Monday, December 04, 2017
Saturday, October 28, 2017
SUMPAH PEMUDA 2017
Seorang Ibu dengan prihatin menulis sebuah email yang sangat panjang.
Intinya ia menceritakan bagaimana kehidupan putra dan puterinya tergerus
globalisasi. Sesuatu yang sangat wajar sebenarnya. Dan tidak akan mampu kita
hindari. Namun dalam ceritanya itu, sang Ibu memiliki sebuah kesedihan panjang,
bahwa kita menjadi miskin nilai. Kita menjadi anonim. Yang membuat kita gamang
dan akhirnya menjadi mudah dipengaruhi. Sang Ibu mencontohkan kita ini ibarat
sebuah baju putih yang kotor dan merindukan deterjen. Sebelum ia mengakhiri
emailnya, sang Ibu bertanya – “Apakah kita butuh sebuah Sumpah Pemuda yang baru
?”
Saya jadi inget waktu sekolah dulu. Setiap Senin pagi diawal bulan,
dilapangan olahraga selalu digelar upacara bendera. Disamping kita harus fasih
bisa menyanyikan Indonesia Raya, kita juga harus bisa menghafal Sumpah Pemuda.
Saat itu Sumpah Pemuda lebih bermakna sebagai hafalan wajib. Memang kita diajarkan
juga sejarahnya mulai dari gerakan Kebangkitan Nasional di tahun 1908 hingga Sumpah
Pemuda itu sendiri di tahun 1928. Yang tidak diajarkan kepada kami adalah
hubungan strategis dari 3 elemen, yaitu tanah air, bangsa dan bahasa.
Waktu berjalan dengan cepat, ketika saya mulai bekerja seusai kuliah,
barulah kemudian saya bertemu dengan teman-teman yang lebih cerdas menjabarkan
nilai strategis Indonesia baik dari bentuknya yang berupa kepulauan hingga
kekayaan alamnya, serta potensi ekonomi dan geopolitiknya. Dari semua
penjelasan itu, hanya ada satu yang menjelaskannya kepada saya dengan gamblang
dan sederhana. Saat itu saya masih bekerja di Pasar Swalayan Hero, dan saya
bertemu dengan seorang pecinta makanan. Kalau istilah jaman sekarang seorang
“Foodie”.
Lewat beliau inilah saya mendapat sejumlah dongeng, tentang kuliner
Indonesia. Dongeng beliau selalu menawan dan menggugah imajinasi. Hingga suatu
hari di bulan Oktober di tengah teriknya matahari kami menyantap sate kambing
di Pancoran. Awalnya beliau bercerita sate hingga akhirnya entah bagaimana
beliau akhirnya berkisah soal keragaman dalam kuliner Indonesia. Menurut beliau
seni kuliner Indonesia intinya adalah keragaman. Ini yang sangat sulit
dimengerti koki dari luar negeri. Sehingga vonis-nya selalu masakan Indonesia
itu sangat sulit, nyelimet dan kompleks. Sebagai contoh beliau menjelaskan
bahwa misalnya dalam kuliner di negara lain, sayur mayur dijadikan hidangan
yang jauh sangat sederhana. “Salad” secara
harafiah sebenarnya merupakan aneka
sayur dan buah yang umumnya disajikan mentah lalu kemudian diberikan saus-saus yang bisa berbeda dan umum dikenal sebagai
“Salad Dressing”. Indonesia tidak mengenal jenis “Salad” secara persis. Namun
kita punya sejumlah hidangan sayur mayur dan buah yang karena dipengaruhi
berbagai budaya akhirnya boleh saja
dikatakan “Salad” ala Indonesia. Uniknya cara kita menyajikan sangat beragam,
ada yang mentah, ada yang direbus, dan ada yang sudah diawetkan sebagai asinan.
Ragamnya mungkin lebih dari selusin. Disinilah beliau menjabarkan bedanya
antara gado-gado yang diulek dengan gado-gado siram. Beliau juga menceritakan
bedanya karedok, pecel dan gado-gado. Juga bedanya asinan peranakan dan
gado-gado peranakan. Waktu itu saya cuma mengangguk-angguk tanda kagum. Hari ini
saya mengenang percakapan itu lebih dalam dan merasakan kebijakan ceritanya,
tentang nilai keragaman yang dimiliki Indonesia. Disini saya baru merasakan
keharuan yang luar biasa.
Tantangan seperti ini, tidak jarang membuat masakan Indonesia menjadi
sangat sulit dipopulerkan. Padahal keragaman dan kemajemukan itu tidak sepatutnya menjadi kompleksitas yang
menyulitkan. Keragaman itu seharusnya menjadi sebuah persekutuan yang lezat dan
indah. Sebuah eksotisme yang sangat langka.
Dalam analogi yang unik dan berbeda lagi, teman saya bercerita tentang
keragaman lain di Indonesia. Menurut beliau hampir tiap hidangan di Indonesia,
memiliki dua pasangan pedamping yang jarang diperhatikan orang. Yang pertama
adalah sambal dan yang kedua adalah kerupuk. Tiap hidangan dalam khazanah
kuliner Indonesia memiliki pasangan sambal dan kerupuk yang berbeda-beda. Sebut
saja soto dari berbagai daerah di Indonesia, hampir semuanya memiliki jodoh dan
pasangan sambal dan kerupuk yang berbeda-beda. Tanpa pasangan sambal yang tepat
dan kerupuk yang pas, maka makan kita jadi kurang nikmat.
Sambal dan kerupuk adalah jodoh sejati seni kuliner Indonesia, begitu
dongeng teman saya. Baginya dua hal inilah yang menjadi pengikat akhir sebuah
cita rasa masakan Indonesia. Diakhir cerita teman saya dengan eloknya
menjadikan Sumpah Pemuda yang dicetuskan tahun 1928 itu sebagai sebuah
perumpamaan yang sederhana. Bahwa masakan Indonesia dengan kerupuk dan sambal
merupakan satu ikatan yang tak terpisahkan. Antara tanah air, bangsa dan bahasa
adalah kesatuan yang tak terpisahkan. Sebuah perumpamaan yang sederhana tapi
menurut saya sangat pas dan bagus. Menurut beliau sebuah tanah air bisa saja
elok dan permai. Tapi tanpa bangsa dan bahasa yang berbudaya maka tanah air itu
menjadi hampa. Ibarat sebuah makanan yang hampa tanpa jiwa. Istilah populernya
– “cemplang dan hambar”.
Barangkali disekolah kita cuma diajarkan Bhineka Tunggal Ika tanpa
mengerti arti dan nilainya. Sebuah slogan saja. Padahal koneksitas Bhineka
Tunggal Ika dengan Sumpah Pemuda sangat dalam dan bercerita tentang keragaman.
Seorang anthropolog teman saya pernah berkomentar : “Bayangkan saja menurut
data terakhir tahun 2017 – Indonesia memiliki 16.056 pulau.” Padahal setahun sebelumnya Indonesia baru bisa
mem-verikasi 14.572 pulau sehingga ada dugaan tahun 2018 jumlah pulau
Indonesia akan terus bertambah. Itu baru jumlah pulau. Menurut Badan Pusat
Statistik Indonesia – kita memiliki 1211 bahasa (1158 bahasa daerah). Keragaman
kita secara fisik dan budaya sangat luar biasa. Barangkali ini perlu diajarkan
kepada anak-anak kita disekolah. Makna dan nilainya secara strategis baik
secara politik dan ekonomi.
Ini saya kutip dari – blog
perpustakaan NTU di Singapore : “Wilayah tanah Indonesia luasnya hanya 1,3%
planet bumi. Namun Indonesia adalah salah satu negara terkaya di dunia dalam
hal keanekaragaman hayati. Indonesia adalah kepulauan yang terdiri dari sekitar
17.000 pulau dengan ekosistem sangat unik yang mengandung sejumlah besar
spesies sangat beragam. Menurut
Conservation International, Indonesia adalah satu dari 17 negara yang paling
beragam, dengan 2 dari 25 titik api biodiversitas di dunia. Dengan 24 Burung
Endemik yang hampir punah. Indonesia
memiliki kekayaan 10% spesies berbunga di dunia (25.000 tanaman berbunga) dan
menempati peringkat sebagai salah satu pusat dunia untuk agro keanekaragaman
hayati kultivar tanaman dan ternak rumahan. Untuk keragaman fauna, sekitar 12%
mamalia dunia (515 spesies) ada di Indonesia, menjadikan Indonesia di posisi kedua, setelah Brasil. Indonesia
berada diurutan ke-empat untuk kekayaan reptil dan primata - sekitar 16% reptil
dunia (781 spesies) dan 35 spesies primata ada di Indonesia. Selain itu, 17%
dari total spesies burung (1.592 spesies) dan 270 spesies amfibi dimiliki
Indonesia yang membuat Indonesia tampil masing-masing di urutan kelima dan
keenam di tingkat global.”
Dalam perenungan saya,
tersirat bahwa mungkin kita tidak memerlukan sebuah Sumpah Pemuda yang baru.
Sumpah Pemuda tahun 1928 sudah bagus, baik, dan benar. Hanya saja kita perlu
mendalami maknanya. Siapapun yang memimpin negeri dan bangsa ini kiranya bisa
menjadikan Sumpah Pemuda sebagai sebuah strategi ekonomi yang baru. Barangkali
ini visi yang terpendam, sejak jaman Sriwijaya, hingga Majapahit. Bahwa
selayaknya Indonesia ini memiliki masa depan yang gemilang, hanya dengan
menjaga keutuhan tanah air, bangsa dan bahasa kita. Indonesia !
Tuesday, October 24, 2017
HAYOOOO MIKIR DONG !!!!
Setiap tahun
sebelum 17 Agustus, saya punya ritual berdiskusi dengan beberapa teman. Mirip
sebuah rembuk mencari inspirasi bagi republik. Biasanya kami lakukan sembari
menyantap nasi kuning atau nasi uduk bersama. Bukan karena kami pro terhadap
sebuah golongan, melainkan agar terasa lebih khusuk. Seperti perjalanan mencari
keaslian jati diri masing-masing.
Tahun ini,
karena kesibukan teman-teman, ritual ini terpaksa kami lakukan setelah 17
Agustus kemarin. Sayangnya restoran tempat kami bertemu hanya menyajikan nasi
campur. Terpaksa menu nasi campur, teh pahit dan kopi tubruk, kami plonco
secara resmi. Acara kali ini saya buka dengan melontarkan satu pertanyaan, “Apa
makian anda di kantor yang paling favorit ?” Mendengar tantangan saya itu,
banyak diantara teman diskusi saya yang terbahak-bahak. Lalu saya menjelaskan
bahwa makian bisa menjadi cermin karakter dan situasi republik saat ini.
Sehabis saya menjelaskan, tiba-tiba teman-teman terdiam sesaat. Seperti ada sebuah
jedah panjang yang sunyi.
Lalu diantara
kesibukan menyantap nasi campur dan menyeruput kopi dan teh, seorang teman kami
yang wanita berkomentar : “Mungkin makian gue yang paling populer di kantor itu
– ‘Mikir dong luuuu !’…” Lalu teman-teman yang lain ikut tertawa. Diskusi
kamipun menjadi gaduh dan heboh. Karena memang makian seperti itu dalam
berbagai tipe dan versi, merupakan sebuah sarkasme yang sangat kerap kita
lontarkan dikantor setiap harinya. Atas perilaku entah itu sebuah kealpaan dan
atau sebuah kebodohan yang tiap hari kita perangi. Tentu saja makian itu ada
versi yang lebih vulgar dan kasar. Tetapi intinya, kata salah seorang teman
saya, bahwa budaya kita ini memang sarat dengan kebodohan dan ketololan. Lihat
saja istilahnya yang beragam. Mulai dari istilah tersirat seperti “otakmu
didengkul” atau “otak udang” hingga istilah preman yang populer seperti “bloon”
dan “tulalit”.
Diskusi ini
secara seru akhirnya juga memicu perdebatan bahwa seringkali karena kita
frustasi dengan situasi setempat, sehingga tidak jarang kosa kata kita tentang
kebodohan dan ketololan itu sangat bervariasi jenis dan derajatnya. Misalnya
ada istilah “tell me” yang sebenarnya lebih mendiskripsikan keadaan seseorang
yang selalu berpikir telat alias kurang cerdas. Atau istilah “dongo” yang
menurut teman saya untuk level kebodohan dan ketololan yang sangat parah.
Dalam
perjalanan pulang usai diskusi, hati saya galau bukan kepalang. Apakah ada
kemungkinan bahwa bangsa kita memang malas berpikir ? Atau lagi-lagi sistim pendidikan
kita yang harus disalahkan karena lebih banyak membuat anak-anak menghafal dan
tidak tertantang untuk berpikir ? Salah satu teman diskusi kami malah menuduh
bahwa sebagai bangsa kita miskin dengan budaya berpikir. Ia mencontohkan
bangsa-bangsa dengan budaya besar seperti Tiongkok dan Yunani itu dipenuhi
dengan filsuf dan pemikir. Tiongkok punya banyak pemikir mulai dari Lao-Tze
hingga Confucius. Yunani punya filsuf seperti Plato dan Seneca yang hingga kini
buah pikiran-nya masih dikutip orang tiap hari.
Celakanya media
kita entah itu radio atau televisi, lebih senang menayangkan acara-acara yang
lucu dan bukan acara-acara serius yang memotivasi orang untuk berpikir. Seorang
teman yang sudah malang melintang didunia radio sekian puluh tahun mengatakan
bahwa yang serius dan berat tidak pernah laku. Akibatnya media kita lebih
mengharumkan acara-acara lucu yang tidak jarang di selipkan aneka adegan
ketololan dan kebodohan. Misalnya hampir semua film dan tayangan sandiwara di
televisi selalu saja ada peran pembantu rumah tangga yang dijadikan subyek
untuk melucu secara tolol dan bodoh . Sebuah praktek budaya yang seharusnya
dilarang. Tak heran apabila film-film kita juga
lebih banyak bergenre komedi dan horror. Semenjak sineas nasional kita, Teguh
Karya wafat, sineas kita yang lain jarang menggarap film-film besar yang non
komedi dan non horror. Kita sepertinya malas berpikir untuk menonton film-film
serius, kita lebih bahagia santai menonton film yang tidak harus berpikir.
Seperti film action, komedi dan horror.
Menurut teman
saya itu, pemimpin kita kalau menulis buku, lebih banyak menulis biografinya
dan kisah-kisah sukses mereka. Bukan buah pikiran mereka. Malah menurutnya
satu-satunya buku pemikir Indonesia yang hingga kini masih terkenal dan diajarkan
dalam buku-buku sejarah disekolah, adalah buku RA Kartini, yang berjudul “Habis
Gelap Terbitlah Terang. Itupun buku yang ditulis oleh orang asing, berdasarkan
surat-surat RA Kartini. Selain buku ini, barangkali Indonesia tidak memiliki
buku lain yang legendaris.
Selama 20 tahun
terakhir hati saya sangat galau, karena saya melihat dimana-mana kita sebagai
bangsa yang sangat besar kehilangan kemampuan kita untuk berbahasa. Saya
menyebutkan sebagai sebuah fenomena “Cacat Sastra”. Seorang pemerhati seni mengatakan
kepada saya, sebagai bangsa kita menjadi lebih visual dalam 50 tahun terakhir
ini. Karya seni lukisan kita misalnya banyak diapresiasi kolektor luar negeri
dan harganya cukup tinggi di berbagai ajang pelelangan di luar negeri.
Sebaliknya selama 50 tahun terakhir ini kita kehilangan penyair dan pujangga.
Nama sastrawan besar yang terakhir kita inggat barangkali cuma WS Rendra.
Setelah Rendra, kita kehilangan tokoh besar. Berpuisi dan menulis cerpen
menjadi sebuah keahlian yang semakin langka.
Padahal bahasa adalah media dan
bahan baku untuk berpikir sekaligus. Tanpa bahasa cara berpikir kita menjadi
visual dan kehilangan logika. Sesuatu yang visual akan lebih sulit
diperdebatkan. Seperti otak kita mengalami kemunduran sebelah. Menurut saya
pribadi kemunduran kita berbahasa merupakan sebuah penyakit budaya yang sangat
serius. Sebuah karat yang perlahan membuat kita keropos. Tanpa bahasa kita
kehilangan cerita. Tanpa cerita kita tidak bisa membuat film, kita tidak bisa
menghidupkan legenda, kita akan kehilangan inspirasi. Alangkah sedihnya kalau
dalam 50 tahun mendatang bahasa Indonesia punah secara budaya. Kita masih bisa
menggunakan-nya hanya untuk bicara dan komunikasi. Namun Bahasa Indonesia akan
kehilangan emosi dan intelektualnya. Marilah kita bersama-sama mulai berpikir.
Selain gratis, berpikir akan sangat sehat bagi otak dan jiwa kita !
Monday, September 04, 2017
Saturday, September 02, 2017
Sriracha, Kimchi dan Pecel
Menjelang akhir pekan, teman
saya di Portland mengirim pesan – “Datanglah berkunjung ke Portland, ada obyek
ziarah kuliner yang menarik. Harus dan wajib kita kunjungi.” Karena teman saya
ini adalah “Foodie” kelas berat, maka saya langsung berkemas dan berangkat
menuju Portland dari San Francisco. Teman saya mengirim pesan lanjutan : “Jam
8.15 tepat besok di lobby hotel !” Melihat pesan itu saya langsung mengambil
kesimpulan, artinya kita akan makan pagi. Dan makan pagi ini pasti sangat
spektakuler, karena teman “Foodie” saya sangat dan super serius dengan
ajakan-nya. Malam itu saya akhirnya semi puasa, hanya makan salad dan secangkir
kopi, lalu tidur. Menyiapkan diri untuk makan pagi yang spektakuler.
Paginya jam 08.15 di lobby
hotel, teman saya sudah nyengir sumringah. Ternyata saya diajak kesebuah
restoran yang sedang naik daun di Portland. Tasty n Adler di tengah kota
Portland. Restoran ini memang buka jam 9 pagi untuk mereka yang ingin sarapan
pagi. Yang membuat saya terkejut adalah antrian yang panjang sebelum restoran
di buka. Rupanya memang restoran ini luar biasa “beken”-nya. Ketika masuk dan
duduk di meja, teman saya dengan sigap memesan sajian legendaris mereka. Dari
sejumlah makanan yang dipesan, 2 adalah makanan bergaya Korea, 1 makanan
bergaya Mexico dan 2 lagi makanan bergaya Amerika yang tradisional. Kedua
kuliner Korea yang kami pesan adalah,yang pertama ayam goreng ala Korea dengan
Kimchi. Dan yang kedua “Bim Bop Bacon and Eggs” . Saya cukup kaget dan
terperangah. Tak disangka masakan khas Korea sudah melanda dunia sedemikian
lengketnya. Luar biasa sekali.
Tasty n Adler, memang kreasi
koki terkenal - John
Gorham yang menurut ceritanya mengambil sejumlah inspirasi dari perjalanannya
keseluruh penjuru dunia, dan memungut sejumlah tradisi kuliner global yang
menggoyang lidah kita dan membentuk budaya kuliner global kita saat ini. John Gorham sendiri pada awalnya tahun 2007
mendirikan sebuah restoran Spanyol – Toro Bravo yang terkenal itu di Portland.
Kuliner Spanyol yang seringkali terdiri dari hidangan-hidangan kecil yang
sangat beragam dan disebut Tapas, membuka sebuah tradisi baru dalam budaya
kuliner Amerika - dimana makan bersama ramai-ramai alias “family style” seperti
tradisi kita di Asia; menjadi sebuah cara alternatif makan baru di Amerika.
Banyak restoran di Amerika kini memotivasi pelanggan-nya untuk mencoba berbagai
hidangan bersama-sama, sehingga kenikmatan makan menjadi pengalaman keberagaman
hidangan yang unik.
Saya
ingat betul, kira-kira 10 tahun yang lalu – pada sebuah malam yang cukup dingin
ditengah musim dingin di Los Angeles, seorang teman mengajak saya untuk menghangatkan
badan. Ternyata saya dibawa kesebuah warung kecil masakan Korea, dan disana
kami memesan sup tahu ala Kimchi yang pedas dan panas. Kami makan sampai
bekeringat. Dan terasa praktek menghangatkan badan teman saya itu sangat
efektif sekali. Warung Korea itu penuh sesak dengan pengunjung, baik konsumen
dari Asia, dan juga konsumen yang bukan Asia. Dengan rasa kagum saya mengatakan
kepada teman saya, bahwa kuliner Korea akan mendunia sebentar lagi. Apalagi
dengan gencarnya mereka mempromosikan musik dan budaya film Korea saat itu.
Ramalan saya kini terbukti. Di Jakarta sendiri, daerah sekitar Senopati hingga
Wolter Monginsidi di selatan Jakarta telah berubah menjadi kota Korea alias
Korean Town yang populer. Setiap bulan-nya minimal sekali atau dua, saya
bersama relasi juga makan Korean BBQ. Jelas sudah invasi kimchi kini sudah
mendunia.
Usai
makan pagi, diskusi kami lanjutkan di Stump Town, warung kopi favorite saya
yang asli berasal dari Portland. Stumptown berdiri tahun 1999, dan pendirinya
Duane Sorenson merupakan salah satu pionir – “The Third Wave of Coffee
Movement”. Sebuah gerakan yang sebutannya di prakarsai oleh Timothy Castle pada
tahun yang sama 1999, sebagai kelahiran gerakan “artisan” produsen kopi yang
mementingkan kualitas. Menjadikan kopi sebagai sebuah butik premium cita
rasa. Di Stump Town saya diberi
kesempatan mencoba salah satu kopi esklusif mereka yang sangat kompleks yaitu
Kenya Kirinyaga Karimikui. Sambil menyeruput secangkir kopi, kami berdiskusi
soal restoran dan café di Portland berserta tren-nya saat ini. Perbincangan menjadi semakin seru ketika kami
terbahak-bahak membahas fenomena saus Sriracha yang fenomenal. Secara singkat
Sriracha adalah sambal botol yang juga banyak kita dapati di Indonesia. Hanya
saja Sriracha ini menjadi saus yang merevolusikan cita rasa lidah orang
Amerika. Dapat dikatakan orang Amerika tergila-gila dengan saus ini. McD saja
belum lama ini meluncurkan saus versi Sriracha untuk disiramkan di burger
kreasi mereka. Bayangkan kedahsyatan-nya !
Nama
Sriracha konon berasal dari sebuah kota
kecil di pesisir timur Thailand – Si
Racha yang terletak di provinsi
Chonburi. Resep Sriracha sebenarnya sederhana, cabe, dengan cuka, garam, gula
dan bawang putih. Dan konon saus yang aseli digunakan pedagang warung makanan
laut disepanjang pantai di kota Si Racha itu. Pada tahun 1980, David Tran di
California lewat perusahaan-nya Huy Fong Food membuat Sriracha dengan cabe yang
banyak di Amerika yaitu jenis Jalapeno yang merah dan pedas. Karena David Tran
lahir dengan zodiak ayam jago, maka saus Sriracha buatan-nya diberi cap ayam
jago. Sejak itu saus Sriracha cap ayam jago langsung mendunia. Hampir semua
waralaba makanan saji cepat, seperti Wendy’s, Pizza Hut, Burger King, McD, Taco
Bell, Jack in The Box, Subway dan banyak lagi merangkul sambal ini didalam
sajian menu-nya. Perusahaan camilan membuat aneka camilan dengan rasa Sriracha.
Dan pedas menjadi fenomena cita rasa dunia !
Pulang
dari “ngupi”, pikiran saya melayang sangat jauh. Mungkin Indonesia juga bisa
bersaing dengan Kimchi dan Sriracha, dan modalnya hanya satu saus yang mungkin
bisa kita promosikan dan juga bisa membuat kuliner Indonesia mendunia secara
global. Bilamana saya rekat satu demi satu pengalaman saya menjelajah kuliner
Indonesia lebih dari 30 tahun, maka kesimpulan saya hanya ada satu, yaitu bumbu
atau saus pecel. Saus kacang barangkali adalah jiwa dan roh kuliner Indonesia,
karena bisa kita jumpai hampir bersentuhan dengan setiap kuliner Indonesia,
mulai dari sate, gado-gado, ketoprak, nasi uduk, dan lebih dari selusin makanan
khas Indonesia. Namun saus kacang juga umum kita jumpai dalam sajian kuliner di
Malaysia, Singapore, Vietnam, Thailand hingga Philipina. Hanya ada satu di
Indonesia yang sangat berbeda yaitu saus kacang yang terkenal dengan nama bumbu
atau saus pecel, yang memiliki rasa dengan rempah-rempah khas dan tingkat
kepedasan yang membuat kita ketagihan.
Saya
sering memanfaatkan saus pecel untuk berbagai eksperimen kuliner. Pernah saus
pecel saya blender hingga sangat halus dan saya berikan sedikit mayonaise agar
lebih kental dan gurih, lalu saya jadikan saus hotdog. Ternyata luar biasa !
Pecel hotdog ini menjadi favorit banyak orang. Bumbu pecel pernah juga saya
sajikan sebagai saus untuk kentang goreng alias “french fries” dan rasanya juga
membuat banyak orang ketagihan. Teman “foodie” saya berkomentar bahwa saus
pecel itu kaya rasa. Disamping rasa kacang (nutty) yang populer, dan
rempah-rempahnya yang membuat rasanya menjadi kompleks dan eksotis, bumbu atau
saus pecel lebih mudah diseimbangkan rasanya antara manis, asin, asam, dan
pedas. Sehingga memiliki kecanggihan yang bisa melampaui kimchi atau sriracha.
Teman
“foodie” saya pernah menggunakan saus atau bumbu pecel sebagai bumbu dasar
untuk membuat hidangan barat seperti salad, dan bumbu steak dalam sebuah jamuan
makan malam dengan hasil mengagumkan. Saya sendiri sangat yakin saus dan bumbu
pecel ini punya potensi bagus untuk menjadi landasan unik mempromosikan kuliner
Indonesia ke dunia global. Kuliner Indonesia yang sangat beragam sekali, memang
sangat sulit dipromosikan karena jumlahnya sangat banyak dan kompleks. Tidak
seperti masakan Thailand yang terkenal dengan satu kuliner seperti sup Thom Yam
atau masakan Vietnam yang terkenal dengan Pho. Berbagai negara di ASEAN juga
mulai meniru strategi yang mirip. Singapura gencar mempromosikan Laksa, dan
Malaysia giat mempromosikan Nasi Lemak. Sudah saatnya kuliner Indonesia kita
angkat dan kita promosikan sebagai atraksi kuliner dunia setelah kuliner China,
Jepang dan Thailand mendunia. Salah satu kemungkinan itu menurut perhitungan
pribadi saya adalah saus dan bumbu Pecel. Semoga saja ini menjadi inspirasi
yang bermanfaat. Berjayalah Pecel !
Wednesday, August 09, 2017
LUKISAN JELEK - Cerita dari San Francisco
Angin musim panas menyambut
letih saya – lebih dari 18 jam perjalanan saya tempuh dari Jakarta menuju San Francisco. Desirannya sejuk
dan kering. Angin pulang dari teluk yang selalu ramah di senja hari. Saya
menatap langit, dan senja masih terang benderang, biasanya musim panas di San
Francisco langit baru gelap diatas jam 8 malam. Suara tawa yang khas tiba-tiba
menghapus letih saya. Seorang teman lama saya di San Francisco menjemput saya di
bandar udara. Raut wajahnya selalu gembira, walau hidupnya sangat keras di
Amerika. Dia baru saja bercerai hampir 6 bulan yang lalu. Sebuah episode
kehidupan dirinya yang selalu ia buat menjadi lawakan walaupun sangat pahit.
Kami berpelukan melepas kangen. Terakhir kami bertemu hampir 2 tahun yang lalu.
Usai memasukan koper di bagasi,
kami meluncur kekota mencari makan. Saya meledek mobil tuanya, dan dia tertawa
terbahak-bahak. Dia adalah salah satu orang yang saya kenal selalu optimis.
Tidak peduli biar bagaiman hidup mencoba merobeknya berkeping-keping. Dia
selalu tertawa dan selalu mencoba membalas meledek hidup. Dia selalu mengatakan
kepada saya bahwa hidupnya adalah selembar plastik yang tahan dirobek. Saya
banyak belajar dari dirinya, terutama dalam berkelit melewati hari-hari yang
susah dalam kehidupan ini.
Kami meluncur ke Little Italy,
dan sambil tertawa, dia mengatakan bahwa kali ini dia menemukan sebuah café,
yang pasti saya akan suka. Saya tersenyum, karena teman yang satu ini memang
tahu betul hobby dan kesukaan saya. Tiba di café, pengunjung mulai sepi. Karena
hari hampir jam 09.00 malam. Saya memesan sup dan pasta sederhana. Saya tidak
ingin malam ini “jet-lag” saya bertempur dengan perut yang kekenyangan. Lalu
kami-pun heboh bercerita tentang “kacrut”-nya ekonomi di Indonesia dan situasi
politik yang “kalut” di tanah air. Di tengah santap malam dia mengatakan sebuah
kalimat yang saya tunggu-tunggu, “Elu bakal suka deh – café ini punya sejumlah
lukisan jelek kesukaan elu” Saya tertawa terbahak-bahak. Dan akhirnya permisi
ke WC untuk membuktikan.
Saya punya hobby melihat lukisan
jelek. Dan entah kenapa, berbagai restoran diseluruh penjuru dunia selalu punya
kebiasaan memajang lukisan jelek di WC mereka atau di gang menuju WC mereka.
Apakah lukisan jelek merupakan atribut terbaik untuk dipajang di sebuah WC
restoran atau café untuk menunjukan sebuah nilai keaslian ? Atau menunjukan
sebuah dekor interior yang unik ? Café ini mungkin telah berusia lebih dari 30
tahun, dan di gang menuju WC tergantung beberapa lukisan yang memang sangat
jelek, demikian juga didalam WC pria.
Saya selalu menikmati lukisan
jelek, yang mungkin tidak memiliki nilai komersil.
Pernah sekali ketika masih
sekolah di SD ulangan saya jeblok. Saat itu ayah saya memberikan satu petuah.
Pesan beliau, “….. belajarlah menghargai semuanya, baik yang jelek dan yang
baik. Karena semuanya adalah anugerah.
Kalau kamu bisa menghargai yang jelek maka yang baik itu nilainya akan
berlipat ganda. Tetapi kalau kau tidak bisa menghargai yang jelek maka yang
baik tidak akan pernah bisa membuat kau puas !” Awalnya saya tidak mengerti
sama sekali petuah itu. Saya merasakan ayah saya mencoba menghibur dan
memotivasi diri saya.
Suatu hari seorang teman dari
Korea, mengajarkan saya cara minum teh yang baik dan benar. Awalnya saya tidak
memperhatikan sama sekali. Karena di Indonesia, setiap kali makan kita sudah
terbiasa minum es teh tawar. Dan kita tidak punya apresiasi banyak. Namun
setelah saya di ajarkan yang baik dan benar, saya mulai mengerti petuah ayah
saya, bahwa setelah sekian lama minum teh yang biasa-biasa saja, termasuk yang
buruk dan tidak enak, maka ketika saya diajarkan minum teh yang baik dan benar,
maka terasa bahwa yang baik dan benar nilainya menjadi berlipat-lipat ganda.
Sejak itu sayapun terobesesi untuk berburu teh yang berkualitas tinggi.
Salah satu efek samping dari
petuah ayah saya, maka akhirnya saya juga terobsesi untuk berburu “barang yang
jelek” termasuk lukisan dan patung. Medan tempat saya berburu salah satunya
tentu saja adalah WC di restoran dan café diseluruh penjuru dunia. Karena
disanalah sarang lukisan jelek bermukim. Dan didalam kenikmatan saya menonton
lukisan jelek, seringkali hadir sejumlah rasa penasaran serta pertanyaan yang
membabi buta. Pertama kebanyakan lukisan itu adalah “mereka yang tidak dikenal”
alias anonim. Sesuatu yang sangat berbeda ketika kita menonton lukisan di
gallery dimana kita mengenal pelukisnya. Mereka yang anonim bisa saja seorang
anak, seorang dewasa atau seorang manula. Bisa saja mereka melukis karena iseng
atau mereka yang benar-benar berusaha menjadi pelukis tetapi gagal. Setelah
saya melihat sekian banyak lukisan jelek di WC akhirnya saya belajar mengenali
hal-hal yang menarik. Misalnya ada lukisan yang dibuat seadanya saja, karena
memang iseng. Namun ada sejumlah lukisan yang memperlihatkan usaha, dan
perjuangan. Hal itu terlihat dalam tarikan kuas dan warna dengan kesungguhan
yang murni dan sangat jujur apa adanya. Pelukis komersil kebanyakan telah
kehilangan roh itu. Mereka melukis untuk menyenangkan penonton dan kolektornya.
Komersialisasi seringkali memadati kanvas mereka, membuat saya susah bernafas
lega. Lukisan jelek sangat terbalik selalu punya persepsi baru karena dilukis
dengan mata yang lebih lugu.
Entah kapan awalnya,
saya akhirnya mulai mengoleksi barang jelek dan barang yang rusak, dan mencoba
menjalani amanat ayah saya. Saya punya sejumlah patung yang cacat, jelek dan
rusak. Saya beli ketika berburu barang-barang antik diberbagai gallery. Kebanyakan
harganya sangat murah dan tidak diminati orang. Saya juga mengoleksi sejumlah
lukisan palsu dan jelek. Salah satu lukisan yang sangat jelek, adalah lukisan
yang saya beli di Djogdjakarta, sebuah lukisan tertanggal tahun 1998 dan
merupakan lukisan tinta Cina di selembar karton. Konon pelukisnya adalah
seorang penderita Schizophrenia yang
kemudian meninggal tak lama sesudah ia melukis lukisan itu. Lukisan itu sangat
jelek dan tidak berbentuk, namun bagi saya lukisan itu memiliki ketajaman yang
indah dan sulit dilukiskan karena memiliki kerumitan emosi yang tidak mungkin
terjelaskan.
Pernah sekali saya mengobrol dengan seorang pelukis tua di
Djogdjakarta – beliau tanpa saya sangka mengatakan :”Saya kangen melukis yang
jelek !”. Tentu saja saya terbahak. Namun dia menerawang dan menjelaskan, bahwa
semua pelukis awalnya melukis dengan jelek. Tidak ada pelukis yang secara ajaib
langsung melukis dengan indah. Titik awal dimana semua pelukis belajar dan
mencari jati dirinya adlah masa-masa yang paling berbahagia. Sebuah masa tanpa
noda dan dosa. Satu kesucian proses berkarya. Kalaupun lukisan kita jelek,
semua orang akan maklum, karena dia masih belajar. Tapi sekarang ketika dia
melukis sedikit saja kurang apik, semua kritikus seni akan bersorak
mengeritiknya habis-habisan. Dia telah kehilangan era itu. “Saya kangen berbuat
salah,” begitu kilahnya diakhir percakapan kami.
Kini saya sadar bahwa ayah saya mencoba mengajarkan kepada
saya sebuah kebijakan tentang sebuah proses pembelajaran. Bahwa apapun yang
kita lakukan, jangan takut apabila awalnya salah dan jelek. Karena setelah itu
– kita akan semakin mahir untuk mampu
melakukan yang baik dan benar. Yang penting adalah tidak tinggal diam. Tetapi
berani melakukan. Ini yang membedakan kita dengan yang lain. Ada orang tidak
pernah punya keberanian untuk melakukan. Selama hidupnya dia hanya akan menjadi
penonton. Sisanya justru bangkit dan melakukan. Mungkin awalnya salah dan
jelek, tetapi kalau ia tetap berusaha dan bergiat, suatu hari dia akan menjadi
maestro.
Di Union Square, saya dan teman saya berpisah. Langit telah
gelap. Dan angin malam itu cukup dingin membekukan semua keletihan saya.
Sebelum tidur, saya jadi teringat perkataan - Lang Leav, seorang penulis di New
Zealand – yang menulis novel SAD GIRLS. Dia menulis dengan indahnya – "The
most beautiful things are damaged in some way." Kalimat itu membawa saya
kealam mimpi malam itu. Banyak orang mengejar kesempurnaan yang ilusif. Tanpa
mengerti proses dan pembelajaran. Yang dikejar adalah titik terakhir yang
sempurna. Padahal kesempurnaan dan keindahan seringkali adalah akibat sebuah
perjalanan panjang. Sayangnya perjalanan itu jarang dimengerti banyak orang.
Subscribe to:
Posts (Atom)