Saya jelas-jelas bukan seorang ahli ekonomi. Pemaham-an saya soal ekonomi
100% dari naluri dan panca indera sehari-hari melakukan bisnis. Istilah keren
jaman sekarang – “crowd wisdom”. Jadi kalau anda membaca artikel ini jangan memakai
kaca mata yang salah. Saya tidak membuat analisa yang bisa dipertanggung
jawabkan secara akademis.
Beberapa minggu yang lalu – saya menerima email dari seorang kerabat
bisnis. Ia bertanya singkat dan jelas. “Bagaimana ekonomi Indonesia ?” lalu ia juga
menanyakan prediksi saya. Seolah-olah saya konsultan ekonomi buat dia. Awalnya
saya tertawa terbahak-bahak. Karena ini jelas pertanyaan yang menjebak. Namun
bertahun-tahun mengenalnya, saya sangat paham bahwa ia sangat cerdas, penuh
pengetahuan, rajin bergaul dan pasti punya sumber yang banyak. Tetapi mengapa
ia bertanya kepada saya ? Lalu iseng saya balas emailnya singkat – “Tanya dong
sama Mbah Google”. Ia hanya memabalas dengan “hahahahahahahahahaha”.
Tak lama kemudian, saya terusik rasa penasaran saya. Pikir saya ini
saatnya meditasi ekonomi, menajamkan naluri dan memotret ekonomi di jalan.
Ketika berkunjung ke sebuah mall di Jakarta, saya sempat melihat sejumlah
pegawai sedang rehat makan siang. Beberapa diantaranya makan nasi bungkus,
mungkin dari warteg,tetapi ada beberapa makan dengan bawa bekal dari rumah.
Salah seorang dari mereka bertanya : “Koq elu rajin banget sih. Tiap hari bawa
bekal dari rumah ?”
Yang ditanya menjawab sambil tertawa : “ Bukan rajin tau ! Tapi ngak
sanggup makan warteg. Buat gue warteg tuh mewah !” . Entah kenapa tiba-tiba
dada saya terasa sesak. Rasanya ada ganjalan yang membuat saya ikut miris dan
bersedih.
Pulang dari mall, seorang teman mengirim pesan. Ia memberanikan diri untuk
meminjam uang. Alasan-nya hidup lagi super susah. Lalu kami “chat” lewat
telpon. Ia menuturkan bahwa gaji suaminya itu hanya Rp.3,7 juta dan sudah 4
tahun tidak berubah. Tidak pernah naik ! Malam harinya saya tanya sama Mbah
Google, dan di internet keluarlah sejumlah artikel ekonomi. Uniknya semua
artikel itu bervariasi, tapi kebanyakan bagus dan baik. Artinya ekonomi
Indonesia lumayan bagus-lah. Hanya ada 1-2 artikel yang menyuarakan lampu
kuning. Perasaan saya campur aduk.
Mana yang benar ?
Besoknya saya mengajak seorang bankir untuk makan siang. Perlahan-lahan
saya pancing dengan beberapa pertanyaan menjebak. Tetapi ia tidak mau menjawab
lugas. Dari sindiran-nya saya mencerna bahwa kata koran keadaan makro ekonomi
kita sebenarnya cukup bagus. Dan apa
kata koran dengan kenyataan di lapangan seringkali sangat berbeda. Ia mengeluh
secara halus bahwa target tahunan sangat sukar dicapai. Bagi sebuah bank dengan
status perusahaan publik mereka harus punya siasat bisnis yang berlapis-lapis.
Disatu pihak bisnis mereka perlu tumbuh nyata dan dilain pihak mereka juga
harus bisa memuaskan pemegang saham. Bila tidak harga saham mereka anjlok dan
situasi bisa runyam. Pusingnya bisa tujuh turunan. Begitu ia mengakhiri sesi
makan siang kami. Sebenarnya sebulan yang lalu sebuah majalah berita di
Indonesia menampilkan laporan utama tentang NPL atau kredit macet yang tumbuh
agak tinggi tahun 2017. Puncak kredit macet yang diumumkan pemerintah 3%
(gross) pada Juni 2016 ternyata naik menjadi 3,1% pada Januari 2017. Ini yang
ditakutkan semua orang. Trend kredit macet akan naik di 2017. Artinya yang
punya hutang pada kesulitan membayar.
Pulang dari makan siang, saya menelpon seorang teman yang profesinya
pengacara. Ia pernah mengatakan bahwa bilamana situasi ekonomi sedang baik,
bisnisnya diwarnai dengan maraknya para pengusaha membuat usaha
“joint-ventures” alias kongsi. Baik dengan partner didalam negeri dan atau
partner diluar negeri. Tetapi bilamana ekonomi sedang jelek, bisnisnya lebih
banyak dipenuhi dengan pengusaha yang pecah kongsi. Dan sudah dua tahun
terakhir ini bisnisnya memang lebih banyak permintaan bercerai alias pecah
kongsi.
Perasaan batin saya semakin tidak nyaman. Saya lalu teringat pidato Jokowi
beberapa hari yang lalu – yang meminta BUMN untuk melakukan sekuritisasi asset,
agar tersedia dana untuk membangun infrastruktur. Indonesia memang jelas
tertinggal pembangunan infrastrukturnya. Itu sebabnya pemerintah gencar
menggenjot pembangunan infrastruktur. Namun pembangunan infrastruktur butuh
uang dalam jumlah sangat banyak. Sehingga pemerintah berusaha punya uang
sebanyak-banyaknya. Pendapatan pemerintah sangat terbatas sekali. Pertama dari
pajak dan kedua lewat hutang. Itu motivasi pemerintah belum lama ini menggelar
program Tax Amnesty. Tujuan-nya jelas yaitu berusaha untuk meningkatkan
penerimaan pajak secara maksimal. Sedangkan hutang Indonesia jelas semakin
membengkak. Tahun 1998 ketika Indonesia masuk era reformasi, warisan hutang
kita saat itu sekitar Rp. 1.300 trilyun. Sedangkan tahun 2017 atau hampir 20
tahun setelah reformasi hutang kita sudah membengkak menjadi Rp. 4.274 trilyun,
atau sudah meningkat lebih 300%.
Kalau saya disuruh mikir hutang sedemikian banyak, pasti ketombe dan uban
tumbuh drastis dikepala saya. Akhirnya saya melakukan 2 pengecekan terakhir.
Pertama saya melakukan interview dengan pelaku bisnis hiburan. Teorinya
sederhana, kalau duit gampang diperoleh, biasanya orang mudah bersenang-senang.
Teman saya yang bergerak didunia hiburan mengatakan bahwa sebenarnya setelah
pergantian pemerintahan dari SBY ke Jokowi – bisnis hiburan cukup lesu selama 4
tahun terakhir ini. Tahun 2016 cukup jelek, tetapi kwartal pertama 2017,
pendapatannya minus 30% dibanding tahun 2016. Menurutnya situasi ekonomi memang
cukup seret. Buat kebanyakan pelaku ekonomi – Indonesia sangat terpengaruh
dengan “uang panas”. Konon kabarnya banyak “uang panas” ini menguap dan atau
disembunyikan di bawah bantal.
Menurut Gaikindo – puncak penjualan mobil di Indonesia terjadi tahun 2013
sebanyak 1,23 juta unit. Tahun 2014 turun menjadi 1,20 juta dan tahun 2015
merosot hingga 1,01 juta. Tahun 2016 penjualan naik ke 1,06 juta dan masih
terpaut jauh angkanya dengan tahun 2013. Pertumbuhan ini kebanyakan juga
ditunjang oleh kenaikan penjualan di Indonesia wilayah Timur. Misalnya Papua
yang tumbuh 59,73% dan NTB yang penjualan-nya naik 94,45%. Pertumbuhan terbesar
lainnya juga datang dari mobil jenis LCGC alias Low Cost Green Car yang tumbuh
naik sebesar 38,3%. Artinya dugaan ekonomi melemah selama 4 tahun mulai terkuak
perlahan tabirnya.
Saya kemudian melakukan konfirmasi terakhir dan merupakan konfirmasi yang
terpenting, yaitu minta konfirmasi ke teman-teman di bisnis retail. Ternyata
dengan malu-malu mereka mengakui bahwa setelah Imlek, memang penjualan agak
seret. Menurut teman-teman, sejumlah kejadian menjelang pilkada Jakarta dengan
sejumlah demo yang marak, percaya atau tidak telah melemahkan ekonomi. Program
TAX Amnesty juga punya pengaruh psikologis yang membuat pelaku ekonomi berpikir
ulang tentang masa depan dan strategi bisnis yang harus mereka terapkan.
Yang menarik adalah Survey Bank Indonesia yang mengatakan bahwa selama
bulan Maret telah terjadi deflasi yang sangat kecil yaitu sekitar 0.02%. Konon
penyebabnya karena panen raya yang menyebabkan harga komoditi menjadi turun. Namun
bagi teman-teman dibisnis ritel, sebagian alasannya adalah permintaan konsumen
yang melemah sehingga kelebihan pasokan dan harga turun. Teman-teman dibisnis
makanan seperti – bakery, restoran dan café juga menyuarakan sentimen yang
mirip. Ekonomi Indonesia sebenarnya agak sensitif terhadap pola konsumsi
konsumen dalam negeri. Ibaratnya sterika kalau adem, maka baju yang kita gosok
akan tetap lecek. Sebuah analogi ekonomi yang sangat sederhana namun menurut
saya cukup bijak. Kebanyakan para pelaku ekonomi berharap 2 hal. Pertama
Lebaran dalam 2 bulan mendatang bisa menjadi “sentakan” yang bisa membuat
ekonomi laju kembali. Dan yang kedua mereka menunggu sentuhan ajaib pemerintah
untuk membuat ekonomi panas kembali. Bagi saya pelaku ekonomi jalanan – yang
terpenting adalah menyimak, bersiap, dan memutar otak untuk melakukan terobosan
baru !
No comments:
Post a Comment