Setiap tahun
sebelum 17 Agustus, saya punya ritual berdiskusi dengan beberapa teman. Mirip
sebuah rembuk mencari inspirasi bagi republik. Biasanya kami lakukan sembari
menyantap nasi kuning atau nasi uduk bersama. Bukan karena kami pro terhadap
sebuah golongan, melainkan agar terasa lebih khusuk. Seperti perjalanan mencari
keaslian jati diri masing-masing.
Tahun ini,
karena kesibukan teman-teman, ritual ini terpaksa kami lakukan setelah 17
Agustus kemarin. Sayangnya restoran tempat kami bertemu hanya menyajikan nasi
campur. Terpaksa menu nasi campur, teh pahit dan kopi tubruk, kami plonco
secara resmi. Acara kali ini saya buka dengan melontarkan satu pertanyaan, “Apa
makian anda di kantor yang paling favorit ?” Mendengar tantangan saya itu,
banyak diantara teman diskusi saya yang terbahak-bahak. Lalu saya menjelaskan
bahwa makian bisa menjadi cermin karakter dan situasi republik saat ini.
Sehabis saya menjelaskan, tiba-tiba teman-teman terdiam sesaat. Seperti ada sebuah
jedah panjang yang sunyi.
Lalu diantara
kesibukan menyantap nasi campur dan menyeruput kopi dan teh, seorang teman kami
yang wanita berkomentar : “Mungkin makian gue yang paling populer di kantor itu
– ‘Mikir dong luuuu !’…” Lalu teman-teman yang lain ikut tertawa. Diskusi
kamipun menjadi gaduh dan heboh. Karena memang makian seperti itu dalam
berbagai tipe dan versi, merupakan sebuah sarkasme yang sangat kerap kita
lontarkan dikantor setiap harinya. Atas perilaku entah itu sebuah kealpaan dan
atau sebuah kebodohan yang tiap hari kita perangi. Tentu saja makian itu ada
versi yang lebih vulgar dan kasar. Tetapi intinya, kata salah seorang teman
saya, bahwa budaya kita ini memang sarat dengan kebodohan dan ketololan. Lihat
saja istilahnya yang beragam. Mulai dari istilah tersirat seperti “otakmu
didengkul” atau “otak udang” hingga istilah preman yang populer seperti “bloon”
dan “tulalit”.
Diskusi ini
secara seru akhirnya juga memicu perdebatan bahwa seringkali karena kita
frustasi dengan situasi setempat, sehingga tidak jarang kosa kata kita tentang
kebodohan dan ketololan itu sangat bervariasi jenis dan derajatnya. Misalnya
ada istilah “tell me” yang sebenarnya lebih mendiskripsikan keadaan seseorang
yang selalu berpikir telat alias kurang cerdas. Atau istilah “dongo” yang
menurut teman saya untuk level kebodohan dan ketololan yang sangat parah.
Dalam
perjalanan pulang usai diskusi, hati saya galau bukan kepalang. Apakah ada
kemungkinan bahwa bangsa kita memang malas berpikir ? Atau lagi-lagi sistim pendidikan
kita yang harus disalahkan karena lebih banyak membuat anak-anak menghafal dan
tidak tertantang untuk berpikir ? Salah satu teman diskusi kami malah menuduh
bahwa sebagai bangsa kita miskin dengan budaya berpikir. Ia mencontohkan
bangsa-bangsa dengan budaya besar seperti Tiongkok dan Yunani itu dipenuhi
dengan filsuf dan pemikir. Tiongkok punya banyak pemikir mulai dari Lao-Tze
hingga Confucius. Yunani punya filsuf seperti Plato dan Seneca yang hingga kini
buah pikiran-nya masih dikutip orang tiap hari.
Celakanya media
kita entah itu radio atau televisi, lebih senang menayangkan acara-acara yang
lucu dan bukan acara-acara serius yang memotivasi orang untuk berpikir. Seorang
teman yang sudah malang melintang didunia radio sekian puluh tahun mengatakan
bahwa yang serius dan berat tidak pernah laku. Akibatnya media kita lebih
mengharumkan acara-acara lucu yang tidak jarang di selipkan aneka adegan
ketololan dan kebodohan. Misalnya hampir semua film dan tayangan sandiwara di
televisi selalu saja ada peran pembantu rumah tangga yang dijadikan subyek
untuk melucu secara tolol dan bodoh . Sebuah praktek budaya yang seharusnya
dilarang. Tak heran apabila film-film kita juga
lebih banyak bergenre komedi dan horror. Semenjak sineas nasional kita, Teguh
Karya wafat, sineas kita yang lain jarang menggarap film-film besar yang non
komedi dan non horror. Kita sepertinya malas berpikir untuk menonton film-film
serius, kita lebih bahagia santai menonton film yang tidak harus berpikir.
Seperti film action, komedi dan horror.
Menurut teman
saya itu, pemimpin kita kalau menulis buku, lebih banyak menulis biografinya
dan kisah-kisah sukses mereka. Bukan buah pikiran mereka. Malah menurutnya
satu-satunya buku pemikir Indonesia yang hingga kini masih terkenal dan diajarkan
dalam buku-buku sejarah disekolah, adalah buku RA Kartini, yang berjudul “Habis
Gelap Terbitlah Terang. Itupun buku yang ditulis oleh orang asing, berdasarkan
surat-surat RA Kartini. Selain buku ini, barangkali Indonesia tidak memiliki
buku lain yang legendaris.
Selama 20 tahun
terakhir hati saya sangat galau, karena saya melihat dimana-mana kita sebagai
bangsa yang sangat besar kehilangan kemampuan kita untuk berbahasa. Saya
menyebutkan sebagai sebuah fenomena “Cacat Sastra”. Seorang pemerhati seni mengatakan
kepada saya, sebagai bangsa kita menjadi lebih visual dalam 50 tahun terakhir
ini. Karya seni lukisan kita misalnya banyak diapresiasi kolektor luar negeri
dan harganya cukup tinggi di berbagai ajang pelelangan di luar negeri.
Sebaliknya selama 50 tahun terakhir ini kita kehilangan penyair dan pujangga.
Nama sastrawan besar yang terakhir kita inggat barangkali cuma WS Rendra.
Setelah Rendra, kita kehilangan tokoh besar. Berpuisi dan menulis cerpen
menjadi sebuah keahlian yang semakin langka.
Padahal bahasa adalah media dan
bahan baku untuk berpikir sekaligus. Tanpa bahasa cara berpikir kita menjadi
visual dan kehilangan logika. Sesuatu yang visual akan lebih sulit
diperdebatkan. Seperti otak kita mengalami kemunduran sebelah. Menurut saya
pribadi kemunduran kita berbahasa merupakan sebuah penyakit budaya yang sangat
serius. Sebuah karat yang perlahan membuat kita keropos. Tanpa bahasa kita
kehilangan cerita. Tanpa cerita kita tidak bisa membuat film, kita tidak bisa
menghidupkan legenda, kita akan kehilangan inspirasi. Alangkah sedihnya kalau
dalam 50 tahun mendatang bahasa Indonesia punah secara budaya. Kita masih bisa
menggunakan-nya hanya untuk bicara dan komunikasi. Namun Bahasa Indonesia akan
kehilangan emosi dan intelektualnya. Marilah kita bersama-sama mulai berpikir.
Selain gratis, berpikir akan sangat sehat bagi otak dan jiwa kita !
No comments:
Post a Comment