saya ia mengaku sudah bosan menulis surat lamaran setiap hari. Panggilan interview tak kunjung datang. Selama hampir setahun, ia kerja serabutan. Uniknya lowongan kerja yang tersedia baginya adalah justru menjadi guru. Tetapi sayang hatinya tidak terpanggil untuk menjadi guru.
Pada akhir pekan lalu, iseng-iseng saya dan Mpu Peniti jalan-jalan disebuah mall baru. Semuanya serba ramai, terutama di semua restoran yang ada. Penuh sesak dengan pengunjung. Tidak terasa sama sekali bahwa ekonomi bermasalah. Ketika kami berdua makan disebuah restoran, saya sempat berkelakar dengan sang pelayan bahwa bisnis luar biasa bagusnya. Sang pelayan malah tersenyum kecut, karena menurut dirinya restoran cuma ramai diakhir pekan saja. Hari-hari biasa, bisnis sama sekali tidak ramai. Barangkali ungkapan sang pelayan benar adanya. Ketika pulang, di depan lobby sambil menunggu mobil, kami memang melihat jarang sekali ada konsumen yang menjinjing tas belanja. Mungkinkah kebanyakan konsumen hanya cuci mata saja, dan rekreasi makan-makan.
Diperjalanan pulang menuju rumah, hampir disetiap perempatan jalan utama, kami menjumpai pengemis dan pengamen. Jumlah mereka cukup banyak. Bukan hanya orang tua yang mengemis dan mengamen tetapi juga anak-anak kecil. Mpu Peniti menarik nafas dalam-dalam. Beliau menuturkan bahwa kita telah kebal dengan situasi. Panca indera kita mati rasa. Sementara sayup-sayup diujung jalan lain kami berdua melihat pejabat dikawal polisi melintas cepat. Pasti pejabat tinggi pulang rumah. Menurut Mpu Peniti ada baiknya pejabat sekali-kali tidak dikawal. Biarkan mereka lewat di lampu merah seperti orang biasa. Mereka perlu melihat pengemis dan pengamen itu. Agar mereka merasakan bahwa realita ekonomi bukan hanya yang dilaporkan diatas kertas dan koran. Realita ekonomi kita masih memiliki kegureman yang perlu diperjuangkan. Diantara ketidak seimbangan itu, bulu kuduk saya berdiri semua. Tak terbayang oleh saya, kalau ramalan-ramalan itu terbukti, bahwa kita diambang krisis moneter berikutnya, dan resesi mengancam kita. Duh, apa kata dunia ?
Sunday, May 20, 2007
Sunday, May 13, 2007
KETIKA KITA BERDOA
Dalam sebuah acara pernikahan, sebelum acara, MC mengajak para hadirin berdoa bersama. Seperti biasa MC memperkenalkan tokoh yang akan bertindak sebagai pemimpin doa. Kebetulan yang akan memimpin doa adalah seorang petinggi agama. MC pun mengumumkan bahwa doa kali ini sangat istimewa karena dibawakan oleh sang petinggi agama. Seolah-olah nilai dan mujizatnya melebihi doa yang dibawakan orang-orang biasa. Para hadirin disekeliling saya, juga berbisik-bisik, karena sependapat dengan sang MC bahwa doa kali ini, memang super istimewa. Peristiwa ini sangat mengusik sanubari saya.
Seingat saya; bukankah ada pepatah lama yang justru mengatakan bahwa doa dari orang tua adalah doa yang paling mujizat dan bertuah. Sama juga dengan kutukan orang tua kepada anaknya yang durhaka, konon dikenal paling celaka. Mungkin inilah tradisi yang kita hayati selama ini, bahwa masyarakat kita masih lengket dengan ritual-ritual bergengsi. Nikah harus dinikahkan oleh petinggi agama yang beken. Doa harus dibawakan oleh petinggi agama yang ternama. Acara pembukaan harus dibuka oleh pejabat tinggi. Dan seterusnya. Sampai-sampai kegiataan kampus, juga tidak terbebas oleh ritual semacam ini. Sering saya menyambangi kampus untuk sebuah kegiataan sederhana. Tapi ketika acara mau dimulai minimal yang pidato ada 3 pihak, mulai dari ketua panitia, wakil mahasiswa, dan wakil universitas. Kadang kita jadi risih dan jengah dengan acara protokoler yang nyelimet seperti ini.
Walaupun demikian ritual kadang-kadang dibutuhkan juga dalam manajemen. Seorang manajer restoran punya kisah yang lucu. Di restorannya ada menu khusus, yaitu daging yang dibuat “steak” dan dihidangkan dalam pingan panas yang diisi batu-batu koral. Tujuannya agar daging “steak” tidak cepat dingin. Pada awalnya, teman saya mengeluh karena batu-batu koral ini hilang melulu, karena ketika pinggan dicuci, tukang cuci secara sembrono membuang batu koral. Mereka malas mencucinya. Teman saya kesal sekali. Akhirnya ia mencari akal. Suatu hari ia mendatangkan seorang tokoh agama. Lalu didatangkanlah batu-batu koral baru. Ketika datang batu koral ini, sudah dicuci sangat bersih dan dibungkus kain putih. Setelah itu dilakukan upacara dimana ada selamatan khusus, lengkap dengan nasi tumpeng, dan tokoh agama itu berdoa sambil memberikan berkat kepada batu-batu koral tadi. Cerita yang ditiupkan adalah, selamatan dilakukan agar restoran tetap laris manis sepanjang masa.
Uniknya setelah itu tak ada satupun batu coral yang hilang. Batu-batu koral benar-benar dianggap barang suci. Semua takut durhaka kepada sang batu tersebut. Sehingga batu-batu koral tersebut dihargai dengan penuh hormat dan respek. Mirip barang bertuah yang keramat.
Ada cerita lain. Sebuah proyek pembangunan gedung akan segera dimulai. Selamatan dan sesaji sudah disiapkan. Apa dikata sang petinggi agama yang diberi tugas untuk membaca doa, berhalangan hadir. Konon kabarnya sedang sakit perut dan terkena diare berat. Sang petinggi agama mengirim wakilnya. Masih sangat muda. Wajahnya imut-imut dan lebih mirip bintang film. Sangat tidak meyakinkan. Padahal ini proyek ratusan milyar. Bisa berbahaya, kalau para pekera kehilangan kepercayaan terhadap yang mendoa-kan dan doa yang nanti diberikan. Gawat, setiap kecelakaan dimasa mendatang bisa dihubungkan dengan doa yang tidak manjur tadi. Mencari pembaca doa yang kharismatik secepat itu juga tidak mungkin. Harus ada strategi pintas. Bos pemilik gedung, akhirnya nekat. Ia menyuruh supirnya untuk menjemput ayah dari sang supir, yang kebetulan usianya sudah sangat sepuh, rambutnya sudah putih semua. Tapi wajahnya memang meyakinkan. Sangat berkharisma seperti tokoh agama yang sangat sakti. Maka sang ayah dijemput segera. Ketika datang sang ayah sudah memakai baju serba putih-putih, dan berkopiah putih, juga berselempang kain putih. Pokoknya tampil sangat berwibawa. Sang ayah ketika datang, langsung disambut istimewa, dan dipapah jalan kepodium. Ketika menyampaikan doa, beliau sudah diberi tahu jangan bersuara, tapi berdoa bisik-bisik saja. Luar biasa sekali. Suasana pada saat doa sangat tenang dan khsusuk sekali. Semua orang bingung, bertanya-tanya siapakah tokoh misterius ini. Gosip disebar bahwa ia adalah seorang petinggi agama yang sakti dari sebuah pulau terpencil. Hasilnya memang sakti luar biasa. Proyek berjalan aman dan tepat waktu.
Ketika cerita ini saya ceritakan kepada seorang teman yang memiliki sebuah perusahaan, ia tertawa lebar. Karena ia juga korban sindrom “pembaca doa”. Saat perusahaan berkembang sangat cepat, ia selalu yang menjadi andalan untuk memecahkan segala macam problem. Lama kelamaan semua orang bergantung kepada dirinya. Apapun yang terjadi semua menunggu ia memperlihatkan kesaktiannya. Ia menjadi kultus yang mirip dengan “petinggi agama yang beken”. Semua orang menunggu doa-nya. Hanya doa darinya yang dianggap sakti dan mujarab. Bertahun-tahun ia mencoba mengelak. Dengan memotivasi para staffnya untuk kreatif dan berkembang independen. Ia juga sudah mengangkat “pembaca doa” yang baru. Bukan satu tapi beberapa orang sekaligus. Tapi usahanya belum juga berhasil. Ia masih dianggap pandita sakti, yang mampu menghasilkan doa-doa sakti.
Dalam manajemen, ritual memang penting dan berpengaruh. Kemanjuran sebuah usaha malah tak jarang dinilai dari ritualnya. Terkadang pula ritual ini mengaburkan nilai-nilai strategi manajemen yang sesungguhnya.