Monday, December 06, 2010
NGAK ADA YANG BERUBAH DI REPUBLIK INI
When we are no longer able to change a situation, we are challenged to change ourselves. ~ Victor Frankl
Malam itu saya kembali dari Bangkok. Dilapangan udara Cengkareng,sebelum melewati petugas bea cukai, dibelakang saya ada 3 orang berseragam hitam-hitam. Mendorong 3 troley, dengan sejumlah koper besar-besar. Dan menyebut nama orang penting di republic ini. Sang petugas bea cukai hanya nyengir saja. Dengan sangat terpaksa ia mempersilahkan mereka lewat tanpa diperiksa. Tiba-tiba dada saya sesak. Kenapa hal-hal tertentu di republik ini masih saja tidak berubah. Terutama kebejatan-kebejatan tertentu.
Malamnya saya menelpon teman yang sudah bekerja bertahun-tahun disebuah maskapi penerbangan, dan sekaligus bercerita tentang pengalaman saya. Ia tertawa ngakak. Menurut dia, banyak hal di republik ini yang belum berubah. Tetap sama. Kehausan dan keserakahan kita untuk aji mumpung, masih tetap saja sama dan tidak bergeming satu jengkalpun. Ia menasehati saya untuk acuh. Biar saja, begitu ia menasehati saya.
Pulang dari bandara, saya mampir kerumah Mpu Peniti, sambil mengantar singkong santan, kesukaan Mpu Peniti. Siang tadi saya beli disalah satu took kue di Bangkok. Berdua ditemani martabak, singkong santan dan secangkir kopi, saya bercerita tentang kegelisahan saya soal republic ini. Mata tua Mpu Peniti menerawang sangat jauh. Ia menghela nafas panjang. Ia merasakan hal yang sama. Seperti awan yang bergantung dilangit. Membuat panas cuaca, tetapi tidah jua menurunkan hujan. Dengan lirih beliau bercerita tentang seorang guru ZEN yang sedang mengajar para murid-muridnya.
Alkisah seorang guru, sedang mengajar dibawah sebuah pohon rindang. Ia dikelilingi puluhan muridnya. Lalu ia bertanya dengan suara lantang berwibawa, “Dalam kehidupan ini, apa yang paling dekat dengan kita semua ?” Sejenak para murid berpeikir keras. Salah satu muridnya mengatakan “Orang tua !” Sang guru tersenyum tetapi menggeleng. Lalu satu murid yang lain berkata “Sang Guru”. Sang guru tetap menggeleng. Setelah sejumlah murid menjawab, sang guru menjelaskan “ Bayangan kita”. Para murid terhenyak. Dalam kehidupan ini, segala nilai, prestasi dan reputasi kita dibayang-bayangi oleh tindakan kita. Prilaku dan tindakan yang tidak terpuji akan selalu menempel dan menjadi baying-bayang kita selalu.
Sang guru, lalu mengajukan pertanyaan kedua. “Apa yang paling jauh dalam kehidupan kita ini ?” Pertanyaan kedua yang tampak lebih mudah, disambut dengan sangat antusias oleh para murid. Jawaban bervariasi. Ada yang menyebut bulan, bintang dan matahari. Namun tidak ada satupun jawaban yang memuaskan sang guru. Ia tetap saja menggeleng. Akhirnya sang guru membuka rahasia dari jawaban kedua. Kata beliau, tidak ada yang lebih jauh dari diri kita, selain masa lalu. Sedemekian jauhnya sehingga kita tidak lagi bias menyentuhnya. Sang guru berpesan, bahwa apa yang telah terjadi di masa lalu, seringkali tak terhapuskan. Jadi hati-hatilah berbuat, sehingga kita tidak mewariskan masa lalu yang kelam.
Sang guru lalu melempar pertanyaan yang ketiga. “Benda apa yang paling besar dalam kehidupan kita ?” Mendapat pengalaman dari dua pertanyaan didepan, banyak murid yang tidak berani menjawab karena takut salah. Suasana Nampak hening. Akhirnya seorang murid memberanikan diri menjawab “ Bumi !”. Sang guru tersenyum, lalu menjawab, “Tidak ada benda yang lebih besar daripada Nafsu. Sedemikian besarnya sehingga kita selalu dikalahkan oleh nafsu. Jangan biarkan nafsu tumbuh menjadi sedemekian besarnya dan mengalahkan kita. Para murid mulai mengerti dan menyimak lebih dalam.
Waktu berjalan perlahan, Matahari mulai turun dan perlahan-lahan sinarnya mulai meredup di langit sebelah barat. “Benda apa yang paling berat dalam kehidupan kita ?” Nampaknya pertanyaan semakin sulit. Sebagian muird mulai menggaruk-garuk kepala. Salah seorang murid akhirnya menjawab “Emas logam mulia”. Sisanya lirih menjawab, “gunung”, dan “batu karang”. Sayangnya semua jawaban masih salah dan belum ada yang memuaskan. Sang guru melipat kedua tangan-nya didada dan berkata “ Yang paling berat dalam kehidupan ini kepercayaan”. Inilah beban hidup yang sesungguhnya. Seorang pemimpin dinilai dari prilakunya memegang teguh kepercayaan yang dilimpahkan kepadanya Tidak ada yang mampu lebih berat daripada yang satu ini.
Dalam pertanyaan berikutnya, sang guru bertanya kebalikan dari pertanyaan sebelumnya. “Benda apa yang paling ringan dalam kehidupan kita ?” Puluhan jawaban lepas dari mulut para murid-murid. Ada yang menyebut, “nafas”,“daun kering”, “kapas” dan”debu”. Jawaban-jawaban itu belum memuaskan sang guru. Sambil menutup mata, dan menghela nafas panjang, sang guru menyebut lirih :” Yang paling ringan adalah meninggalkan tanggung jawab” Lalu beliau menjelaskan, seringkali sebuah keluarga dan Negara menjadi hancur berantakan, semata-mata karena sang pemimpin dengan entengnya meninggalkan tanggung jawab.
Pertanyaan yang terakhir sebelum matahari tenggelam, Sang guru bertanya kepada seluruh murid-muridnya. “Benda apa yang paling tajam di muka bumi ini ?” Serentak para murid menjawab “ pisau dan pedang”. Sang guru menggeleng. “Benda yang paling tajam di dunia ini adalah lidah manusia. Begitu tajamnya, seringkali ia membuat luka yang paling dalam tanpa ia sadari. Saking tajamnya, seringkali ia membuat luka yang tidak berdarah dan tidak meninggalkan bekas luka” Akhir kata sang guru berpesan, “Semua yang berat dan ringan, besar dan kecil, hanya menjadi persoalan fisik, apabila kita menggunakan panca indera yang biasa. Tetapi setiap kali kita menggunakan mata hati dan nurani, maka persoalannya menjadi sangat berbeda. Kualitas kita sebagai manusia sangat ditentukan oleh nurani kita. Jadilah kalian murid-muridku yang bernurani. Yang memiliki perasaan. Bukan yang mati rasa “
Usai pertanyaan ke 6 dari sang guru. Maka usailah cerita Mpu Peniti. Dan malam semakin larut, ketika saya meninggalkan Mpu Peniti. Di benak saya melayang sejumlah angan angan. Barangkali saja, kalau ada pemimpin yang mau menerapkan 6 pertanyaan ala ZEN yang bijak itu, mungkin nasib anda dan saya akan sangat berbeda. Mungkinkah angan-angan itu terwujud besok ?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment