Sehabis nulis artikel diatas bagian I, seorang teman politik
jaman reformasi dulu, menilpun saya. Minta bertemu dan makan siang sembari
diskusi. Awalnya saya merasa agak aneh. Maklum terakhir saya ketemu beliau di
airport Bangkok, dan itupun sudah lebih dari 5 tahun yang lalu. Dan ketika
bertemu, beliau tidak sendirian. Mereka berempat. 3 teman beliau semuanya
berkaca mata. Tampangnya sangat intelek, macam profesor diperguruan tinggi.
Teman saya mengatakan bahwa ia kini bekerja disebuah organisasi 'think-tank'.
Yang tidak jelas mewakili siapa dan buat siapa.
Saat kita berdiskusi, topiknya memang berawal dari artikel
saya. Salah satu diantara mereka bercerita tentang Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun
2008, tentang persyaratan pengajuan calon presiden. Pasal itu mengatur parpol
atau gabungan parpol dapat mengusung capres dan cawapres jika memiliki kursi
minimal 20 persen dari total kursi di DPR atau memperoleh 25 persen suara sah
nasional. Awalnya saya tidak menaruh banyak perhatian pada masalah ini. Namun
setelah salah satu teman saya memaparkan peta politik saat ini, barulah bulu
kuduk saya setengah berdiri. Karena kalau anda mau mencoba berhitung, partai
politik yang bisa meraih suara sebesar itu sangat terbatas sekali. Optimisnya maksimum
1 atau 2. Sisanya kalau mau mencalonkan presiden dan calon wakil presiden,
mereka harus mau tidak mau berkoalisi. Ini perhitungan yang sangat runyam dan
sangat nyelimet. 2014 jelas sangat mengkhawatirkan.
Mari dengan kepala dingin kita belajar berhitung. Pertama
hanya partai besar yang bisa mendulang 25% suara di Pemilu. Tahun 2009, ada 44
partai politik yang ikut Pemilu. 3 besar adalah Partai Demokrat = 20,85% lalu
Golkar = 14,45% dan PDI-P = 14,03%. Tahun 2014 konon ada 12 partai politik yang
bakal ikut bertarung di Pemilu. Karena jumlah partai berkurang, diatas kertas 3
partai terbesar otomatis bakal mendapat suara limpahan dari partai-partai kecil
yang tidak lagi ikut pemilu. Artinya apabila mau lolos batas ambang 25%, maka
peluang terbesar semestinya bakal diraih Demokrat, Golkar dan PDI-P. Masalahnya
Demokrat mengalami sejumlah gonjang ganjing selama hampir 4 tahun terakhir.
Bisa saja masyarakat pemilih, akan tidak lagi memilih Demokrat. Terlebih SBY
sudah tidak dapat lagi dicalonkan menjadi Presiden. Besar kemungkinan Demokrat
akan turun jauh dalam perolehan suara. Golkar dan PDI-P memiliki gonjang
ganjing yang jauh lebih sepi. Namun dengan Ical masih bermasalah di Lapindo,
barangkali Golkar tidak akan beringsut banyak dibanding tahun 2009. Hanya PDI-P
yang barangkali punya potensi menaik-kan jumlah perolehan suara di tahun 2014.
Berapa banyak, sangat sulit kita tebak.
Kalau dalam pemasaran, semuanya bergantung dalam 12 bulan
mendatang. Andaikata Demokrat, Golkar dan PDI-P, ibaratnya sebuah merek, mampu
melakukan "brand activation", yang sexy, unik dan khas. Maka bisa
saja perolehan suara mereka tetap naik dan lolos batas ambang 25%. Bila tidak,
mereka akan naik secara marjinal, karena jumlah pilihan yang berkurang dari 44
partai ke 12 partai saja.
Kekuatan kedua adalah gabungan partai Islam. Tahun 2009 -
PKS,PAN,PKB dan PPP mendulang suara gabungan hampir 25%. Namun dengan PKS
dirundung sangat banyak gonjang-ganjing, kemungkinan suaranya akan beralih ke
sisa tiga partai lain-nya. Apapun yang terjadi umat Islam harus menentukan
suaranya nanti ditahun 2014. Memberikan suara ke partai Islam atau memberikan
suara ke partai besar lain-nya. Peluangnya adalah apabila ada seorang pemimpin
yang sangat kharismatik dan mampu mengayomi ke 4 partai itu dan membentuk sebuah
koalisi Islam Nasional, bisa saja ke-empat partai itu mendulang suara diatas
30% atau malah lebih. Masalahnya siapa tokoh itu ? Yang sekaligus bisa menjaga
mereka berempat akur selama 6 tahun mendatang. Karena koalisi partai politik di
Indonesia terkenal rapuh dan mudah retak.
Sisanya adalah kuda hitam seperti Nasdem, Gerindra (4,46%)
dan Hanura (3,77%). Berapa yang bakal mereka peroleh ? Gerinda dengan Prabowo
jelas akan naik perolehan-nya di tahun 2014. Gerindra yang juga aktif memasang
iklan untuk menjaring caleg, barangkali akan punya komposisi yang unik. Hanya
saja mereka belum mengumumkan siapa-siapa saja tokoh nasional yang berhasil
mereka jaring. Agar Prabowo bisa melangkah langsung ke calon presiden, maka
Gerindra butuh 25% perolehan suara, yang mungkin akan sangat sulit. Apabila
Prabowo melakukan koalisi, karena suaranya tidak cukup, kemungkinan besar
Prabowo harus puas hanya menjadi cawapres seperti tahun 2009 kemarin. Dan ini
tetap menjadi perhitungan sangat sulit.
Kongsi Hary Tanoe dan Wiranto di Hanura menjadi kuda hitam
yang cukup menarik. Pertama apakah kongsi ini bakal tetap utuh hingga tahun
2014 ? Bila ya, apakah Hary Tanoe bisa merangkul suara dan simpati dari
golongan keturunan Tionghoa ? Kalau dua faktor ini terpenuhi, maka Hanura bisa
saja naik kelas ditahun 2014 dan punya suara yang sangat signifikan. Kuda hitam
yang terakhir adalah Nasdem. Sangat sulit diramalkan, tapi bisa saja mereka
jadi kekuatan politik baru.
Melihat perhitungan ini, dan kalau kita dipaksa memilih dari
apa yang ada dan apa yang bakal disodorkan pada kita, rasanya ibarat makanan,
sudah hampir basi dan tidak menarik lagi. Padahal Indonesia butuh pemimpin baru
yang bisa meletakan dasar-dasar baru menuju Indonesia 2020. Pemimpin yang punya
visi besar, untuk menjadikan Indonesia mercu suar ASIA yang baru setelah,
Jepang, Korea dan China. Kita butuh itu !
Teman saya, dan rekan-rekan-nya mengatakan Indonesia harus
punya pilihan lain. Tapi dengan sistim politik yang ada sekarang ini rasanya
sangat sukar. Kepemimpinan Nasional kita disandera oleh sistim politik yang ada
saat ini. Saya cuma tertawa mendengarnya. Rasanya benar juga. Kita semakin
banyak mendengar betapa kepemimpinan politik di negeri ini yang semakin
dilanggengkan menjadi warisan keluarga. Kata teman saya sudah mirip seperti perusahaan
keluarga. Dimana anak dan cucu secara gotong royong mengurus perusahaan. Dan
pimpinan perusahaan diwariskan hanya berdasarkan garis keturunan. Partai
politik di negeri ini juga semakin hari cenderung semakin seperti perusahaan
keluarga. Anak, ipar, mantu, dan keponakan ramai-ramai ikut mengurus partai.
Yang juga semakin parah, adalah jabatan bupati, walikota, dan gubernur, di negeri
ini mulai juga diwariskan kepada suami atau istri. Indonesia seperti miskin dan
melarat tokoh pemimpin. Sebuah kemiskinan yang perlu kita dobrak bersama.
Esok harinya, pengalaman diatas saya cerita-kan dengan Mpu
Peniti, mentor spiritual saya. Beliau ikut prihatin. Sebuah kelumpuhan yang
fatal. Begitu komentar beliau. Lalu beliau memberikan komentar bagaimana dalam
olah raga kita juga gagal menemukan bibit-bibit berprestasi. Padahal penduduk
kita sangat banyak. Apabila kita serius mencari - masa sih dari Sabang hingga
Merauke, kita tidak bisa menemukan bibit bibit terbaik negeri ini ? Barangkali
Mpu Peniti membang benar. Bahwa kita tidak serius mencari dan menanam.
Kepemimpinan nasional negeri ini, bukan lagi soal tokoh tertentu. Tetapi harus
menjadi sebuah upaya bersama-sama dari sebuah tradisi budi daya. Ibaratnya kita
ingin punya kebun mangga super. Maka kita harus mencari bibit terbaik.
Menyiapkan lahan. Lalu menanam. Memelihara. Hingga menghasilkan mangga
berkualitas terbaik. Bilamana kita bisa melakukannya pada mangga, maka kita
mestinya juga bisa melakukan terhadap calon pemimpin di negeri ini.
(bersambung bagian 3)
(bersambung bagian 3)