Monday, November 02, 2009

JANDA



Kata atau sebutan Janda, barangkali bukan sebutan populer. Walaupun sesekali menjadi “buzzword” di berbagai infotainment kalau kata ini menempel pada seorang selebriti. Dan kalau seseorang wanita muda mendapat gelar “janda kembang”. Tapi saya merasa sangat ganjil dan canggung untuk membahas istilah ini secara populer. Melainkan sebuah kegundahan hati yang sangat berbeda. Teman saya di Surabaya, bercerita tentang nasib pembantu rumah tangganya. Katakan saja namanya Wati. Saat mulai bekerja di tempat teman saya, Wati belum lagi genap berusia 20 tahun. Wajahnya memang biasa-biasa saja. Tubuhnya tidak jelek. Tidak terlampau kurus dan juga tidak gemuk. Cukup sintal, begitu istilah populernya. Setelah setahun bekerja di tempat teman saya, Wati menunjukan prilaku aneh. Mudah murung, dan menarik diri. Kadang menangis sendiri. Teman saya tentu saja heran. Dengan gaya detektif ia berusaha menyelidik. Mulanya Wati emoh bercerita. Setelah dibujuk berhari-hari, akhirnya ia mau juga membeberkan rahasia hidupnya. Menurut Wati, hampir semua teman sekolahnya dulu sudah menikah. Ia belum juga ada yang meminang. Di desanya ia ramai digunjingkan tetangga. Ia ingin sekali menikah. Biarpun pernikahan-nya cuma berlangsung seminggu. Ia merasa lebih baik menyandang predikat janda, daripada jadi perawan buluk. Teman saya terperanjat bukan main. Ia bersusah payah menasehati Wati. Namun tidak berhasil. Wati keras hati, ia sudah bertekad bulat. Ingin kawin segera. Itu sebabnya hampir semua gajinya ia serahkan kepada bapaknya, agar bapaknya bisa menyogok satu pria dikampung untuk menikahi Wati. Dan itu sudah berlangsung hampir setahun. Itu sebabnya Wati sering murung, karena kabar kegagalan bapaknya di kampung untuk mencarikan suami, selalu membuatnya sangat sedih.

Untunglah tak lama kemudian, kabar baik berhembus dari desa. Bapaknya sukses mencarikan suami. Maka Wati pulang kampung dengan wajah sumringah. Dan jadilah ia pengantin seperti yang ia dambakan. Namun tak lama setelah hampir 8 bulan berselang, Wati mengirim SMS, isinya ia ingin kembali kerja. Teman saya senang-senang saja. Wati pekerja yang baik. Ketika kembali bekerja, iseng-iseng teman saya kembali menyelidik, tentang status perkawinan Wati. Uniknya mereka tidak cerai. Mereka kawin, tetapi tidak berumah tangga. Wati juga tidak peduli apabila suaminya, kawin lagi. Paling-paling cerai, dan ia menjadi janda. Status itu tidak memberikan arti apa-apa buat Wati. Tentu saja teman saya yang berbalik sedih. Buat apa menikah, kalau cuma buat status belaka. Tidak ada rumah tangga. Tidak ada kebahagiaan. Wati bercerita, banyak teman-teman-nya yang bekerja lebih jauh, ke Arab, Hong Kong, atau Singapura. Nasib mereka sama dengan Wati. Ada yang janda, ½ janda dan ¼ janda. Kata Wati sambil tersenyum dikulum, “Yang penting saya sudah laris, dan terbukti pernah kawin”. Duh, dunia ini, mengapa sedemikian rapuh, kumel dan cepat basi mirip koran terbitan kemarin.

Barangkali predikat Janda di tanah air punya kompleksitas dan kesederhanaan tersendiri. Dalam banyak hal, tak jarang ia menjadi fenomena, yang juga mendatangkan kekaguman luar biasa. Seorang kolega yang banyak berkecimpung didalam industri asuransi, bercerita bahwa, banyak perusahaan asuransi, memiliki jagoan penjualan kebanyakan wanita. Dan banyak diantara wanita itu yang kebetulan statusnya Janda. Ini jangan dianggap sebuah fenomena negatif. Tetapi justru terbalik. Karena menurut kolega saya, ia punya analisa menarik. Banyak di antara para janda itu yang memiliki cerita tentang bagaimana mereka di tinggal suaminya. Ada yang ditinggal mati. Dan ada pula yang ditinggal cerai. Sejumlah cerita juga menceritakan perjuangan wanita itu yang kebinggungan karena harus mencari nafkah untuk menghidupkan keluarga dan anak-anak. Sebagian janda itu merasa telah jatuh dan terperosok ke dasar lubang yang paling dalam. Dan ketika kita jatuh hingga dasar lubang, tidak ada pilihan lain lagi. Kita tidak bisa jatuh lebih dalam. Satu-satunya jalan yang tersisa adalah naik keatas. Itu sebabnya perjuangan mereka sangat gigih, dengan kombinasi nekat dan kepepet yang kental. Mereka menjadi agresif dan berbahaya. Sukses mereka tidak lagi menjadi sebuah keajaiban. Melainkan “reward’ yang sudah selayaknya dan semestinya mereka terima. Banyak cerita-cerita perjuangan mereka menjadi inspirasi untuk berontak dan memperjuangkan nasib kehidupan ini.

Seorang teman wanita yang juga kebetulan seorang Janda, merasa cerita saya masih jauh dari komplit. Ia bertutur, bahwa banyak sekali teman-teman-nya yang juga kebetulan Janda, tidak mendapatkan kesempatan yang sama dalam memperjuangkan nasib mereka. Banyak diantara Janda itu, justru yang bernasib berbeda. Dengan kesempatan yang sama sekali berlawanan. Ia berharap pemerintah merevisi undang-undang perkawinan yang ada, dan membuat perceraian tidak lagi sedemikian mudah. Serta perlindungan Janda lebih baik, semata-mata untuk melindungi anak-anak dimasa mendatang.

Lucia (bukan nama sebenarnya) adalah Janda dengan 2 orang anak. Ketika bercerai dengan suaminya, ia langsung pindah ke Bali. Ia mengaku, bahwa yang ia miliki cuma sisa kecantikan-nya. Terus terang, di Bali ia memancing untuk mencari suami orang asing. Ia ingin tinggal di luar negeri. Karena di luar negeri, perlindungan anak dan Janda jauh lebih baik. Kini ia tinggal di Eropa bersama suami keduanya. Lucia berkata, bahwa suaminya bukanlah belahan jiwa yang ia mimpikan sejak remaja dulu. Mereka beda usia hampir 15 tahun. Suaminya juga duda dengan anak-anak yang sudah dewasa. Walaupun bagi Lucia perkawinan keduanya jauh dari ideal, setidaknya ia punya harapan nasib anak-anaknya lebih terjamin. Apapun juga penderitaan dan kesulitan yang harus ia hadapi, Lucia menganggapnya sebagai bayaran dan resiko hidup. Ia mengaku siap menjalaninya. Lucia bercerita bahwa kehidupannya di Eropa cukup baik. Ia juga termasuk yang nasibnya mujur. Karena banyak Janda seperti Lucia yang kemudian pindah ke luar negeri untuk perkawinan kedua, tidak semua berakhir bahagia. Banyak yang terbelit kisah-kisah sedih dan penderitaan yang lebih buruk.

Seorang tokoh pendidik, bercerita bahwa seringkali di Indonesia, para Janda tidak memiliki kompleksitas perebutan hak perwalian anak. Malah seringkali lebih banyak kita menjumpai Janda yang ditinggal suaminya, begitu saja. Dimana sang suami secara bersamaan juga meninggalkan anaknya sekalian bersama ibunya. Lalu wanita yang menjadi Janda, merasa terbebani karena harus mendidik dan membesarkan anaknya sendiri. Bekas suami jarang sekali yang menitipkan tunjangan kesejahteraan anak secara teratur apalagi sering menengok sang anak. Akibatnya sang Ibu yang menjanda, akan melakukan apa saja demi anaknya. Hal ini seringkali memojokan posisi sang Ibu. Membuat nasibnya rapuh dengan begitu banyak cobaan. Dan perjuangan. Ini yang mengusik kegusaran hati kita.

No comments: