Saturday, August 15, 2009
KEMERDEKAAN INI !!!
Malam itu diteras café Hyatt Yogyakarta, kami bergurau dengan teman-teman dari Industri Kreatif, ada mas Alex dari Pas FM, lalu kartunis Ismail Sukribo dan teman-teman komunitas animasi. Obrolan kami melaju dari satu topik ke topik yang berbeda, dengan itensitas yang semakin lengket dan menarik. Tiba-tiba saja, Anang, teman kami dari komunitas animasi, nyeletuk dengan bersemangat api-api. Seolah mendapat “tenaga mimpi”, Anang membuat ‘statement’ penting: “Mestinya, buku sejarah kita mengatakan bahwa INDONESIA BERPERANG MELAWAN BELANDA SELAMA 350 TAHUN. Dan bukan …. INDONESIA DIJAJAH BELANDA SELAMA 350 TAHUN”.
Kami semuanya terperangah. Anang lalu membeberkan sejumlah argumen. Mungkin benar Belanda bercokol di Indonesia selama 350 tahun, punya Gubernur Jendral, dan ini dan itu. Tetapi bukan berarti kita diam dan tidak melawan. Perang melawan Belanda, barangkali sudah tidak terhitung jumlahnya. Sebutlah sejumlah perang yang sangat legendaris :
• Perang Maluku (Patimura) – 1871
• Perang Padri (Imam Bonjol) – 1821-1837
• Perang Diponegoro – 1825-1830
• Perang Bali (Puputan Buleleng) – 1846-1909
• Perang Banjar (Antasari) – 1859-1863
• Perang Aceh (Cut Nyak Dien) – 1873-1904
• Perang Tapanuli (Raja Si singamangaraja ke-XII) - 1878-1907
Secara geografis dan demografis, perang ini dilakukan hampir diseluruh wilayah Indonesia, mulai dari Aceh diujung Sumatera hingga Maluku. Juga dilakukan bersama Pangeran, Raja, tokoh Agama, hingga rakyat biasa. Lelaki dan perempuan. Boleh dikata kita terus menerus berperang dan melakukan perlawanan. Jadi argumen teman saya, Mas Anang benar adanya.
Uniknya setelah perang-perang legendaris itu berakhir, dan perang dunia pertama selesai, di bumi Nusantara tumbuh satu kesadaran politik yang luar biasa. Yaitu Sumpah Pemuda yang menjadi akar terbentuknya satu Kebangkitan Nasional pada tanggal 28 Oktober 1928. Satu dasa warsa setelah perang dunia pertama dan hampir dua dasa warsa sebelum perang dunia ke dua berakhir. Sebelum kemerdekaan kita deklarasikan. Semangat menyatukan Indonesia dijaman itu adalah sebuah upaya yang sangat luar biasa. Secara militer mungkin tidak segagah Sumpah Palapa, tetapi secara spiritual menurut saya sangat sakral dan penting. Bayangkan jaman itu belum ada internet. Bepergian antara satu tempat ketempat lain membutuhkan upaya yang tidak sedikit, namun kesadaran kita untuk bersatu membentuk satu identitas, satu tumpah darah, satu bangsa dan satu bahasa, merupakan kecerdasan dan pencerahan yang sangat luar biasa !
• PERTAMA. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe, Tanah Indonesia.
• KEDOEA. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa Indonesia.
• KETIGA. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia.
Dan setiap kali saya membaca teks asli Sumpah Pemuda, darah saya mendesir. Nafas saya terengah-engah. Ada satu luapan emosi yang tidak pernah bisa saya jelaskan. Mungkin karena kata-kata yang dipilih begitu rinci dan pernyataan yang tersusun rapi logikanya, sehingga membentuk cita-cita persatuan yang terasa sangat anggun dan suci.
Tidak terbayang oleh saya, bagaimana kemerdekaan ini yang dirumuskan dengan teliti dan lewat perjuangan darah, keringat, dan nyawa selama ratusan tahun, kini oleh segelintir orang ingin dirusak dan dicabik-cabik. Indonesia sebagai sebuah kesatuan fisik, semangat dan jiwa bukanlah cita-cita yang terbentuk begitu saja. Kalau kita mau menengok sejarah dan menyimaknya secara teliti, sejak abad ke 7 ketika Sriwijaya menjadi mercu-suar di Asia Tenggara dengan kekuatan maritim-nya kesadaran bersatu dan menyatu mungkin mulai tumbuh secara politis. 600 tahun kemudian di abad ke 13, Gajah Mada mengangkat kesadaran itu menjadi sebuah sumpah, yaitu Sumpah Palapa.
Gajah Mada bersumpah : Sira Gajah Madapatih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: "Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa".
Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, "Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa".
Sumpah Palapa lalu menjelma menjadi Sumpah Pemuda pada tahun 1928, yang juga uniknya kurang lebih 600 tahun kemudian. Barangkali proklamasi kemerdekaan kita pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah sumpah yang ketiga.
Barangkali benar kata Mpu Peniti, bahwa tanah Indonesia sangat suci. Bahwa disinilah anugrah Tuhan tersemai berlimpah. Bahwa Indonesia terbentuk lewat mimpi, cita-cita, kesadaran politik, perjuangan dan pengorbanan. Bayangkan lewat 3 sumpah selama hampir 1.500 tahun lamanya.
Barangkali ada baiknya, dan sudah tiba saatnya sejarah Indonesia, ditulis kembali dengan perspektif yang berbeda. Perspektif yang lebih positif untuk memotivasi bangsa dan negeri ini. Perspektif untuk menyadarkan kita semua, bahwa takdir tanah, bangsa, dan negeri ini adalah berjaya ! Merdeka !
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment