Monday, March 29, 2010
MENJADI ORANG GILA YANG BERBAHAGIA
Saya sudah mengenal Simon hampir 20 tahun. Orangnya sederhana. Pekerja keras. Tidak mudah menyerah. Walaupun pendidikan-nya tidak tinggi, ia mudah bergaul dengan siapa saja. Barangkali ini yang menjadi sejumlah kombinasi mematikan sehingga istrinya jatuh cinta pada Simon pertama kalinya dan menikah. Istri Simon berpendidikan jauh lebih tinggi. Dan dari keluarga dengan ekonomi yang jauh lebih baik. Terdengar klise, tapi inilah realita sebagian besar keluarga menengah di kota-kota besar. Termasuk Singapura dimana Simon dan keluarganya tinggal.
Ketika mulai menikah, Simon bekerja hanya sebagai pegawai biasa disebuah perusahaan iklan. Istrinya beda. Karirnya meroket dan berhasil menjadi manager disebuah perusahaan menengah dengan gaji lumayan. Awalnya mereka berdua cukup berbahagia. Mereka dikarunia sepasang anak pria dan wanita. Perkawinan mereka terlihat sempurna. Keluarga kelas menengah yang sedang menanjak derajat kesejahtera-annya. Tak lama kemudian, Simon keluar dari pekerjaan-nya karena ia mendapat pekerjaan yang lebih baik. Simon menjadi seorang entrepener. Istrinya sangat gembira. Penghasilan Simon masih tetap kalah dibanding dengan istrinya. Mobil-nya pun kalah bagus dengan istrinya. Di Singapura konon ini adalah hal yang cukup biasa.
Namun karena keduanya berasal dari etnik Tionghoa, bisik-bisik yang miring tetap saja masih terdengar. Bahwa istrinya lebih perkasa dari Simon. Awalnya mereka tidak peduli. Tak lama kemudian, Simon kehilangan usaha-nya. Maklum di Singapura kompetisi sangat ketat. Paman Simon memberi semangat dan mengusulkan agar Simon mengambil alih usaha paman-nya. Sang paman sendiri mau berusaha bisnis yang lain di China. Simon tersanjung. Simon melihat celah baru. Ia akan bisa menandingi istrinya. Awalnya memang demikian. Tahun pertama Simon berhasil ganti mobil baru. Ia mabuk sukses. Istrinya awalnya ikut berbahagia bersama keluarga.
Tahun ketiga, ternyata paman Simon punya rencana busuk. Ia tega menipu Simon. Perusahaan bangkrut dan Simon dikejar hutang yang cukup banyak. Situasi inilah yang kemudian menjadi bara yang mengawali api besar yang menghancurkan rumah tangga Simon. Ibarat parlemen, istrinya mulai menyalahkan Simon. Seribu satu kesalahan ditumpahkan kepada Simon. Sehingga akhirnya mereka pisah ranjang. Mereka hidup serumah tetapi tidak saling bicara. Simon harus mengurus dirinya sendiri. Mulai dari memasak hingga mencuci bajunya. Ia juga mulai kerja serabutan. Apa saja asal menghasilkan uang. Kehidupannya sedemikian miris, sehingga Simon harus meminjam uang kepada saya setiap kali anaknya ulang tahun atau ketika menjelang Natal dan Imlek. Simon tidak punya tabungan dan uang lebih untuk membeli hadiah atau sekedar kado buat anak-anaknya.
Celakanya pula, beda pendidikan dan status diantara mereka yang cukup lebar itu, yang awalnya biasa-biasa saja, lalu menjadi masalah besar ketika mereka cekcok. Mpu Peniti, pernah sekali bercerita kepada saya, bahwa secara omong besar, katakanlah seorang Presiden yang sangat cerdas dan terpelajar bisa saja bergaul dengan rakyat dari segala golongan. Lapisan bawah, menengah dan atas – tidak akan ada masalah. Kalau situasinya damai dan hanya untuk ala kadarnya saja. Tapi lain perkara kalau mereka harus berdebat, dan berselisih. Perdebatan dan perselisihan itu bagaikan air dan minyak. Cara berpikir yang sangat berbeda membuat perselisihan dan perdebatan mereka menjadi runyam dan ruwet bukan kepalang. Itu yang diceritakan Simon kepada saya. Bahwa ketika mereka akur-akur saja, komunikasi mereka baik-baik saja. Tetapi ketika mereka berselisih, berdebat dan bertengkar, Simon merasa tidak mengenal siapa sebenarnya sang istrinya itu.
Lima tahun lebih Simon pisah ranjang. Ia sangat menderita. Namun ia adalah orang baik. Tiap bulan ia berusaha memenuhi nafkah ekonomi kepada keluarganya tanpa kurang satu sen pun. Ia bercerita seringkali ia berhemat hanya makan roti dan mie instan demi keluarganya. Betapa sering dalam situasi yang serba sulit itu ia merasa hampir gila saking putus asanya. Tetapi untunglah Tuhan selalu memberikan kekuatan yang tersembunyi. Dan selalu disaat-saat yang istimewa. Setiap kali Simon pulang kerumah dimalam hari dan melihat kedua anaknya belajar, Simon selalu saja tersentak dan seolah ia merasa mampu mengintip masa depan-nya. Hal ini yang membuat ia bertahan, tidak menyerah dan tetap berjuang hingga kini.
Minggu lalu, ketika saya singgah di Singapore dalam perjalanan menuju Seattle, Simon mengirim SMS dan mengajak makan. Kami ngobrol panjang lebar. Simon kini memiliki 3 pekerjaan. Pagi ia bekerja di perusahaan kurir. Siang hari ia berkerja mengurus administrasi di sebuah perusahaan kecil. Dan malam hari ia bekerja sebagai tele-marketing disebuah perusahaan asuransi. Yang membuat saya terkejut adalah perkataan Simon, sebelum kami berpisah. Ia bercerita bahwa akhirnya istrinya memutuskan untuk bercerai, dan Simon juga sudah setuju. Awalnya saya sedih mendengarnya. Karena dalam hati kecil saya, selalu terbesit harapan dan optimisme bahwa mereka suatu hari akan rujuk kembali dan rumah tangga mereka akan utuh lagi. Harapan itu pupus sudah.
Sebelum kami berpisah, Simon sembari tersenyum mengatakan : “Biarkanlah saya menjadi orang gila yang berbahagia !” Saya ikut tersenyum getir mendengar komentarnya. Kalimat itu nempel pada saya berhari-hari. Mulanya saya tidak mengerti seluruh ungkapan itu. Dalam perjalanan dari Portland ke San Francisco, dipesawat saya teringat wajah seorang gelandangan yang sering lewat rumah saya. Kata orang-orang, ia menjadi gelandangan karena pikiran-nya kurang waras. Istilah populer di masyarakat “orgil” atau orang gila. Namun gelandangan ini agak berbeda. Ia tidak pernah terlihat marah-marah atau maki-maki sendirian. Wajahnya cukup lumayan. Setiap beberapa bulan ia berganti pakaian baru. Seperti masih ada keluarga yang menjaga dan mengatur hidupnya. Saya sering melihatnya disudut-sudut perempatan, duduk sembari merokok. Yang menakjubkan adalah roman mukanya yang selalu terlihat gembira dan berbahagia. Sesekali terkadang saya juga melihatnya tersenyum. Entah apa perasaan-nya, siapapun tidak akan pernah tahu. Barangkali ketidak sempurna-annya berpikir yang waras, merupakan taktik survivalnya menghadapi hidup yang sangat keras ini.
Bahwa dalam hidup ini, seperti Simon dan gelandangan itu, kebahagian kita tidak melulu harus berada ditempat yang pas dan semestinya. Karena kadang kebahagian kita itu disembunyikan Tuhan dengan eloknya, agar bisa kita mengerti dan kita nikmati dalam pigura dan arti yang sangat pribadi. Pada saat itulah kita merasakan, sesungguhnya bagaimana Tuhan telah merawat dan menjaga kita masing-masing. Dalam cara yang selalu msiterius dan tidak mungkin kita mengerti.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment