Seorang Ibu dengan prihatin menulis sebuah email yang sangat panjang.
Intinya ia menceritakan bagaimana kehidupan putra dan puterinya tergerus
globalisasi. Sesuatu yang sangat wajar sebenarnya. Dan tidak akan mampu kita
hindari. Namun dalam ceritanya itu, sang Ibu memiliki sebuah kesedihan panjang,
bahwa kita menjadi miskin nilai. Kita menjadi anonim. Yang membuat kita gamang
dan akhirnya menjadi mudah dipengaruhi. Sang Ibu mencontohkan kita ini ibarat
sebuah baju putih yang kotor dan merindukan deterjen. Sebelum ia mengakhiri
emailnya, sang Ibu bertanya – “Apakah kita butuh sebuah Sumpah Pemuda yang baru
?”
Saya jadi inget waktu sekolah dulu. Setiap Senin pagi diawal bulan,
dilapangan olahraga selalu digelar upacara bendera. Disamping kita harus fasih
bisa menyanyikan Indonesia Raya, kita juga harus bisa menghafal Sumpah Pemuda.
Saat itu Sumpah Pemuda lebih bermakna sebagai hafalan wajib. Memang kita diajarkan
juga sejarahnya mulai dari gerakan Kebangkitan Nasional di tahun 1908 hingga Sumpah
Pemuda itu sendiri di tahun 1928. Yang tidak diajarkan kepada kami adalah
hubungan strategis dari 3 elemen, yaitu tanah air, bangsa dan bahasa.
Waktu berjalan dengan cepat, ketika saya mulai bekerja seusai kuliah,
barulah kemudian saya bertemu dengan teman-teman yang lebih cerdas menjabarkan
nilai strategis Indonesia baik dari bentuknya yang berupa kepulauan hingga
kekayaan alamnya, serta potensi ekonomi dan geopolitiknya. Dari semua
penjelasan itu, hanya ada satu yang menjelaskannya kepada saya dengan gamblang
dan sederhana. Saat itu saya masih bekerja di Pasar Swalayan Hero, dan saya
bertemu dengan seorang pecinta makanan. Kalau istilah jaman sekarang seorang
“Foodie”.
Lewat beliau inilah saya mendapat sejumlah dongeng, tentang kuliner
Indonesia. Dongeng beliau selalu menawan dan menggugah imajinasi. Hingga suatu
hari di bulan Oktober di tengah teriknya matahari kami menyantap sate kambing
di Pancoran. Awalnya beliau bercerita sate hingga akhirnya entah bagaimana
beliau akhirnya berkisah soal keragaman dalam kuliner Indonesia. Menurut beliau
seni kuliner Indonesia intinya adalah keragaman. Ini yang sangat sulit
dimengerti koki dari luar negeri. Sehingga vonis-nya selalu masakan Indonesia
itu sangat sulit, nyelimet dan kompleks. Sebagai contoh beliau menjelaskan
bahwa misalnya dalam kuliner di negara lain, sayur mayur dijadikan hidangan
yang jauh sangat sederhana. “Salad” secara
harafiah sebenarnya merupakan aneka
sayur dan buah yang umumnya disajikan mentah lalu kemudian diberikan saus-saus yang bisa berbeda dan umum dikenal sebagai
“Salad Dressing”. Indonesia tidak mengenal jenis “Salad” secara persis. Namun
kita punya sejumlah hidangan sayur mayur dan buah yang karena dipengaruhi
berbagai budaya akhirnya boleh saja
dikatakan “Salad” ala Indonesia. Uniknya cara kita menyajikan sangat beragam,
ada yang mentah, ada yang direbus, dan ada yang sudah diawetkan sebagai asinan.
Ragamnya mungkin lebih dari selusin. Disinilah beliau menjabarkan bedanya
antara gado-gado yang diulek dengan gado-gado siram. Beliau juga menceritakan
bedanya karedok, pecel dan gado-gado. Juga bedanya asinan peranakan dan
gado-gado peranakan. Waktu itu saya cuma mengangguk-angguk tanda kagum. Hari ini
saya mengenang percakapan itu lebih dalam dan merasakan kebijakan ceritanya,
tentang nilai keragaman yang dimiliki Indonesia. Disini saya baru merasakan
keharuan yang luar biasa.
Tantangan seperti ini, tidak jarang membuat masakan Indonesia menjadi
sangat sulit dipopulerkan. Padahal keragaman dan kemajemukan itu tidak sepatutnya menjadi kompleksitas yang
menyulitkan. Keragaman itu seharusnya menjadi sebuah persekutuan yang lezat dan
indah. Sebuah eksotisme yang sangat langka.
Dalam analogi yang unik dan berbeda lagi, teman saya bercerita tentang
keragaman lain di Indonesia. Menurut beliau hampir tiap hidangan di Indonesia,
memiliki dua pasangan pedamping yang jarang diperhatikan orang. Yang pertama
adalah sambal dan yang kedua adalah kerupuk. Tiap hidangan dalam khazanah
kuliner Indonesia memiliki pasangan sambal dan kerupuk yang berbeda-beda. Sebut
saja soto dari berbagai daerah di Indonesia, hampir semuanya memiliki jodoh dan
pasangan sambal dan kerupuk yang berbeda-beda. Tanpa pasangan sambal yang tepat
dan kerupuk yang pas, maka makan kita jadi kurang nikmat.
Sambal dan kerupuk adalah jodoh sejati seni kuliner Indonesia, begitu
dongeng teman saya. Baginya dua hal inilah yang menjadi pengikat akhir sebuah
cita rasa masakan Indonesia. Diakhir cerita teman saya dengan eloknya
menjadikan Sumpah Pemuda yang dicetuskan tahun 1928 itu sebagai sebuah
perumpamaan yang sederhana. Bahwa masakan Indonesia dengan kerupuk dan sambal
merupakan satu ikatan yang tak terpisahkan. Antara tanah air, bangsa dan bahasa
adalah kesatuan yang tak terpisahkan. Sebuah perumpamaan yang sederhana tapi
menurut saya sangat pas dan bagus. Menurut beliau sebuah tanah air bisa saja
elok dan permai. Tapi tanpa bangsa dan bahasa yang berbudaya maka tanah air itu
menjadi hampa. Ibarat sebuah makanan yang hampa tanpa jiwa. Istilah populernya
– “cemplang dan hambar”.
Barangkali disekolah kita cuma diajarkan Bhineka Tunggal Ika tanpa
mengerti arti dan nilainya. Sebuah slogan saja. Padahal koneksitas Bhineka
Tunggal Ika dengan Sumpah Pemuda sangat dalam dan bercerita tentang keragaman.
Seorang anthropolog teman saya pernah berkomentar : “Bayangkan saja menurut
data terakhir tahun 2017 – Indonesia memiliki 16.056 pulau.” Padahal setahun sebelumnya Indonesia baru bisa
mem-verikasi 14.572 pulau sehingga ada dugaan tahun 2018 jumlah pulau
Indonesia akan terus bertambah. Itu baru jumlah pulau. Menurut Badan Pusat
Statistik Indonesia – kita memiliki 1211 bahasa (1158 bahasa daerah). Keragaman
kita secara fisik dan budaya sangat luar biasa. Barangkali ini perlu diajarkan
kepada anak-anak kita disekolah. Makna dan nilainya secara strategis baik
secara politik dan ekonomi.
Ini saya kutip dari – blog
perpustakaan NTU di Singapore : “Wilayah tanah Indonesia luasnya hanya 1,3%
planet bumi. Namun Indonesia adalah salah satu negara terkaya di dunia dalam
hal keanekaragaman hayati. Indonesia adalah kepulauan yang terdiri dari sekitar
17.000 pulau dengan ekosistem sangat unik yang mengandung sejumlah besar
spesies sangat beragam. Menurut
Conservation International, Indonesia adalah satu dari 17 negara yang paling
beragam, dengan 2 dari 25 titik api biodiversitas di dunia. Dengan 24 Burung
Endemik yang hampir punah. Indonesia
memiliki kekayaan 10% spesies berbunga di dunia (25.000 tanaman berbunga) dan
menempati peringkat sebagai salah satu pusat dunia untuk agro keanekaragaman
hayati kultivar tanaman dan ternak rumahan. Untuk keragaman fauna, sekitar 12%
mamalia dunia (515 spesies) ada di Indonesia, menjadikan Indonesia di posisi kedua, setelah Brasil. Indonesia
berada diurutan ke-empat untuk kekayaan reptil dan primata - sekitar 16% reptil
dunia (781 spesies) dan 35 spesies primata ada di Indonesia. Selain itu, 17%
dari total spesies burung (1.592 spesies) dan 270 spesies amfibi dimiliki
Indonesia yang membuat Indonesia tampil masing-masing di urutan kelima dan
keenam di tingkat global.”
Dalam perenungan saya,
tersirat bahwa mungkin kita tidak memerlukan sebuah Sumpah Pemuda yang baru.
Sumpah Pemuda tahun 1928 sudah bagus, baik, dan benar. Hanya saja kita perlu
mendalami maknanya. Siapapun yang memimpin negeri dan bangsa ini kiranya bisa
menjadikan Sumpah Pemuda sebagai sebuah strategi ekonomi yang baru. Barangkali
ini visi yang terpendam, sejak jaman Sriwijaya, hingga Majapahit. Bahwa
selayaknya Indonesia ini memiliki masa depan yang gemilang, hanya dengan
menjaga keutuhan tanah air, bangsa dan bahasa kita. Indonesia !