Tuesday, October 24, 2017


HAYOOOO MIKIR DONG !!!!


Setiap tahun sebelum 17 Agustus, saya punya ritual berdiskusi dengan beberapa teman. Mirip sebuah rembuk mencari inspirasi bagi republik. Biasanya kami lakukan sembari menyantap nasi kuning atau nasi uduk bersama. Bukan karena kami pro terhadap sebuah golongan, melainkan agar terasa lebih khusuk. Seperti perjalanan mencari keaslian jati diri masing-masing.

Tahun ini, karena kesibukan teman-teman, ritual ini terpaksa kami lakukan setelah 17 Agustus kemarin. Sayangnya restoran tempat kami bertemu hanya menyajikan nasi campur. Terpaksa menu nasi campur, teh pahit dan kopi tubruk, kami plonco secara resmi. Acara kali ini saya buka dengan melontarkan satu pertanyaan, “Apa makian anda di kantor yang paling favorit ?” Mendengar tantangan saya itu, banyak diantara teman diskusi saya yang terbahak-bahak. Lalu saya menjelaskan bahwa makian bisa menjadi cermin karakter dan situasi republik saat ini. Sehabis saya menjelaskan, tiba-tiba teman-teman terdiam sesaat. Seperti ada sebuah jedah panjang yang sunyi.

Lalu diantara kesibukan menyantap nasi campur dan menyeruput kopi dan teh, seorang teman kami yang wanita berkomentar : “Mungkin makian gue yang paling populer di kantor itu – ‘Mikir dong luuuu !’…” Lalu teman-teman yang lain ikut tertawa. Diskusi kamipun menjadi gaduh dan heboh. Karena memang makian seperti itu dalam berbagai tipe dan versi, merupakan sebuah sarkasme yang sangat kerap kita lontarkan dikantor setiap harinya. Atas perilaku entah itu sebuah kealpaan dan atau sebuah kebodohan yang tiap hari kita perangi. Tentu saja makian itu ada versi yang lebih vulgar dan kasar. Tetapi intinya, kata salah seorang teman saya, bahwa budaya kita ini memang sarat dengan kebodohan dan ketololan. Lihat saja istilahnya yang beragam. Mulai dari istilah tersirat seperti “otakmu didengkul” atau “otak udang” hingga istilah preman yang populer seperti “bloon” dan “tulalit”.

Diskusi ini secara seru akhirnya juga memicu perdebatan bahwa seringkali karena kita frustasi dengan situasi setempat, sehingga tidak jarang kosa kata kita tentang kebodohan dan ketololan itu sangat bervariasi jenis dan derajatnya. Misalnya ada istilah “tell me” yang sebenarnya lebih mendiskripsikan keadaan seseorang yang selalu berpikir telat alias kurang cerdas. Atau istilah “dongo” yang menurut teman saya untuk level kebodohan dan ketololan yang sangat parah.

Dalam perjalanan pulang usai diskusi, hati saya galau bukan kepalang. Apakah ada kemungkinan bahwa bangsa kita memang malas berpikir ? Atau lagi-lagi sistim pendidikan kita yang harus disalahkan karena lebih banyak membuat anak-anak menghafal dan tidak tertantang untuk berpikir ? Salah satu teman diskusi kami malah menuduh bahwa sebagai bangsa kita miskin dengan budaya berpikir. Ia mencontohkan bangsa-bangsa dengan budaya besar seperti Tiongkok dan Yunani itu dipenuhi dengan filsuf dan pemikir. Tiongkok punya banyak pemikir mulai dari Lao-Tze hingga Confucius. Yunani punya filsuf seperti Plato dan Seneca yang hingga kini buah pikiran-nya masih dikutip orang tiap hari.

Celakanya media kita entah itu radio atau televisi, lebih senang menayangkan acara-acara yang lucu dan bukan acara-acara serius yang memotivasi orang untuk berpikir. Seorang teman yang sudah malang melintang didunia radio sekian puluh tahun mengatakan bahwa yang serius dan berat tidak pernah laku. Akibatnya media kita lebih mengharumkan acara-acara lucu yang tidak jarang di selipkan aneka adegan ketololan dan kebodohan. Misalnya hampir semua film dan tayangan sandiwara di televisi selalu saja ada peran pembantu rumah tangga yang dijadikan subyek untuk melucu secara tolol dan bodoh . Sebuah praktek budaya yang seharusnya dilarang. Tak heran apabila film-film kita juga  lebih banyak bergenre komedi dan horror. Semenjak sineas nasional kita, Teguh Karya wafat, sineas kita yang lain jarang menggarap film-film besar yang non komedi dan non horror. Kita sepertinya malas berpikir untuk menonton film-film serius, kita lebih bahagia santai menonton film yang tidak harus berpikir. Seperti film action, komedi dan horror.

Menurut teman saya itu, pemimpin kita kalau menulis buku, lebih banyak menulis biografinya dan kisah-kisah sukses mereka. Bukan buah pikiran mereka. Malah menurutnya satu-satunya buku pemikir Indonesia yang hingga kini masih terkenal dan diajarkan dalam buku-buku sejarah disekolah, adalah buku RA Kartini, yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang. Itupun buku yang ditulis oleh orang asing, berdasarkan surat-surat RA Kartini. Selain buku ini, barangkali Indonesia tidak memiliki buku lain yang legendaris.

Selama 20 tahun terakhir hati saya sangat galau, karena saya melihat dimana-mana kita sebagai bangsa yang sangat besar kehilangan kemampuan kita untuk berbahasa. Saya menyebutkan sebagai sebuah fenomena “Cacat Sastra”. Seorang pemerhati seni mengatakan kepada saya, sebagai bangsa kita menjadi lebih visual dalam 50 tahun terakhir ini. Karya seni lukisan kita misalnya banyak diapresiasi kolektor luar negeri dan harganya cukup tinggi di berbagai ajang pelelangan di luar negeri. Sebaliknya selama 50 tahun terakhir ini kita kehilangan penyair dan pujangga. Nama sastrawan besar yang terakhir kita inggat barangkali cuma WS Rendra. Setelah Rendra, kita kehilangan tokoh besar. Berpuisi dan menulis cerpen menjadi sebuah keahlian yang semakin langka. 

Padahal bahasa adalah media dan bahan baku untuk berpikir sekaligus. Tanpa bahasa cara berpikir kita menjadi visual dan kehilangan logika. Sesuatu yang visual akan lebih sulit diperdebatkan. Seperti otak kita mengalami kemunduran sebelah. Menurut saya pribadi kemunduran kita berbahasa merupakan sebuah penyakit budaya yang sangat serius. Sebuah karat yang perlahan membuat kita keropos. Tanpa bahasa kita kehilangan cerita. Tanpa cerita kita tidak bisa membuat film, kita tidak bisa menghidupkan legenda, kita akan kehilangan inspirasi. Alangkah sedihnya kalau dalam 50 tahun mendatang bahasa Indonesia punah secara budaya. Kita masih bisa menggunakan-nya hanya untuk bicara dan komunikasi. Namun Bahasa Indonesia akan kehilangan emosi dan intelektualnya. Marilah kita bersama-sama mulai berpikir. Selain gratis, berpikir akan sangat sehat bagi otak dan jiwa kita !



Monday, September 04, 2017

Saturday, September 02, 2017

Sriracha, Kimchi dan Pecel


Menjelang akhir pekan, teman saya di Portland mengirim pesan – “Datanglah berkunjung ke Portland, ada obyek ziarah kuliner yang menarik. Harus dan wajib kita kunjungi.” Karena teman saya ini adalah “Foodie” kelas berat, maka saya langsung berkemas dan berangkat menuju Portland dari San Francisco. Teman saya mengirim pesan lanjutan : “Jam 8.15 tepat besok di lobby hotel !” Melihat pesan itu saya langsung mengambil kesimpulan, artinya kita akan makan pagi. Dan makan pagi ini pasti sangat spektakuler, karena teman “Foodie” saya sangat dan super serius dengan ajakan-nya. Malam itu saya akhirnya semi puasa, hanya makan salad dan secangkir kopi, lalu tidur. Menyiapkan diri untuk makan pagi yang spektakuler.

Paginya jam 08.15 di lobby hotel, teman saya sudah nyengir sumringah. Ternyata saya diajak kesebuah restoran yang sedang naik daun di Portland. Tasty n Adler di tengah kota Portland. Restoran ini memang buka jam 9 pagi untuk mereka yang ingin sarapan pagi. Yang membuat saya terkejut adalah antrian yang panjang sebelum restoran di buka. Rupanya memang restoran ini luar biasa “beken”-nya. Ketika masuk dan duduk di meja, teman saya dengan sigap memesan sajian legendaris mereka. Dari sejumlah makanan yang dipesan, 2 adalah makanan bergaya Korea, 1 makanan bergaya Mexico dan 2 lagi makanan bergaya Amerika yang tradisional. Kedua kuliner Korea yang kami pesan adalah,yang pertama ayam goreng ala Korea dengan Kimchi. Dan yang kedua “Bim Bop Bacon and Eggs” . Saya cukup kaget dan terperangah. Tak disangka masakan khas Korea sudah melanda dunia sedemikian lengketnya. Luar biasa sekali.

Tasty n Adler, memang kreasi koki terkenal - John Gorham yang menurut ceritanya mengambil sejumlah inspirasi dari perjalanannya keseluruh penjuru dunia, dan memungut sejumlah tradisi kuliner global yang menggoyang lidah kita dan membentuk budaya kuliner global kita saat ini.  John Gorham sendiri pada awalnya tahun 2007 mendirikan sebuah restoran Spanyol – Toro Bravo yang terkenal itu di Portland. Kuliner Spanyol yang seringkali terdiri dari hidangan-hidangan kecil yang sangat beragam dan disebut Tapas, membuka sebuah tradisi baru dalam budaya kuliner Amerika - dimana makan bersama ramai-ramai alias “family style” seperti tradisi kita di Asia; menjadi sebuah cara alternatif makan baru di Amerika. Banyak restoran di Amerika kini memotivasi pelanggan-nya untuk mencoba berbagai hidangan bersama-sama, sehingga kenikmatan makan menjadi pengalaman keberagaman hidangan yang unik.

Saya ingat betul, kira-kira 10 tahun yang lalu – pada sebuah malam yang cukup dingin ditengah musim dingin di Los Angeles, seorang teman mengajak saya untuk menghangatkan badan. Ternyata saya dibawa kesebuah warung kecil masakan Korea, dan disana kami memesan sup tahu ala Kimchi yang pedas dan panas. Kami makan sampai bekeringat. Dan terasa praktek menghangatkan badan teman saya itu sangat efektif sekali. Warung Korea itu penuh sesak dengan pengunjung, baik konsumen dari Asia, dan juga konsumen yang bukan Asia. Dengan rasa kagum saya mengatakan kepada teman saya, bahwa kuliner Korea akan mendunia sebentar lagi. Apalagi dengan gencarnya mereka mempromosikan musik dan budaya film Korea saat itu. Ramalan saya kini terbukti. Di Jakarta sendiri, daerah sekitar Senopati hingga Wolter Monginsidi di selatan Jakarta telah berubah menjadi kota Korea alias Korean Town yang populer. Setiap bulan-nya minimal sekali atau dua, saya bersama relasi juga makan Korean BBQ. Jelas sudah invasi kimchi kini sudah mendunia.

Usai makan pagi, diskusi kami lanjutkan di Stump Town, warung kopi favorite saya yang asli berasal dari Portland. Stumptown berdiri tahun 1999, dan pendirinya Duane Sorenson merupakan salah satu pionir – “The Third Wave of Coffee Movement”. Sebuah gerakan yang sebutannya di prakarsai oleh Timothy Castle pada tahun yang sama 1999, sebagai kelahiran gerakan “artisan” produsen kopi yang mementingkan kualitas. Menjadikan kopi sebagai sebuah butik premium cita rasa.  Di Stump Town saya diberi kesempatan mencoba salah satu kopi esklusif mereka yang sangat kompleks yaitu Kenya Kirinyaga Karimikui. Sambil menyeruput secangkir kopi, kami berdiskusi soal restoran dan café di Portland berserta tren-nya saat ini.  Perbincangan menjadi semakin seru ketika kami terbahak-bahak membahas fenomena saus Sriracha yang fenomenal. Secara singkat Sriracha adalah sambal botol yang juga banyak kita dapati di Indonesia. Hanya saja Sriracha ini menjadi saus yang merevolusikan cita rasa lidah orang Amerika. Dapat dikatakan orang Amerika tergila-gila dengan saus ini. McD saja belum lama ini meluncurkan saus versi Sriracha untuk disiramkan di burger kreasi mereka. Bayangkan kedahsyatan-nya !

 

Nama Sriracha konon berasal dari  sebuah kota kecil di pesisir  timur Thailand – Si Racha  yang terletak di provinsi Chonburi. Resep Sriracha sebenarnya sederhana, cabe, dengan cuka, garam, gula dan bawang putih. Dan konon saus yang aseli digunakan pedagang warung makanan laut disepanjang pantai di kota Si Racha itu. Pada tahun 1980, David Tran di California lewat perusahaan-nya Huy Fong Food membuat Sriracha dengan cabe yang banyak di Amerika yaitu jenis Jalapeno yang merah dan pedas. Karena David Tran lahir dengan zodiak ayam jago, maka saus Sriracha buatan-nya diberi cap ayam jago. Sejak itu saus Sriracha cap ayam jago langsung mendunia. Hampir semua waralaba makanan saji cepat, seperti Wendy’s, Pizza Hut, Burger King, McD, Taco Bell, Jack in The Box, Subway dan banyak lagi merangkul sambal ini didalam sajian menu-nya. Perusahaan camilan membuat aneka camilan dengan rasa Sriracha. Dan pedas menjadi fenomena cita rasa dunia !

 

Pulang dari “ngupi”, pikiran saya melayang sangat jauh. Mungkin Indonesia juga bisa bersaing dengan Kimchi dan Sriracha, dan modalnya hanya satu saus yang mungkin bisa kita promosikan dan juga bisa membuat kuliner Indonesia mendunia secara global. Bilamana saya rekat satu demi satu pengalaman saya menjelajah kuliner Indonesia lebih dari 30 tahun, maka kesimpulan saya hanya ada satu, yaitu bumbu atau saus pecel. Saus kacang barangkali adalah jiwa dan roh kuliner Indonesia, karena bisa kita jumpai hampir bersentuhan dengan setiap kuliner Indonesia, mulai dari sate, gado-gado, ketoprak, nasi uduk, dan lebih dari selusin makanan khas Indonesia. Namun saus kacang juga umum kita jumpai dalam sajian kuliner di Malaysia, Singapore, Vietnam, Thailand hingga Philipina. Hanya ada satu di Indonesia yang sangat berbeda yaitu saus kacang yang terkenal dengan nama bumbu atau saus pecel, yang memiliki rasa dengan rempah-rempah khas dan tingkat kepedasan yang membuat kita ketagihan.

 

Saya sering memanfaatkan saus pecel untuk berbagai eksperimen kuliner. Pernah saus pecel saya blender hingga sangat halus dan saya berikan sedikit mayonaise agar lebih kental dan gurih, lalu saya jadikan saus hotdog. Ternyata luar biasa ! Pecel hotdog ini menjadi favorit banyak orang. Bumbu pecel pernah juga saya sajikan sebagai saus untuk kentang goreng alias “french fries” dan rasanya juga membuat banyak orang ketagihan. Teman “foodie” saya berkomentar bahwa saus pecel itu kaya rasa. Disamping rasa kacang (nutty) yang populer, dan rempah-rempahnya yang membuat rasanya menjadi kompleks dan eksotis, bumbu atau saus pecel lebih mudah diseimbangkan rasanya antara manis, asin, asam, dan pedas. Sehingga memiliki kecanggihan yang bisa melampaui kimchi atau sriracha.

 

Teman “foodie” saya pernah menggunakan saus atau bumbu pecel sebagai bumbu dasar untuk membuat hidangan barat seperti salad, dan bumbu steak dalam sebuah jamuan makan malam dengan hasil mengagumkan. Saya sendiri sangat yakin saus dan bumbu pecel ini punya potensi bagus untuk menjadi landasan unik mempromosikan kuliner Indonesia ke dunia global. Kuliner Indonesia yang sangat beragam sekali, memang sangat sulit dipromosikan karena jumlahnya sangat banyak dan kompleks. Tidak seperti masakan Thailand yang terkenal dengan satu kuliner seperti sup Thom Yam atau masakan Vietnam yang terkenal dengan Pho. Berbagai negara di ASEAN juga mulai meniru strategi yang mirip. Singapura gencar mempromosikan Laksa, dan Malaysia giat mempromosikan Nasi Lemak. Sudah saatnya kuliner Indonesia kita angkat dan kita promosikan sebagai atraksi kuliner dunia setelah kuliner China, Jepang dan Thailand mendunia. Salah satu kemungkinan itu menurut perhitungan pribadi saya adalah saus dan bumbu Pecel. Semoga saja ini menjadi inspirasi yang bermanfaat. Berjayalah Pecel !

Washington Apple Mania in SOLO !!!


Wednesday, August 09, 2017

LUKISAN JELEK - Cerita dari San Francisco


Angin musim panas menyambut letih saya – lebih dari 18 jam perjalanan saya tempuh dari  Jakarta menuju San Francisco. Desirannya sejuk dan kering. Angin pulang dari teluk yang selalu ramah di senja hari. Saya menatap langit, dan senja masih terang benderang, biasanya musim panas di San Francisco langit baru gelap diatas jam 8 malam. Suara tawa yang khas tiba-tiba menghapus letih saya. Seorang teman lama saya di San Francisco menjemput saya di bandar udara. Raut wajahnya selalu gembira, walau hidupnya sangat keras di Amerika. Dia baru saja bercerai hampir 6 bulan yang lalu. Sebuah episode kehidupan dirinya yang selalu ia buat menjadi lawakan walaupun sangat pahit. Kami berpelukan melepas kangen. Terakhir kami bertemu hampir 2 tahun yang lalu.

Usai memasukan koper di bagasi, kami meluncur kekota mencari makan. Saya meledek mobil tuanya, dan dia tertawa terbahak-bahak. Dia adalah salah satu orang yang saya kenal selalu optimis. Tidak peduli biar bagaiman hidup mencoba merobeknya berkeping-keping. Dia selalu tertawa dan selalu mencoba membalas meledek hidup. Dia selalu mengatakan kepada saya bahwa hidupnya adalah selembar plastik yang tahan dirobek. Saya banyak belajar dari dirinya, terutama dalam berkelit melewati hari-hari yang susah dalam kehidupan ini.

Kami meluncur ke Little Italy, dan sambil tertawa, dia mengatakan bahwa kali ini dia menemukan sebuah café, yang pasti saya akan suka. Saya tersenyum, karena teman yang satu ini memang tahu betul hobby dan kesukaan saya. Tiba di café, pengunjung mulai sepi. Karena hari hampir jam 09.00 malam. Saya memesan sup dan pasta sederhana. Saya tidak ingin malam ini “jet-lag” saya bertempur dengan perut yang kekenyangan. Lalu kami-pun heboh bercerita tentang “kacrut”-nya ekonomi di Indonesia dan situasi politik yang “kalut” di tanah air. Di tengah santap malam dia mengatakan sebuah kalimat yang saya tunggu-tunggu, “Elu bakal suka deh – café ini punya sejumlah lukisan jelek kesukaan elu” Saya tertawa terbahak-bahak. Dan akhirnya permisi ke WC untuk membuktikan.

Saya punya hobby melihat lukisan jelek. Dan entah kenapa, berbagai restoran diseluruh penjuru dunia selalu punya kebiasaan memajang lukisan jelek di WC mereka atau di gang menuju WC mereka. Apakah lukisan jelek merupakan atribut terbaik untuk dipajang di sebuah WC restoran atau café untuk menunjukan sebuah nilai keaslian ? Atau menunjukan sebuah dekor interior yang unik ? Café ini mungkin telah berusia lebih dari 30 tahun, dan di gang menuju WC tergantung beberapa lukisan yang memang sangat jelek, demikian juga didalam WC pria.
Saya selalu menikmati lukisan jelek, yang mungkin tidak memiliki nilai komersil.

Pernah sekali ketika masih sekolah di SD ulangan saya jeblok. Saat itu ayah saya memberikan satu petuah. Pesan beliau, “….. belajarlah menghargai semuanya, baik yang jelek dan yang baik. Karena semuanya adalah anugerah.  Kalau kamu bisa menghargai yang jelek maka yang baik itu nilainya akan berlipat ganda. Tetapi kalau kau tidak bisa menghargai yang jelek maka yang baik tidak akan pernah bisa membuat kau puas !” Awalnya saya tidak mengerti sama sekali petuah itu. Saya merasakan ayah saya mencoba menghibur dan memotivasi diri saya.

Suatu hari seorang teman dari Korea, mengajarkan saya cara minum teh yang baik dan benar. Awalnya saya tidak memperhatikan sama sekali. Karena di Indonesia, setiap kali makan kita sudah terbiasa minum es teh tawar. Dan kita tidak punya apresiasi banyak. Namun setelah saya di ajarkan yang baik dan benar, saya mulai mengerti petuah ayah saya, bahwa setelah sekian lama minum teh yang biasa-biasa saja, termasuk yang buruk dan tidak enak, maka ketika saya diajarkan minum teh yang baik dan benar, maka terasa bahwa yang baik dan benar nilainya menjadi berlipat-lipat ganda. Sejak itu sayapun terobesesi untuk berburu teh yang berkualitas tinggi.

Salah satu efek samping dari petuah ayah saya, maka akhirnya saya juga terobsesi untuk berburu “barang yang jelek” termasuk lukisan dan patung. Medan tempat saya berburu salah satunya tentu saja adalah WC di restoran dan café diseluruh penjuru dunia. Karena disanalah sarang lukisan jelek bermukim. Dan didalam kenikmatan saya menonton lukisan jelek, seringkali hadir sejumlah rasa penasaran serta pertanyaan yang membabi buta. Pertama kebanyakan lukisan itu adalah “mereka yang tidak dikenal” alias anonim. Sesuatu yang sangat berbeda ketika kita menonton lukisan di gallery dimana kita mengenal pelukisnya. Mereka yang anonim bisa saja seorang anak, seorang dewasa atau seorang manula. Bisa saja mereka melukis karena iseng atau mereka yang benar-benar berusaha menjadi pelukis tetapi gagal. Setelah saya melihat sekian banyak lukisan jelek di WC akhirnya saya belajar mengenali hal-hal yang menarik. Misalnya ada lukisan yang dibuat seadanya saja, karena memang iseng. Namun ada sejumlah lukisan yang memperlihatkan usaha, dan perjuangan. Hal itu terlihat dalam tarikan kuas dan warna dengan kesungguhan yang murni dan sangat jujur apa adanya. Pelukis komersil kebanyakan telah kehilangan roh itu. Mereka melukis untuk menyenangkan penonton dan kolektornya. Komersialisasi seringkali memadati kanvas mereka, membuat saya susah bernafas lega. Lukisan jelek sangat terbalik selalu punya persepsi baru karena dilukis dengan mata yang lebih lugu.

Entah kapan awalnya, saya akhirnya mulai mengoleksi barang jelek dan barang yang rusak, dan mencoba menjalani amanat ayah saya. Saya punya sejumlah patung yang cacat, jelek dan rusak. Saya beli ketika berburu barang-barang antik diberbagai gallery. Kebanyakan harganya sangat murah dan tidak diminati orang. Saya juga mengoleksi sejumlah lukisan palsu dan jelek. Salah satu lukisan yang sangat jelek, adalah lukisan yang saya beli di Djogdjakarta, sebuah lukisan tertanggal tahun 1998 dan merupakan lukisan tinta Cina di selembar karton. Konon pelukisnya adalah seorang penderita Schizophrenia yang kemudian meninggal tak lama sesudah ia melukis lukisan itu. Lukisan itu sangat jelek dan tidak berbentuk, namun bagi saya lukisan itu memiliki ketajaman yang indah dan sulit dilukiskan karena memiliki kerumitan emosi yang tidak mungkin terjelaskan.

 

Pernah sekali saya mengobrol dengan seorang pelukis tua di Djogdjakarta – beliau tanpa saya sangka mengatakan :”Saya kangen melukis yang jelek !”. Tentu saja saya terbahak. Namun dia menerawang dan menjelaskan, bahwa semua pelukis awalnya melukis dengan jelek. Tidak ada pelukis yang secara ajaib langsung melukis dengan indah. Titik awal dimana semua pelukis belajar dan mencari jati dirinya adlah masa-masa yang paling berbahagia. Sebuah masa tanpa noda dan dosa. Satu kesucian proses berkarya. Kalaupun lukisan kita jelek, semua orang akan maklum, karena dia masih belajar. Tapi sekarang ketika dia melukis sedikit saja kurang apik, semua kritikus seni akan bersorak mengeritiknya habis-habisan. Dia telah kehilangan era itu. “Saya kangen berbuat salah,” begitu kilahnya diakhir percakapan kami.

 

Kini saya sadar bahwa ayah saya mencoba mengajarkan kepada saya sebuah kebijakan tentang sebuah proses pembelajaran. Bahwa apapun yang kita lakukan, jangan takut apabila awalnya salah dan jelek. Karena setelah itu – kita akan semakin  mahir untuk mampu melakukan yang baik dan benar. Yang penting adalah tidak tinggal diam. Tetapi berani melakukan. Ini yang membedakan kita dengan yang lain. Ada orang tidak pernah punya keberanian untuk melakukan. Selama hidupnya dia hanya akan menjadi penonton. Sisanya justru bangkit dan melakukan. Mungkin awalnya salah dan jelek, tetapi kalau ia tetap berusaha dan bergiat, suatu hari dia akan menjadi maestro.

 


Di Union Square, saya dan teman saya berpisah. Langit telah gelap. Dan angin malam itu cukup dingin membekukan semua keletihan saya. Sebelum tidur, saya jadi teringat perkataan - Lang Leav, seorang penulis di New Zealand – yang menulis novel SAD GIRLS. Dia menulis dengan indahnya – "The most beautiful things are damaged in some way." Kalimat itu membawa saya kealam mimpi malam itu. Banyak orang mengejar kesempurnaan yang ilusif. Tanpa mengerti proses dan pembelajaran. Yang dikejar adalah titik terakhir yang sempurna. Padahal kesempurnaan dan keindahan seringkali adalah akibat sebuah perjalanan panjang. Sayangnya perjalanan itu jarang dimengerti banyak orang.