Sunday, December 28, 2008
SATE REMES - OLD&NEW 31 DESEMBER 2008 DI RESTORAN OASIS
Menurut Mpu Peniti, mentor saya, barangkali inovasi terhebat yang pernah ditemukan oleh manusia, percaya atau tidak adalah SATE ! Mulanya saya ketawa terpingkal-pingkal mendengar komentar ini. Karena menurut saya, masih banyak inovasi yang spektakuler. Seperti misalnya roda !
Namun Mpu Peniti langsung menyanggahnya. Menurut beliau, jangan dilihat dari sepelenya sate. Tapi dari konsepnya. Yaitu memasak sesuatu di bara api dengan
menggunakan satu tangkai penusuk. Tanpa harus menggunakan wadah atau wajan, dan juga tidak perlu minyak goring. Sederhana, tapi efektif. Mungkin Mpu Peniti benar juga. Karena, kalau dipikir-pikir, secara intuitif, barangkali hanya ada satu penemuan yang ditemukan manusia secara beramai-ramai, diseluruh dunia. Secara bersamaan dan satu ide yang seragam. Yaitu barbeque ala sate itulah !
Jadi bila kita menelusuri sejarah sate, kemungkinan besar sate bukanlah masakan asli dari Indonesia. Walaupun dari populeritasnya, tak dapat dipungkiri, bahwa sate adalah salah satu masakan Indonesia yang terpopuler. Cara memanggang daging dengan ditusuk dan dibakar diatas bara api, boleh jadi ditemukan oleh manusia secara bersamaan sejak jaman batu dulu. Karena memang inilah cara memasak yang paling praktis. Itu sebabnya hidangan barbeque yang mirip sate ada dalam setiap budaya kuliner di seluruh penjuru dunia.
Di Rusia ada Shashlik. Bangsa Perancis mengenal Brochette. Lalu di Italia ada Spiedino. Pinchitos adalah sate ala Spanyol, dan Espetada adalah versi bangsa Portugis. Negara Amerika Latin juga punya versi khusus. Brazil menyebutnya dengan Espetinho, dan Banderilla di Mexico. Sate juga merambah hingga Afrika, misalnya Suya di Nigeria dan Sosatie di Afrika Selatan. Di Asia sate meraja rela dimana-mana. Mulai dari Vietnam, Korea dan Jepang. Yakitori begitu sebutan sate di Jepang. Walaupun namanya berbeda-beda, di ASEAN umumnya dikenal dengan satu nama SATE.
Diantara sekian banyak cerita dan dongeng, sejarah sate yang paling menarik adalah Kebab. Yang berasal dari bahasa Arab, yang artinya daging goreng, dan bukan daging bakar. Konon, di Eropa dan Turki, ketika bangsa Yunani mulai berkelana dan menjadi penakluk daerah sekitar Eropa dan Afrika, serdadu dan prajurit saat itu memanggang daging hewan buruan, diatas bara api dengan menusuknya dengan pedang atau belati. Dari sinilah konon beredarnya tradisi sate jaman modern. Setelah itu tradisi ini terbawa oleh serdadu dan prajurit lain lewat konflik dan perang dari satu abad keabad berikutnya. Lewat jalan sutra atau SILK ROAD kemungkinan tradisi ini dibawa pedagang dan beradaptasi dengan budaya sekelilingnya. Menjadi resep-resep baru dengan menggunakan rempah-rempah local. Ibn Battuta, pengelana dan explorer beken dari Maroko di abad ke 13 menulis dalam satu jurnalnya bahwa sate sudah disajikan di Istana Sultan di India pada abad itu.
Kata Sate sendiri, konon popular dan menjadi istilah internasional yang dilafalkan dalam bahasa Inggris menjadi SATAY. Sejarahwan menebak bahwa kata SATE kemungkinan berasal dari sebuah dialek Cina, tepatnya Amoy yang artinya susun tiga. (三疊). Saya ingat cerita dari kakek, bahwa secara tradisi, sate itu memang terdiri dari 3 susun daging. Umumnya dengan konfigurasi, daging-lemak-daging. Kemungkinan besar, dijaman dahulu kaum imigran dari Cina dengan uang terbatas, memasak lauk untuk makan sehari-hari dengan cara sederhana ini. Amoy sendiri sebenarnya adalah nama pelabuhan industry, di pulau Xiamen, di provinsi Fujian, yang sejak dahulu kala sudah dikenal gara-gara perdagangan teh. Sejak tahun 1540, pelabuhan ini sudah ramai dikunjungi bangsa-bangsa Eropa. Dan kemungkinan besar dijaman yang sama kaum imigran dari Cina ikut menyebrang ke Asia Tenggara. Mungkin saja diantara kaum imigran itu juga banyak gadis-gadis yang ikut mengadu nasib ke Asia Tenggara, sehingga gadis dari wilayah itu, dikenal menjadi sebutan generic AMOY (gadis Cina).
Di Indonesia sate berkembang menjadi seni kuliner tersendiri. Mulai dari racikan rempah-rempah hingga cara makannya yang khas, serta bumbu kacang dan sambelnya. Dari sekian bumbu itu, satu yang tak boleh tertinggal barangkali adalah kecap manis. Kecap barangkali adalah perasa natural yang paling banyak digunakan di berbagai Negara Asia. Sejarahnya cukup tua, lebih dari 3.000 tahun berasal dari Cina. Kata "kecap", diduga diambil dari bahasa Amoy kôechiap atau kê-tsiap. Di Cina sendiri dikenal kecap yang lebih kental dan sedikit manis, tetapi tidak semanis kecap manis di Indonesia.
Jadi melihat berbagai peleburan sejarah dan budaya yang mempengaruhi kreasi kuliner yang satu ini, sate di Indonesia memang merupakan hasil ciptaan gado-gado yang unik. Saat ini hidangan sate di Indonesia, tersebar disegala penjuru dan menggunakan hamper semua daging yang kita kenal. Mulai dari ayam hingga ikan,penyu, dan juga kuda. Beberapa yang terkenal dan menjadi legendaris adalah sate Madura, sate Blora, sate Ponorogo, dan sate Ikan dari Bali. Cara makan dan menyajikannya juga berbeda-beda. Beberapa diantaranya yang paling popular adalah dimakan dengan ketupat, lontong dan irisan mentimun segar.
Restoran OASIS, di Jalan Raden Saleh 47, Cikini-Jakarta Pusat, pada malam tahun baru ini (31 DESEMBER 2008) akan menampilkan sebuah kreasi lama yang diambil dari sebuah resep pusaka. Yaitu SATE REMES. Membuat sate yang enak dan empuk tidaklah mudah. Tapi menjadi sebuah seni tersendiri. Karena pemilihan daging merupakan kejelian yang sangat rinci. Hanya daging berkualitas tinggi yang akan menghasilkan sate yang empuk dan lezat. Lalu cara memotongnya juga merupakan seni tersendiri. Harus menuruti arah dan jaringan urat yang pas, untuk menghindari daging sate menjadi kenyal dan keras setelah dibakar nanti.
Setelah dipotong, maka daging sate harus di rendam dan bumbu racikan yang khusus. Sate Remes ala OASIS, dipersiapkan dengan ritual pemijatan daging yang merata dengan bumbu rahasia, sehingga daging menjadi gurih dan empuk ketika dibakar. Itu sebabnya sate ini diberi nama sate remes. Karena dibuatnya memang sambil diremes-remes, alias dipijat secara merata dan menyeluruh.
Ketika dibakar sate Remes, ditusuk dengan batang tebu, untuk mendapatkan aroma caramel yang wangi dan khas. Sate Remes setelah matang disajikan dengan sambal dan irisan cabe serta bawang mentah. Rasanya selangit ! Seperti diawang-awang. Gurih dan empuk sekali. Barangkali inilah sate terbaik di Indonesia.
Bilamana anda ingin mencoba SATE REMES ala OASIS, silahkan membuat reservasi di telpon +62213150646. Sate Remes dihadirkan khusus dalam Rijsttafel menyambut Old & New 2009.
Namun Mpu Peniti langsung menyanggahnya. Menurut beliau, jangan dilihat dari sepelenya sate. Tapi dari konsepnya. Yaitu memasak sesuatu di bara api dengan
menggunakan satu tangkai penusuk. Tanpa harus menggunakan wadah atau wajan, dan juga tidak perlu minyak goring. Sederhana, tapi efektif. Mungkin Mpu Peniti benar juga. Karena, kalau dipikir-pikir, secara intuitif, barangkali hanya ada satu penemuan yang ditemukan manusia secara beramai-ramai, diseluruh dunia. Secara bersamaan dan satu ide yang seragam. Yaitu barbeque ala sate itulah !
Jadi bila kita menelusuri sejarah sate, kemungkinan besar sate bukanlah masakan asli dari Indonesia. Walaupun dari populeritasnya, tak dapat dipungkiri, bahwa sate adalah salah satu masakan Indonesia yang terpopuler. Cara memanggang daging dengan ditusuk dan dibakar diatas bara api, boleh jadi ditemukan oleh manusia secara bersamaan sejak jaman batu dulu. Karena memang inilah cara memasak yang paling praktis. Itu sebabnya hidangan barbeque yang mirip sate ada dalam setiap budaya kuliner di seluruh penjuru dunia.
Di Rusia ada Shashlik. Bangsa Perancis mengenal Brochette. Lalu di Italia ada Spiedino. Pinchitos adalah sate ala Spanyol, dan Espetada adalah versi bangsa Portugis. Negara Amerika Latin juga punya versi khusus. Brazil menyebutnya dengan Espetinho, dan Banderilla di Mexico. Sate juga merambah hingga Afrika, misalnya Suya di Nigeria dan Sosatie di Afrika Selatan. Di Asia sate meraja rela dimana-mana. Mulai dari Vietnam, Korea dan Jepang. Yakitori begitu sebutan sate di Jepang. Walaupun namanya berbeda-beda, di ASEAN umumnya dikenal dengan satu nama SATE.
Diantara sekian banyak cerita dan dongeng, sejarah sate yang paling menarik adalah Kebab. Yang berasal dari bahasa Arab, yang artinya daging goreng, dan bukan daging bakar. Konon, di Eropa dan Turki, ketika bangsa Yunani mulai berkelana dan menjadi penakluk daerah sekitar Eropa dan Afrika, serdadu dan prajurit saat itu memanggang daging hewan buruan, diatas bara api dengan menusuknya dengan pedang atau belati. Dari sinilah konon beredarnya tradisi sate jaman modern. Setelah itu tradisi ini terbawa oleh serdadu dan prajurit lain lewat konflik dan perang dari satu abad keabad berikutnya. Lewat jalan sutra atau SILK ROAD kemungkinan tradisi ini dibawa pedagang dan beradaptasi dengan budaya sekelilingnya. Menjadi resep-resep baru dengan menggunakan rempah-rempah local. Ibn Battuta, pengelana dan explorer beken dari Maroko di abad ke 13 menulis dalam satu jurnalnya bahwa sate sudah disajikan di Istana Sultan di India pada abad itu.
Kata Sate sendiri, konon popular dan menjadi istilah internasional yang dilafalkan dalam bahasa Inggris menjadi SATAY. Sejarahwan menebak bahwa kata SATE kemungkinan berasal dari sebuah dialek Cina, tepatnya Amoy yang artinya susun tiga. (三疊). Saya ingat cerita dari kakek, bahwa secara tradisi, sate itu memang terdiri dari 3 susun daging. Umumnya dengan konfigurasi, daging-lemak-daging. Kemungkinan besar, dijaman dahulu kaum imigran dari Cina dengan uang terbatas, memasak lauk untuk makan sehari-hari dengan cara sederhana ini. Amoy sendiri sebenarnya adalah nama pelabuhan industry, di pulau Xiamen, di provinsi Fujian, yang sejak dahulu kala sudah dikenal gara-gara perdagangan teh. Sejak tahun 1540, pelabuhan ini sudah ramai dikunjungi bangsa-bangsa Eropa. Dan kemungkinan besar dijaman yang sama kaum imigran dari Cina ikut menyebrang ke Asia Tenggara. Mungkin saja diantara kaum imigran itu juga banyak gadis-gadis yang ikut mengadu nasib ke Asia Tenggara, sehingga gadis dari wilayah itu, dikenal menjadi sebutan generic AMOY (gadis Cina).
Di Indonesia sate berkembang menjadi seni kuliner tersendiri. Mulai dari racikan rempah-rempah hingga cara makannya yang khas, serta bumbu kacang dan sambelnya. Dari sekian bumbu itu, satu yang tak boleh tertinggal barangkali adalah kecap manis. Kecap barangkali adalah perasa natural yang paling banyak digunakan di berbagai Negara Asia. Sejarahnya cukup tua, lebih dari 3.000 tahun berasal dari Cina. Kata "kecap", diduga diambil dari bahasa Amoy kôechiap atau kê-tsiap. Di Cina sendiri dikenal kecap yang lebih kental dan sedikit manis, tetapi tidak semanis kecap manis di Indonesia.
Jadi melihat berbagai peleburan sejarah dan budaya yang mempengaruhi kreasi kuliner yang satu ini, sate di Indonesia memang merupakan hasil ciptaan gado-gado yang unik. Saat ini hidangan sate di Indonesia, tersebar disegala penjuru dan menggunakan hamper semua daging yang kita kenal. Mulai dari ayam hingga ikan,penyu, dan juga kuda. Beberapa yang terkenal dan menjadi legendaris adalah sate Madura, sate Blora, sate Ponorogo, dan sate Ikan dari Bali. Cara makan dan menyajikannya juga berbeda-beda. Beberapa diantaranya yang paling popular adalah dimakan dengan ketupat, lontong dan irisan mentimun segar.
Restoran OASIS, di Jalan Raden Saleh 47, Cikini-Jakarta Pusat, pada malam tahun baru ini (31 DESEMBER 2008) akan menampilkan sebuah kreasi lama yang diambil dari sebuah resep pusaka. Yaitu SATE REMES. Membuat sate yang enak dan empuk tidaklah mudah. Tapi menjadi sebuah seni tersendiri. Karena pemilihan daging merupakan kejelian yang sangat rinci. Hanya daging berkualitas tinggi yang akan menghasilkan sate yang empuk dan lezat. Lalu cara memotongnya juga merupakan seni tersendiri. Harus menuruti arah dan jaringan urat yang pas, untuk menghindari daging sate menjadi kenyal dan keras setelah dibakar nanti.
Setelah dipotong, maka daging sate harus di rendam dan bumbu racikan yang khusus. Sate Remes ala OASIS, dipersiapkan dengan ritual pemijatan daging yang merata dengan bumbu rahasia, sehingga daging menjadi gurih dan empuk ketika dibakar. Itu sebabnya sate ini diberi nama sate remes. Karena dibuatnya memang sambil diremes-remes, alias dipijat secara merata dan menyeluruh.
Ketika dibakar sate Remes, ditusuk dengan batang tebu, untuk mendapatkan aroma caramel yang wangi dan khas. Sate Remes setelah matang disajikan dengan sambal dan irisan cabe serta bawang mentah. Rasanya selangit ! Seperti diawang-awang. Gurih dan empuk sekali. Barangkali inilah sate terbaik di Indonesia.
Bilamana anda ingin mencoba SATE REMES ala OASIS, silahkan membuat reservasi di telpon +62213150646. Sate Remes dihadirkan khusus dalam Rijsttafel menyambut Old & New 2009.
Monday, December 22, 2008
Monday, December 15, 2008
Sunday, December 14, 2008
GARPU TALA
Seorang pejabat tinggi negara, datang menemui Mpu Peniti. Mula-mula keluhannya nampak biasa. Stress. Ndak bisa tidur. Urusan, masalah dan tekanan datang dari mana-mana. Setelah ngobrol lebih dari 40 menit, baru terbongkar. Sang pejabat ternyata kuatir soal dosanya. Maklum ia telah menjadi birokrat lebih dari 20 tahun. Sejak jaman orde baru. Jadi tidak mungkin selama karirnya “lurus selalu”. Sama seperti teman dan koleganya ia juga “tikang-tikung” kiri kanan. Mungkin tidak 100% korupsi. Tetapi kalau menerima sogokan, upeti, dan melenturkan peraturan, ia sering melakukan-nya. Yang bikin ia sedih, sudah 5 teman dekatnya disidik gara-gara perbuatan lama. Satu malah sudah masuk penjara. Maka hatinya sedih, ia takut disidik pula. Usianya sudah senja. Kalau ia sampai masuk penyidikan, maka hancur nama besarnya. Dan ia pasti tidak tahan dipenjara. Ia mencari jalan agar dirinya selamat.
Usai peristiwa itu, saya sempat ngobrol dengan Mpu Peniti. Kali ini dengan keprihatinan yang sangat mendalam. Sebagai murid beliau, bertahun-tahun saya belajar untuk mempertajam nurani. Dan memperjuangkan nurani dengan keberanian. Tidak selalu berhasil. Sering gagal. Membuat saya malu. Akhirnya Mpu Peniti, memperlihatkan kepada saya sebuah kotak kayu jati yang berukir, dan terlihat sangat kuno sekali. Dari dalamnya beliau mengeluarkan sebuah garpu tala yang dibungkus kain batik lusuh. Cerita Mpu Peniti, garpu tala itu pemberian teman karibnya. Konon, ketika masih muda, Mpu Peniti punya seorang sahabat karib yang kebetulan juga adalah seorang pastor di Yogya. Suatu saat ketika sang pastor permisi mau kembali balik ke Itali, maka Mpu Peniti memberikan oleh-oleh salah satu koleksi keris tuanya yang sangat berharga. Mulanya sang pastor merasa enggan menerimanya. Karena ia tahu persis nilai keris itu bagi Mpu Peniti. Tapi Mpu Peniti meyakinkan sang pastor, bahwa apalah arti sebuah persahabatan, apabila seorang sahabat tidak berani dan tidak mau memberikan yang terbaik dan paling berharga kepada sahabatnya. Dengan terharu akhirnya sang pastor menerima keris itu dari Mpu Peniti. Sehari sebelum sang pastor berangkat pulang, beliau menemui Mpu Peniti lagi dan menyerahkan kotak jati berukir yang berisi garpu tala itu. Kata sang pastor, beberapa hari ia tidak bisa tidur, karena ia berusaha mencari satu milik pribadinya yang paling baik dan berharga untuk diberikan kepada Mpu Peniti. Mulanya ia bingung karena merasa tidak punya barang berharga yang bisa ia berikan. Namun akhirnya ia merasa garpu tala miliknya adalah barang yang tepat.
Sang pastor kebetulan adalah seorang guru musik yang fasih memainkan gitar dan piano. Dan ia seringkali menggunakan garpu tala untuk mencari nada yang sebenarnya atau “perfect pitch”. Konon seusai pertukaran momento itu, Mpu Peniti mendapat cerita yang filosofis juga dari sang pastor. Sebuah cerita yang kemudian beliau turunkan kepada saya. Garpu tala yang diciptakan pada tahun 1711 oleh seorang musisi Inggris, John Shore, memang merupakan sebuah resonator akustik. Bentuknya garpu yang memiliki 2 bilah logam lunak yang saling bergetar dan beresonansi untuk membentuk nada yang utuh dan sempurna. Kini garpu tala digunakan sebagai alat kalibrasi diberbagai bidang, temasuk musik, kesehatan, jam dan peralatan radar.
Garpu tala itu sendiri telah disimpan Mpu Peniti lebih dari 30 tahun lamanya. Konon sang pastor itu sendiri telah wafat beberapa tahun yang lalu. Cerita Mpu Peniti pada saya bahwa, hidup ini harus selalu kita kalibrasi agar menemukan ‘perfect pitch’. Jangan sampai meleset, dan menjadi ‘fals’. Dan sesuai dengan desain garpu tala, ‘perfect pitch’ itu hanya akan terjadi apabila ada dua bilah logam yang saling beresonansi. Ngak bisa cuma satu. Istilah Mpu Peniti ada aksi ada reaksi. Ada sebab dan ada akibat. Dan dalam kasus pejabat didepan cerita ini, Mpu Peniti bercerita bahwa mungkin sang pejabat sudah sekian lama tidak menggunakan garpu tala-nya untuk meng-kalibrasi hidupnya. Robert Louis Stevenson, seorang penulis pernah berkata, “Don't judge each day by the harvest you reap ... but by the seeds you plant!”. Barangkali ini yang sering kita lupakan. Kita hanya menilai semuanya berdasarkan hasil akhir dan rejeki hari ini. Tidak pernah sekalipun kita mempertanyakan bibit yang pernah kita tanam.
Mpu Peniti mengingatkan hal itu dengan sebuah dongeng populer. Alkisah, ada seorang anak lelaki yang buta kedua matanya. Ia hidup di sebuah rumah yatim piatu. Hidupnya selalu sunyi dan sepi. Ia selalu meratapi nasibnya yang malang. Yatim piatu dan buta pula. Hingga suatu saat ada donor yang rela mendonorkan kedua matanya untuk anak yatim piatu ini, sehingga ia bisa melihat lagi. Sang anak lalu bangkit dan menjadi sangat bersemangat dalam hidup. Bertahun-tahun ia belajar tekun, hingga berhasil menjadi gubernur di sebuah propinsi. Lalu suatu hari, ada seorang wanita tua yang buta datang menemuinya dan mengaku bahwa dia-lah ibu yang sesungguhnya dari anak lelaki yang sudah menjadi gubernur. Namun sang gubernur melihat seorang wanita tua yang buta dan lusuh, ia menjadi marah dan merasa sang wanita hanya mengarang cerita saja. Sang gubernur merasa sangat malu dan mengusir wanita itu pergi. Beberapa tahun kemudian, sang wanita tua yang buta itu meninggal. Dan ia mewariskan rumah tuanya yang renta dan kecil kepada sang gubernur. Dalam surat wasiat sang wanita tua buta itu, baru kemudian sang gubernur sadar dan mengetahui bahwa wanita tua buta itu memang ibunya yang sesungguhnya. Rupanya ibunyalah yang menjadi donor dari kedua matanya, sehingga ia bisa melihat lagi. Setelah ibunya wafat, yang dimiliki sang gubernur hanyalah kesedihan dan penyesalan yang bertumpuk.
Mendekati usainya tahun 2008, barangkali ada baiknya kita semua mengeluarkan garpu tala kita, dan mencoba meng-kalibrasi kehidupan kita. Mengembalikan hidup kita dalam satu kesatuan ‘perfect pitch’ yang harmonis.
Usai peristiwa itu, saya sempat ngobrol dengan Mpu Peniti. Kali ini dengan keprihatinan yang sangat mendalam. Sebagai murid beliau, bertahun-tahun saya belajar untuk mempertajam nurani. Dan memperjuangkan nurani dengan keberanian. Tidak selalu berhasil. Sering gagal. Membuat saya malu. Akhirnya Mpu Peniti, memperlihatkan kepada saya sebuah kotak kayu jati yang berukir, dan terlihat sangat kuno sekali. Dari dalamnya beliau mengeluarkan sebuah garpu tala yang dibungkus kain batik lusuh. Cerita Mpu Peniti, garpu tala itu pemberian teman karibnya. Konon, ketika masih muda, Mpu Peniti punya seorang sahabat karib yang kebetulan juga adalah seorang pastor di Yogya. Suatu saat ketika sang pastor permisi mau kembali balik ke Itali, maka Mpu Peniti memberikan oleh-oleh salah satu koleksi keris tuanya yang sangat berharga. Mulanya sang pastor merasa enggan menerimanya. Karena ia tahu persis nilai keris itu bagi Mpu Peniti. Tapi Mpu Peniti meyakinkan sang pastor, bahwa apalah arti sebuah persahabatan, apabila seorang sahabat tidak berani dan tidak mau memberikan yang terbaik dan paling berharga kepada sahabatnya. Dengan terharu akhirnya sang pastor menerima keris itu dari Mpu Peniti. Sehari sebelum sang pastor berangkat pulang, beliau menemui Mpu Peniti lagi dan menyerahkan kotak jati berukir yang berisi garpu tala itu. Kata sang pastor, beberapa hari ia tidak bisa tidur, karena ia berusaha mencari satu milik pribadinya yang paling baik dan berharga untuk diberikan kepada Mpu Peniti. Mulanya ia bingung karena merasa tidak punya barang berharga yang bisa ia berikan. Namun akhirnya ia merasa garpu tala miliknya adalah barang yang tepat.
Sang pastor kebetulan adalah seorang guru musik yang fasih memainkan gitar dan piano. Dan ia seringkali menggunakan garpu tala untuk mencari nada yang sebenarnya atau “perfect pitch”. Konon seusai pertukaran momento itu, Mpu Peniti mendapat cerita yang filosofis juga dari sang pastor. Sebuah cerita yang kemudian beliau turunkan kepada saya. Garpu tala yang diciptakan pada tahun 1711 oleh seorang musisi Inggris, John Shore, memang merupakan sebuah resonator akustik. Bentuknya garpu yang memiliki 2 bilah logam lunak yang saling bergetar dan beresonansi untuk membentuk nada yang utuh dan sempurna. Kini garpu tala digunakan sebagai alat kalibrasi diberbagai bidang, temasuk musik, kesehatan, jam dan peralatan radar.
Garpu tala itu sendiri telah disimpan Mpu Peniti lebih dari 30 tahun lamanya. Konon sang pastor itu sendiri telah wafat beberapa tahun yang lalu. Cerita Mpu Peniti pada saya bahwa, hidup ini harus selalu kita kalibrasi agar menemukan ‘perfect pitch’. Jangan sampai meleset, dan menjadi ‘fals’. Dan sesuai dengan desain garpu tala, ‘perfect pitch’ itu hanya akan terjadi apabila ada dua bilah logam yang saling beresonansi. Ngak bisa cuma satu. Istilah Mpu Peniti ada aksi ada reaksi. Ada sebab dan ada akibat. Dan dalam kasus pejabat didepan cerita ini, Mpu Peniti bercerita bahwa mungkin sang pejabat sudah sekian lama tidak menggunakan garpu tala-nya untuk meng-kalibrasi hidupnya. Robert Louis Stevenson, seorang penulis pernah berkata, “Don't judge each day by the harvest you reap ... but by the seeds you plant!”. Barangkali ini yang sering kita lupakan. Kita hanya menilai semuanya berdasarkan hasil akhir dan rejeki hari ini. Tidak pernah sekalipun kita mempertanyakan bibit yang pernah kita tanam.
Mpu Peniti mengingatkan hal itu dengan sebuah dongeng populer. Alkisah, ada seorang anak lelaki yang buta kedua matanya. Ia hidup di sebuah rumah yatim piatu. Hidupnya selalu sunyi dan sepi. Ia selalu meratapi nasibnya yang malang. Yatim piatu dan buta pula. Hingga suatu saat ada donor yang rela mendonorkan kedua matanya untuk anak yatim piatu ini, sehingga ia bisa melihat lagi. Sang anak lalu bangkit dan menjadi sangat bersemangat dalam hidup. Bertahun-tahun ia belajar tekun, hingga berhasil menjadi gubernur di sebuah propinsi. Lalu suatu hari, ada seorang wanita tua yang buta datang menemuinya dan mengaku bahwa dia-lah ibu yang sesungguhnya dari anak lelaki yang sudah menjadi gubernur. Namun sang gubernur melihat seorang wanita tua yang buta dan lusuh, ia menjadi marah dan merasa sang wanita hanya mengarang cerita saja. Sang gubernur merasa sangat malu dan mengusir wanita itu pergi. Beberapa tahun kemudian, sang wanita tua yang buta itu meninggal. Dan ia mewariskan rumah tuanya yang renta dan kecil kepada sang gubernur. Dalam surat wasiat sang wanita tua buta itu, baru kemudian sang gubernur sadar dan mengetahui bahwa wanita tua buta itu memang ibunya yang sesungguhnya. Rupanya ibunyalah yang menjadi donor dari kedua matanya, sehingga ia bisa melihat lagi. Setelah ibunya wafat, yang dimiliki sang gubernur hanyalah kesedihan dan penyesalan yang bertumpuk.
Mendekati usainya tahun 2008, barangkali ada baiknya kita semua mengeluarkan garpu tala kita, dan mencoba meng-kalibrasi kehidupan kita. Mengembalikan hidup kita dalam satu kesatuan ‘perfect pitch’ yang harmonis.
Saturday, December 13, 2008
Subscribe to:
Posts (Atom)