Monday, October 19, 2009
YANG TAK TERDUGA ..... YANG MENGEJUTKAN
Bagi saya, yang terkena “kutukan” harus hidup di luar rumah minimal 100 hari lebih dalam setahun, dalam berbagai tugas dan perjalanan dinas, maka hal-hal kecil kadang-kadang menjadi hiburan yang paling berarti. Termasuk misalnya makan. Bayangkan saja, apabila setelah menempuh perjalanan lebih dari 6 jam, anda tiba disebuah hotel, menjelang malam, dan hanya sendirian, maka kemungkinan opsi makan seringkali cuma tinggal memesan “room service” dari hotel. Disamping mahal, seringkali menunya seragam, dan rasanya tidak terjamin. Terkadang kita dipaksa memilih menu aman, seperti nasi goreng, sop buntut, atau rawon. Itupun rasanya seringkali standar. Yang penting asal masuk perut dan kenyang.
Setelah lebih dari 15 tahun, menjelajahi berbagai kota dan benua, dari Tunisia, Paris, Istanbul hingga Kupang, maka akhirnya kita menjadi hafal dengan makanan hotel. Dan anugerah yang paling luar biasa adalah panca indera khusus untuk memilih makanan hotel. Dengan referensi ribuan jam terbang dan ratusan cerita-cerita horor, tentang makanan hotel, sesekali kita juga menemukan yang tak terduga. Yang mengejutkan dan yang terkadang juga sangat menyenangkan.
Banyak orang yang bertanya kepada saya, dimanakah tempat makan yang paling romantis di Jakarta ? Maka jawab saya hanya ada dua. Di Sea World Ancol dan Restoran Seafood Terrace di hotel Grand Hyatt Jakarta. Pernah sekali saya diundang makan malam, ditempat yang tidak lazim. Yaitu di Sea World Ancol. Entah bagaimana caranya, yang punya acara itu mampu bernegosiasi dengan manajemen Sea World Ancol, untuk ‘dinner’ didalamnya setelah Sea World Ancol ditutup untuk umum malam hari. Sebuah meja panjang digelar diantara koridor yang dikelilingi oleh aneka Aquarium. Acara makan malam dimulai dengan presentasi soal Sea World, dan demo memberi makan ikan hiu. Hiburan yang lumayan unik. Namun atraksi yang paling luar biasa adalah saat ‘dinner’ itu sendiri. Dengan cahaya remang-remang dari Aquarium kami bersantap malam. Suasana-nya sangat fantastis. Gerakan ikan yang mundar mandir di Aquarium membuat suasana sangat-sangat unik. Dan terasa sangat romantis banget. Pengalaman yang sangat aduhai. Sungguh tak terlupakan. Saya tidak yakin, apabila manajemen Sea World Ancol saat ini masih membolehkan bersantap malam seperti itu. Padahal itu bisa menjadi atraksi yang spektakuler buat kota Jakarta.
Tempat yang kedua, percaya atau tidak saya temukan tanpa sengaja. Saya ingat saat itu Jakarta sedang musim hujan. Dan kebetulan sedang liburan ‘long week-end’, sehingga hampir semua tempat makan di hotel Grand Hyatt penuh dan luber dengan pengunjung. Padahal saya ada tamu penting berkunjung dari Hongkong dan tinggal di Grand Hyatt. Mau keluar makan ditempat lain, malas sekali, karena hujan sedang menggempur Jakarta habis-habisan. Akhirnya seorang staff di Grand Café menyarankan saya untuk mencoba restoran mereka yang kurang populer, karena tidak ber-AC dan terletak pas di kolam renang. Suasananya memang sangat ‘casual’ sekali. Akhirnya kami nekat dan memutuskan makan disitu juga. Pilihan terakhir.
Ketika kami tiba, hujan sudah mulai reda. Cuma tinggal gerimis. Tapi angin bertiup semilir, sangat sejuk. Dengan pemandangan kolam renang, kami merasa berada ditempat lain. Bukan seperti Jakarta yang pengap. Suasananya menghanyutkan. Kami memesan menu ‘basic’. Sate kambing, dengan udang bakar. Plus cumi bakar dan cah kangkung terasi. Ditambah nasi goreng dengan sambel irisan rawit dengan kecap manis. Kami makan dengan lahap, ditemani angin, dan suara gerimis. Terasa sangat magis sekali. Berkali-kali teman kami dari Hong Kong memuji suasana malam itu. Baru kali ini ia merasa menemukan Jakarta yang beda. Setelah peristiwa malam itu, setiap kali ia ke Jakarta, kami selalu makan ditempat yang sama. Hujan ataupun tidak. Hanya untuk mengenang malam yang sangat romantis itu. Sayapun masih kesana, terutama dimusim hujan dan saat-saat malam yang gerimis tidak mau berhenti.
Tiap kota yang saya kunjungi, biasanya juga punya tradisi kuliner tersendiri. Gudeg dan sate Klathak di Yogya. Lumpia di Semarang. Rawon dan bebek goreng di Surabaya. Mie kocok dan lotek di Bandung. Pempek di Palembang. Atau juga babi guling di Bali. Beberapa tempat makan dikota setempat seringkali menjadi pangkalan legendaris, dan selalu ramai dengan turis. Akibatnya bagi saya, tidak lagi menyimpan aura magis yang otentik. Seolah ada sesuatu yang hilang. Saya sering merasakan mereka kehilangan roh-nya. Itu sebabnya saya seringkali asyik berburu yang lain. Yang tak terduga. Dan yang mengejutkan.
Sebagai orang Jakarta yang sudah mendarah daging makan mie ayam, saya kadang punya kebiasaan mencari mie ayam di kota-kota tertentu. Terutama apabila kangen rumah. Di Jakarta, mie ayam banyak sekali aliran dan variasinya. Mulai dari jenis mie hingga racikan daging ayamnya. Kuah dan sambelnya. Semua berbeda dan semua punya gaya tersendiri. Mie ayam di Jawa Barat, mulai dari wilayah Puncak hingga Bandung, punya pakem yang khas. Kalau di Jakarta mie ayam sebelum disajikan kadang kala ditaburi irisan daun bawang, maka berlainan di Jawa Barat, di beri irisan daun seledri. Sehingga memberikan aroma yang unik dan khas. Yang terkenal dan paling beken adalah Mie Naripan. Selalu rame. Dan kalau ‘week-end’ bisa luber dengan antrian panjang. Karena malas antri, akhirnya lewat survey dan interview kiri kanan, saya diberi tahu Mie Encek di Jalan Guntur. Konon menurut dongeng dan cerita, Mie Encek bermula dari gerobak. Dijual oleh seorang lelaki setengah baya yang ramah. Ia tidak dikenal namanya, namun karena ramah maka semua orang memanggilnya encek. Atau sebutan lelaki setengah baya dalam bahasa Chinese. Mirip sebutan untuk seorang paman. Di Malaysia, sebutan ini berubah menjadi Encik atau ‘Tuan’.
Di Jalan Guntur, disebuah rumah, Mie Encek digelar. Didepan-nya ada merek neon box yang menyebutkan tahun asal Mie Encek. Ternyata sudah sangat tua dan lama. Porsinya tidak terlalu besar. Ada bakso goreng dan juga bakso sapi kuah. Mungkin saat ini Mie Encek di-operasikan oleh generasi ke tiga. Dan mereka nampaknya berusaha sekuat tenaga untuk mengembalikan semua tradisi awal. Barangkali pula itulah yang membuat mereka memiliki kelezatan yang berbeda. Murni dan otentik. Saat ini untuk mie ayam di Bandung, Mie Encek adalah favorit saya.
Di Ubud, Bali ada 2 tempat yang persinggahan kuliner yang hukumnya wajib. Warung Nuri dan Ibu Oka. Dulu Ibu Oka membuat semua orang penasaran. Buka jam 11.00 dan jam 2 lebih sedikit biasanya sudah ludes dagangan-nya. Kata orang Ibu Oka membatasi diri dan sangat menjaga kualitas. Akibatnya antrian panjang selalu muncul. Lalu belum lama ini dibukalah, cabang baru Ibu Oka. Letaknya didaerah Teges, Ubud sebelah timur. Sekitar 100 meter dekat Museum Rudana. Cabang baru ini memiliki ‘setting’ yang jauh lebih megah dari Warung Ibu Oka yang pertama, warung atau bisa dibilang resto ini bisa menampung lebih dari 100 orang di kedua lantainya.
Namun bagi anda yang tidak sempat ke Ubud, janganlah berkecil hati, di Nusa Dua tepatnya di Jalan Srikandi, ada warung babi guling yang sama. Dikenal dengan Warung Dobil. Terus terang ini adalah favorite saya. Karena menunya lebih lengkap, disertai kuah tulang iga dan seringkali juga ada satenya. Beberapa orang membisiki saya, bahwa hotel-hotel di Nusa Dua dan Jimbaran, seringkali juga memesan babi guling dari pak Dobil. Boleh dibilang kelezatannya memang beda dan Warung Dobil punya kejutan tersendiri. Itu yang saya suka.
Pengalaman mengarungi ratusan tujuan kuliner, selalu menarik. Mirip pengalaman mendulang mas. Terkadang yang tak terduga dan yang mengejutkan, sesekali kita menemukan bongkahan emas besar. Pengalaman menemukan itu, yang asyik dan sesekali membuat adrenalin mendidih.
( bersambung )
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
good articles, really loves reading your writings Pak.
Pls share info on how to invite you as a speaker for seminar or trainings around 2-3hrs.
bang Wahyu,
bisa kontak SULIS
di 7211358
thanks
Post a Comment