Angin musim panas menyambut
letih saya – lebih dari 18 jam perjalanan saya tempuh dari Jakarta menuju San Francisco. Desirannya sejuk
dan kering. Angin pulang dari teluk yang selalu ramah di senja hari. Saya
menatap langit, dan senja masih terang benderang, biasanya musim panas di San
Francisco langit baru gelap diatas jam 8 malam. Suara tawa yang khas tiba-tiba
menghapus letih saya. Seorang teman lama saya di San Francisco menjemput saya di
bandar udara. Raut wajahnya selalu gembira, walau hidupnya sangat keras di
Amerika. Dia baru saja bercerai hampir 6 bulan yang lalu. Sebuah episode
kehidupan dirinya yang selalu ia buat menjadi lawakan walaupun sangat pahit.
Kami berpelukan melepas kangen. Terakhir kami bertemu hampir 2 tahun yang lalu.
Usai memasukan koper di bagasi,
kami meluncur kekota mencari makan. Saya meledek mobil tuanya, dan dia tertawa
terbahak-bahak. Dia adalah salah satu orang yang saya kenal selalu optimis.
Tidak peduli biar bagaiman hidup mencoba merobeknya berkeping-keping. Dia
selalu tertawa dan selalu mencoba membalas meledek hidup. Dia selalu mengatakan
kepada saya bahwa hidupnya adalah selembar plastik yang tahan dirobek. Saya
banyak belajar dari dirinya, terutama dalam berkelit melewati hari-hari yang
susah dalam kehidupan ini.
Kami meluncur ke Little Italy,
dan sambil tertawa, dia mengatakan bahwa kali ini dia menemukan sebuah café,
yang pasti saya akan suka. Saya tersenyum, karena teman yang satu ini memang
tahu betul hobby dan kesukaan saya. Tiba di café, pengunjung mulai sepi. Karena
hari hampir jam 09.00 malam. Saya memesan sup dan pasta sederhana. Saya tidak
ingin malam ini “jet-lag” saya bertempur dengan perut yang kekenyangan. Lalu
kami-pun heboh bercerita tentang “kacrut”-nya ekonomi di Indonesia dan situasi
politik yang “kalut” di tanah air. Di tengah santap malam dia mengatakan sebuah
kalimat yang saya tunggu-tunggu, “Elu bakal suka deh – café ini punya sejumlah
lukisan jelek kesukaan elu” Saya tertawa terbahak-bahak. Dan akhirnya permisi
ke WC untuk membuktikan.
Saya punya hobby melihat lukisan
jelek. Dan entah kenapa, berbagai restoran diseluruh penjuru dunia selalu punya
kebiasaan memajang lukisan jelek di WC mereka atau di gang menuju WC mereka.
Apakah lukisan jelek merupakan atribut terbaik untuk dipajang di sebuah WC
restoran atau café untuk menunjukan sebuah nilai keaslian ? Atau menunjukan
sebuah dekor interior yang unik ? Café ini mungkin telah berusia lebih dari 30
tahun, dan di gang menuju WC tergantung beberapa lukisan yang memang sangat
jelek, demikian juga didalam WC pria.
Saya selalu menikmati lukisan
jelek, yang mungkin tidak memiliki nilai komersil.
Pernah sekali ketika masih
sekolah di SD ulangan saya jeblok. Saat itu ayah saya memberikan satu petuah.
Pesan beliau, “….. belajarlah menghargai semuanya, baik yang jelek dan yang
baik. Karena semuanya adalah anugerah.
Kalau kamu bisa menghargai yang jelek maka yang baik itu nilainya akan
berlipat ganda. Tetapi kalau kau tidak bisa menghargai yang jelek maka yang
baik tidak akan pernah bisa membuat kau puas !” Awalnya saya tidak mengerti
sama sekali petuah itu. Saya merasakan ayah saya mencoba menghibur dan
memotivasi diri saya.
Suatu hari seorang teman dari
Korea, mengajarkan saya cara minum teh yang baik dan benar. Awalnya saya tidak
memperhatikan sama sekali. Karena di Indonesia, setiap kali makan kita sudah
terbiasa minum es teh tawar. Dan kita tidak punya apresiasi banyak. Namun
setelah saya di ajarkan yang baik dan benar, saya mulai mengerti petuah ayah
saya, bahwa setelah sekian lama minum teh yang biasa-biasa saja, termasuk yang
buruk dan tidak enak, maka ketika saya diajarkan minum teh yang baik dan benar,
maka terasa bahwa yang baik dan benar nilainya menjadi berlipat-lipat ganda.
Sejak itu sayapun terobesesi untuk berburu teh yang berkualitas tinggi.
Salah satu efek samping dari
petuah ayah saya, maka akhirnya saya juga terobsesi untuk berburu “barang yang
jelek” termasuk lukisan dan patung. Medan tempat saya berburu salah satunya
tentu saja adalah WC di restoran dan café diseluruh penjuru dunia. Karena
disanalah sarang lukisan jelek bermukim. Dan didalam kenikmatan saya menonton
lukisan jelek, seringkali hadir sejumlah rasa penasaran serta pertanyaan yang
membabi buta. Pertama kebanyakan lukisan itu adalah “mereka yang tidak dikenal”
alias anonim. Sesuatu yang sangat berbeda ketika kita menonton lukisan di
gallery dimana kita mengenal pelukisnya. Mereka yang anonim bisa saja seorang
anak, seorang dewasa atau seorang manula. Bisa saja mereka melukis karena iseng
atau mereka yang benar-benar berusaha menjadi pelukis tetapi gagal. Setelah
saya melihat sekian banyak lukisan jelek di WC akhirnya saya belajar mengenali
hal-hal yang menarik. Misalnya ada lukisan yang dibuat seadanya saja, karena
memang iseng. Namun ada sejumlah lukisan yang memperlihatkan usaha, dan
perjuangan. Hal itu terlihat dalam tarikan kuas dan warna dengan kesungguhan
yang murni dan sangat jujur apa adanya. Pelukis komersil kebanyakan telah
kehilangan roh itu. Mereka melukis untuk menyenangkan penonton dan kolektornya.
Komersialisasi seringkali memadati kanvas mereka, membuat saya susah bernafas
lega. Lukisan jelek sangat terbalik selalu punya persepsi baru karena dilukis
dengan mata yang lebih lugu.