Wednesday, August 09, 2017

Sehelai kain batik – Cerita dari Djogdjakarta.




Cerita ini diceritakan kepada saya beberapa tahun yang lalu, dan menjadi salah satu cerita favorit saya. Konon suatu saat seorang guru mengajak murid-muridnya, pada suatu hari sebelum subuh untuk mendaki gunung bersama-sama. Tidak ada satupun murid yang berani bertanya mengapa dan kenapa. Tiba dipuncak gunung, sang guru diam seolah melakukan meditasi dan menghadap fajar yang merekah perlahan. Ia membiarkan panas matahari pelan-pelan merasuk kedalam tubuh tuanya. Seolah menyerap enerji dari matahari. Semua murid-muridnya hanya meniru ulah sang guru. Diam dan melakukan hal yang sama. Ketika fajar selesai dengan sempurna, sang guru turun gunung dengan diam. Diikuti para murid-muridnya.

Sore hari menjelang senja, sang guru mengajak murid-muridnya kepantai. Dipantai sang guru melakukan hal yang sama. Berdiam diri, dengan sabar menunggu senja dan matahari tenggelam. Beberapa murid-muridnya tergoda untuk bermain di pantai. Lagi-lagi sang guru berdiam diri, seolah melakukan meditasi dan membiarkan tubuhnya menyerap panas matahari yang semakin senyap, ketika senja turun. Tidak ada murid yang berani bertanya mengapa dan kenapa. Namun seorang diantara mereka merasa sangat penasaran, dan bertanya lirih : “Guru apa maksud pelajaran hari ini ?” Sang guru tersenyum dan menjawab dengan pertanyaan pula : “ Bagaimana mungkin kau mengerti tentang senja ? Kalau kau tidak memiliki jawaban tentang fajar ?” Ditanya seperti itu tentu saja muridnya menjadi sangat bingung. Sang murid hanya memperlihatkan wajah yang bingung.

Malam hari ketika saat makan malam bersama, sang guru baru bercerita bahwa dalam hidup ini ada dua ujian yang sangat penting. Yang pertama adalah ujian terhadap usaha atau ihtiar kita. Itu sebabnya saat mereka ingin menikmati fajar, sang guru mengajak murid-muridnya bangun pagi dan berangkat keatas gunung untuk menonton fajar yang sempurna. Ujian yang kedua adalah kesabaran – dan itu diperlihatkan sang guru ketika kepantai dengan sabarnya menunggu senja jatuh dan hari berakhir. Kata sang guru usaha dan sabar ibarat diri kita dan bayang-bayang yang kita miliki. Kita tidak mungkin bisa sabar kalau kita tidak berusaha. Dan sebaliknya kita tidak mungkin berhasil berusaha kalau kita tidak sabar. Itu sebabnya sang guru berkata : “ Bagaimana mungkin kau mengerti tentang senja ? Kalau kau tidak memiliki jawaban tentang fajar ?”

Cerita diatas di ceritakan oleh seorang pengusaha batik dikota Djogdjakarta kepada saya, ketika beliau prihatin tentang seni batik yang terancam punah karena apresiasi kita terhadap batik semakin pudar oleh jaman dan tekhnologi. Menurut pengusaha ini – batik adalah simbolisasi filosofi Jawa yang berbunyi : “Alon-alon Maton Kelakon”. Artinya dalam hidup ini, kita harus mencapai cita-cita kita, walaupun pelan sekalipun. Dan batik memiliki nafas filosofi yang sama.

Mewarnai sepotong kain bisa dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya warna dan motif bisa dicetak langsung di sepotong kain dengan mesin dan tekhnologi mewarnai yang sangat canggih dan hasilnya adalah sepotong kain yang bisa saja kaya dengan warna dan motif. Mudah dan sangat cepat. Cara yang kedua adalah dengan cara membatik. Cara ini sangat ruwet dan memerlukan usaha dan kesabaran yang tidak sedikit. Karena bayangkan saja, kain diberi lilin dan kemudian dicelup ke salah satu warna, baru menghasilkan satu motif dengan satu warna yang khusus. Untuk motif yang kedua, dilakukan hal yang sama, yaitu kain diberi lilin untuk motif lainnya dan dicelup ke warna khusus lain-nya. Demikian seterusnya, hingga dihasilkan motif dan kekayaan warna yang dikehendaki sang pembatik. Sebuah proses yang sangat memakan waktu dengan usaha dan kesabaran luar biasa. Dua kombinasi inilah yang membuat sehelai kain batik memiliki nilai yang sangat luar biasa.

Saya diperlihatkan sebuah kain batik tua warisan buyut-nya, yang konon dibuat 2 tahun sebelum beliau wafat. Kain batik sederhana itu di buat selama setahun lebih, dengan kesabaran yang luar biasa, serta usaha yang sangat mengagumkan. Saat itu buyutnya sudah sangat sepuh dan menderita rematik. Sehingga hanya bisa membatik perlahan-lahan dan pada saat rematiknya tidak terasa terlalu sakit. Sambil meneteskan airmata selama sejam saya diceritakan sejarah dan tiap garis yang ada di kain batik itu. Sepotong kain batik itu menjadi simbol perjuangan sang buyut dalam menghadapi hidup ini. Tiap garis yang tidak sempurna menjadi cerita kemenangan tersendiri dan bukan cacat. Sesuatu yang membanggakan. Bagi keluarga mereka sepotong kain batik ini menjadi rekam jejak akhir hidup sang buyut. Bukan sebuah buku harian yang penuh dengan cerita dan kalimat-kalimat yang indah. Melainkan sebuah potret apa adanya. Sebuah meditasi tentang kehidupan. Bagi saya dan mereka yang tidak mengerti maka sehelai kain batik tersebut cuma sebuah kain biasa. Dengan motif dan warna yang mirip dengan kain batik yang lain. Tetapi bagi keluarga mereka itulah pusaka yang tidak ternilai harganya karena menjadi sebuah prasasti tentang usaha dan kesabaran.

Menutup cerita tentang buyutnya, sang pengusaha mengatakan kepada saya, bahwa kepada anak cucunya, ia selalu mewariskan 2 nilai tersebut. Bahwa hidup ini sangat ditentukan dengan usaha kita. Siapa yang lebih giat berusaha pasti akan menerima hasil yang lebih baik dibandingkan dengan orang lain. Namun tidak selalu usaha kita itu menghasilkan sukses. Yang terpenting adalah jangan berhenti berusaha dan menyerah. Dan kesabaran adalah jiwa dan semangat yang harus kita miliki ketika berusaha. Apabila kita lelah biarlah kita berhenti dan beristirahat. Setelah itu berusaha kembali. Apabila kita gagal, jangan patah semangat. Bangkit dan berusaha kembali. Begitu seterusnya. Itulah inti dari filosofi – “Alon-alon Maton Kelakon”. Itu terekam dengan sangat indahnya dalam sehelai batik warisan sang buyutnya.  Sambil tersenyum sang pengusaha memberikan saya sebuah kalimat penutup, “Hidup ini sangat sederhana !”.


Teman saya seorang ahli nutrisi, bercerita bahwa bagi dirinya pribadi – berpuasa selama bulan suci Ramadhan adalah sebuah episode meditasi kehidupan yang lain. Banyak orang yang melakukan puasa tanpa kesadaran. Hanya mengikuti ritual. Sehingga ketika berbuka puasa, kita lupa dengan makna puasa, yang kita umbar hanya nafsu belaka dan memuaskan dahaga dan lapar secara berlebihan. Padahal sama seperti cerita sehelai kain batik diatas, berpuasa juga memadukan 2 elemen sederhana yaitu usaha dan kesabaran. Usaha kita untuk melatih diri menahan dan melawan nafsu, dan kesabaran dalam menghadapi semua godaan. Memaafkan semua orang yang berbuat salah dan jahat kepada kita. Sehingga diakhir puasa, kita bisa menjadi orang yang besar maafnya, sabar dan lebih tekun berusaha. Selamat menunaikan ibadah puasa. Marilah kita menyederhanakan hidup kita menjadi sehelai kain batik kehidupan. Tetap berusaha dan utuh bersabar ! – Alon-alon Maton Kelakon.

No comments: