Tuesday, December 28, 2010
KETIKA KITA KALAH 0-3 DARI MALAYSIA !
Saya tidak mau membela siapapun. Saya juga tidak mau menyalahkan siapapun. Dan saya tidak ingin mencari pembenaran apapun. Yang jelas kita semua sedih, kesal dan berduka, ketika TIMNAS SEPAKBOLA kita dikalahkan Malaysia. Seorang teman mengirim SMS, “Tau ngak, gue sampe nangis beneran, pas kita kalah !” Text SMS lain berbunyi : “Sebelllll…… sebelllllll…… sebelllllllll” Plus sejumlah SMS dan BB yang isinya bervariasi dari sumpah serapah, hingga kekesalan yang menjengkelkan.
Saya ingat betul, ketika Indonesia masuk final, saya sedang berada di airport Jakarta, diruang tunggu, menunggu pesawat ke Yogyakarta. Di TV saya menonton seorang menteri diwawancara dengan sangat semangat dan bertele-tele soal kemenangan Indonesia itu. Tak lama kemudian, seorang teman mengirim pesan di BB, “Ayo don, Tanya Mpu Peniti siapa yang bakal menang di Final “ Saya cuma menyeringai saja. Lalu bergegas naik pesawat. Pulang dari Yogyakarta, saya menerima sejumlah pesan yang mirip. Sejumlah teman saya, rasanya tidak yakin dan belum yakin Indonesia bakal menang. Saya pun jadi terusik. Sambil menenteng soto kesukaan Mpu Peniti dan martabak manis favorit beliau, saya maju akhirnya menuju rumah beliau. Saya tahu pasti beliau tidak akan mau memberikan ramalannya pada saya. Cuma iseng dan penasaran saja, yang membuat saya ingin tahu, apa bisikan dan komentar beliau.
Dirumah Mpu Peniti, saya disambut beliau diberanda depan. Melihat saya membawa soto dan martabak, beliau senyum-senyum saja. Hanya saja senyum terlihat agak sinis. Hati saya jadi ciut. Pasti beliau sudah tahu maksud dan tujuan saya. Di teras belakang, akhirnya kami makan malam. Sambil ditemani 2 orang cucunya. Kami berbicara ringan, tentang tahun 2010 yang cukup gonjang ganjing. Dan acara tahun baru nanti. Menjelang selesai makan malam, kami ngopi ditemani martabak. Mpu Peniti lalu bercerita panjang lebar tentang saat-saat kecil beliau ketika masih suka main bola di Yogyakarta dulu. Beliau berkomentar “ Alangkah dahsyatnya bilamana kita berhasil mengalahkan Malaysia. !” Kini giliran saya yang menyeringai lebar. Lanjut Mpu Peniti’ “ Maka semua kekesalah kita akan terhapus semua” Saat itu saya tiba-tiba merasakan betapa kemenangan Indonesia mutlak perlu dan sangat penting.
Bayangkan, kita dan Malaysia, biar bertetangga, hubungan kita selalu boleh dikata seperti musuh bebuyutan dengan sejumlah konflik dan emosi yang sangat kompleks. Mulai dari jaman Soekarno, dengan kampanyenya “Ganyang Malaysia”, hingga perseteruan kita dijaman bulu tangkis tahun 70an, dan masalah lain seperti TKI, lagu dan kesenian yang dibajak, hingga perselisihan perbatasan. Maka kritik Mpu Peniti, apapun ongkosnya Indonesia harus menang. Kalau saja hasilnya terbalik, maka situasinya bakal makin runyam.
Menjelang Natal, saya berangkat ke Bandung, untuk mengurus restoran saya yang baru. Dan saya berjanji kepada beberapa teman untuk nonton bareng, atau “nobar” final bola yang pertama di Malaysia itu di Jakarta. Pagi hari tanggal 26 Desember, sejumlah SMS masuk dan menanyakan kepastian saya. Tetap saja saya jawab akan ikut “nobar’ di Jakarta. Menjelang sore, sekitar jam 4, saya baru bebas dan bergegas menuju Jakarta. Awalnya saya tertidur di mobil. Entah berapa lama. Ketika saya bangun, mobil masih merayap di Pasteur. Saya melirik jam dan ternyata sudah sejam, kita masih belum keluar kota Bandung. Gerimis mulai turun, antrian mobil semakin panjang dan macet. Mimpi buruk yang saya takutkan akhirnya terjadi juga. Sepanjang Pasteur hingga loket tol di Padalarang, macet total. Mobil merayap sangat pelan. Akhirnya butuh 3 jam untuk keluar tol Padalarang.
Teman-teman saya yang tidak sabar, sudah SMS dan BB menanyakan lokasi saya. Jam tujuh malam ‘teng’, final bola dimulai. Saya masih dijalan. Up-date jalannya pertandingan hanya saya ikuti lewat BB dan SMS. Tak lama kemudian, babak pertama usai. Dan skor masih seri alias kosong-kosong. Menjelang tempat peristirahatan km 97, saya melihat antrian yang sangat padat. Kami ikut antri. Karena sudah 3 jam merayap di jalan. Dan sisa ngopi tadi siang sudah berontak pengen keluar. Mulanya saya berpikir, orang-orang ini juga ingin ke WC karena lelah kena macet. Tebakan saya ternyata salah. Semua berhenti dan mampir, dengan satu tujuan. Menyempatkan diri menonton Indonesia berlaga. Suasananya sangat gegap gempita. Riuh dan sangat sulit digambarkan. Melebihi saat pengumuman suara pemilu. Malah WCnya sepi. Yang ramai, hampir ditiap gerai dan restoran yang memajang televise, semua menonton dengan sangat antusias. Tiap gerakan selalu di-iringi sorak sorai yang riuh.
Satu hal yang jelas terpampang di setiap wajah yang menonton, mereka sangat haus akan kemenangan. Barangkali itulah jawaban yang kita cari selama ini. Bangsa ini haus pada kemenangan. Bangsa ini haus pada sesuatu yang bisa kita banggakan. Sudah terlalu lama rasanya, harga diri kita lecek dan lusuh, tidak mendapat setrika baru yang melicinkan. Saat itu, batin saya ikut berseru “Indonesia harus menang ! Indonesia harus juara !”
Karena tempat penuh dan tidak ada ruang parker tersisa, saya akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Melihat betapa antusias dan besarnya dukungan para fans sepakbola kita, saya optimis kita akan menang. Namun nasib timnas Indonesia, punya cerita yang berbeda. Tak lama setelah meninggalkan tempat peristirahatan km 97, masuk SMS dan BB yang mencemaskan. Gawang Indonesia bobol satu nol. Langsung hati saya remuk redam. Ketika gol kedua masuk, saya tak kuasa menahan diri, lalu mengumpat dan memaki. Rasanya kesal bukan main. Dan pas gawang Indonesia, jebol ketiga kalinya, saya langsung lemas. Saya melirik jam, dan waktu tinggal sedikit. Hati saya membatin bahwa Indonesia akan kalah. Ternyata memang itu yang terjadi ! Kita kalah 0-3 !
Jam 10 malam saya tiba dirumah. Bandung – Jakarta yang biasanya kita tempuh dalam 2 jam lebih, kali ini harus saya alami 6 jam. Perasaan saya sangat galau. Letih lelah dan kecewa kita kalah. Esok harinya semua kritik, dan pernyataan salah menyalahkan, serta sejumlah pembelaan diri muncul. Mulai dari isu, laser, petasan, hingga ajakan menteri makan malam. Pokoknya ramai luar biasa. Satu hal yang saya rasakan betul adalah kekalahan itu sangat mirip dengan perjalanan saya yang 6 jam pulang dari Bandung. Dan semua orang langsung pesimis bahwa pada akhirnya kita akan kalah juga pada tanggal 29 Desember mendatang.
Sebenarnya ada satu pelajaran yang sangat dahsyat dari semua peristiwa ini. Dan mestinya pemimpin bangsa ini sadar dan eling. Bahwa kita sangat merindukan sebuah kemenangan dan kebangga-an ! Kata Mpu Peniti, “ Kalau 11 orang bisa menghentikan Negara ini dalam 90 menit. Maka 11 orang yang sama bisa menggerakan Negara ini dalam 9.000 menit berikutnya !” Barangkali itu peluang yang sesungguhnya. Bahwa sudah saatnya masalah olahraga ditangani secara serius dan professional. Jangan amatiran dan hanya menjadi komoditi politik. Siapa tahu, Olahraga adalah semangat terbarukan bangsa kita yang selanjutnya !
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment