Cerita ini diceritakan kepada saya
beberapa tahun yang lalu, dan menjadi salah satu cerita favorit saya. Konon
suatu saat seorang guru mengajak murid-muridnya, pada suatu hari sebelum subuh
untuk mendaki gunung bersama-sama. Tidak ada satupun murid yang berani bertanya
mengapa dan kenapa. Tiba dipuncak gunung, sang guru diam seolah melakukan
meditasi dan menghadap fajar yang merekah perlahan. Ia membiarkan panas
matahari pelan-pelan merasuk kedalam tubuh tuanya. Seolah menyerap enerji dari
matahari. Semua murid-muridnya hanya meniru ulah sang guru. Diam dan melakukan
hal yang sama. Ketika fajar selesai dengan sempurna, sang guru turun gunung
dengan diam. Diikuti para murid-muridnya.
Sore hari menjelang senja, sang guru
mengajak murid-muridnya kepantai. Dipantai sang guru melakukan hal yang sama.
Berdiam diri, dengan sabar menunggu senja dan matahari tenggelam. Beberapa
murid-muridnya tergoda untuk bermain di pantai. Lagi-lagi sang guru berdiam
diri, seolah melakukan meditasi dan membiarkan tubuhnya menyerap panas matahari
yang semakin senyap, ketika senja turun. Tidak ada murid yang berani bertanya
mengapa dan kenapa. Namun seorang diantara mereka merasa sangat penasaran, dan
bertanya lirih : “Guru apa maksud pelajaran hari ini ?” Sang guru tersenyum dan
menjawab dengan pertanyaan pula : “ Bagaimana mungkin kau mengerti tentang
senja ? Kalau kau tidak memiliki jawaban tentang fajar ?” Ditanya seperti itu
tentu saja muridnya menjadi sangat bingung. Sang murid hanya memperlihatkan
wajah yang bingung.
Malam hari ketika saat makan malam
bersama, sang guru baru bercerita bahwa dalam hidup ini ada dua ujian yang
sangat penting. Yang pertama adalah ujian terhadap usaha atau ihtiar kita. Itu
sebabnya saat mereka ingin menikmati fajar, sang guru mengajak murid-muridnya
bangun pagi dan berangkat keatas gunung untuk menonton fajar yang sempurna.
Ujian yang kedua adalah kesabaran – dan itu diperlihatkan sang guru ketika
kepantai dengan sabarnya menunggu senja jatuh dan hari berakhir. Kata sang guru
usaha dan sabar ibarat diri kita dan bayang-bayang yang kita miliki. Kita tidak
mungkin bisa sabar kalau kita tidak berusaha. Dan sebaliknya kita tidak mungkin
berhasil berusaha kalau kita tidak sabar. Itu sebabnya sang guru berkata : “
Bagaimana mungkin kau mengerti tentang senja ? Kalau kau tidak memiliki jawaban
tentang fajar ?”
Cerita diatas di ceritakan oleh seorang
pengusaha batik dikota Djogdjakarta kepada saya, ketika beliau prihatin tentang
seni batik yang terancam punah karena apresiasi kita terhadap batik semakin
pudar oleh jaman dan tekhnologi. Menurut pengusaha ini – batik adalah
simbolisasi filosofi Jawa yang berbunyi : “Alon-alon Maton Kelakon”. Artinya
dalam hidup ini, kita harus mencapai cita-cita kita, walaupun pelan sekalipun.
Dan batik memiliki nafas filosofi yang sama.
Mewarnai sepotong kain bisa dilakukan
dengan berbagai cara. Misalnya warna dan motif bisa dicetak langsung di
sepotong kain dengan mesin dan tekhnologi mewarnai yang sangat canggih dan
hasilnya adalah sepotong kain yang bisa saja kaya dengan warna dan motif. Mudah
dan sangat cepat. Cara yang kedua adalah dengan cara membatik. Cara ini sangat
ruwet dan memerlukan usaha dan kesabaran yang tidak sedikit. Karena bayangkan
saja, kain diberi lilin dan kemudian dicelup ke salah satu warna, baru
menghasilkan satu motif dengan satu warna yang khusus. Untuk motif yang kedua,
dilakukan hal yang sama, yaitu kain diberi lilin untuk motif lainnya dan
dicelup ke warna khusus lain-nya. Demikian seterusnya, hingga dihasilkan motif
dan kekayaan warna yang dikehendaki sang pembatik. Sebuah proses yang sangat
memakan waktu dengan usaha dan kesabaran luar biasa. Dua kombinasi inilah yang
membuat sehelai kain batik memiliki nilai yang sangat luar biasa.
Saya diperlihatkan sebuah kain batik tua
warisan buyut-nya, yang konon dibuat 2 tahun sebelum beliau wafat. Kain batik
sederhana itu di buat selama setahun lebih, dengan kesabaran yang luar biasa,
serta usaha yang sangat mengagumkan. Saat itu buyutnya sudah sangat sepuh dan
menderita rematik. Sehingga hanya bisa membatik perlahan-lahan dan pada saat
rematiknya tidak terasa terlalu sakit. Sambil meneteskan airmata selama sejam
saya diceritakan sejarah dan tiap garis yang ada di kain batik itu. Sepotong
kain batik itu menjadi simbol perjuangan sang buyut dalam menghadapi hidup ini.
Tiap garis yang tidak sempurna menjadi cerita kemenangan tersendiri dan bukan
cacat. Sesuatu yang membanggakan. Bagi keluarga mereka sepotong kain batik ini menjadi
rekam jejak akhir hidup sang buyut. Bukan sebuah buku harian yang penuh dengan
cerita dan kalimat-kalimat yang indah. Melainkan sebuah potret apa adanya.
Sebuah meditasi tentang kehidupan. Bagi saya dan mereka yang tidak mengerti
maka sehelai kain batik tersebut cuma sebuah kain biasa. Dengan motif dan warna
yang mirip dengan kain batik yang lain. Tetapi bagi keluarga mereka itulah
pusaka yang tidak ternilai harganya karena menjadi sebuah prasasti tentang
usaha dan kesabaran.
Menutup cerita tentang buyutnya, sang
pengusaha mengatakan kepada saya, bahwa kepada anak cucunya, ia selalu
mewariskan 2 nilai tersebut. Bahwa hidup ini sangat ditentukan dengan usaha
kita. Siapa yang lebih giat berusaha pasti akan menerima hasil yang lebih baik
dibandingkan dengan orang lain. Namun tidak selalu usaha kita itu menghasilkan
sukses. Yang terpenting adalah jangan berhenti berusaha dan menyerah. Dan
kesabaran adalah jiwa dan semangat yang harus kita miliki ketika berusaha.
Apabila kita lelah biarlah kita berhenti dan beristirahat. Setelah itu berusaha
kembali. Apabila kita gagal, jangan patah semangat. Bangkit dan berusaha
kembali. Begitu seterusnya. Itulah inti dari filosofi – “Alon-alon Maton
Kelakon”. Itu terekam dengan sangat indahnya dalam sehelai batik warisan sang
buyutnya. Sambil tersenyum sang
pengusaha memberikan saya sebuah kalimat penutup, “Hidup ini sangat sederhana
!”.
Teman saya seorang ahli nutrisi,
bercerita bahwa bagi dirinya pribadi – berpuasa selama bulan suci Ramadhan
adalah sebuah episode meditasi kehidupan yang lain. Banyak orang yang melakukan
puasa tanpa kesadaran. Hanya mengikuti ritual. Sehingga ketika berbuka puasa,
kita lupa dengan makna puasa, yang kita umbar hanya nafsu belaka dan memuaskan
dahaga dan lapar secara berlebihan. Padahal sama seperti cerita sehelai kain
batik diatas, berpuasa juga memadukan 2 elemen sederhana yaitu usaha dan
kesabaran. Usaha kita untuk melatih diri menahan dan melawan nafsu, dan
kesabaran dalam menghadapi semua godaan. Memaafkan semua orang yang berbuat
salah dan jahat kepada kita. Sehingga diakhir puasa, kita bisa menjadi orang
yang besar maafnya, sabar dan lebih tekun berusaha. Selamat menunaikan ibadah
puasa. Marilah kita menyederhanakan hidup kita menjadi sehelai kain batik
kehidupan. Tetap berusaha dan utuh bersabar ! – Alon-alon Maton Kelakon.
No comments:
Post a Comment