Setelah reformasi, saya punya
satu harapan, bahwa mesin pemerintahan yaitu kabinet dan berserta
menteri-menterinya juga bakal di reformasi. Ternyata harapan saya pupus. Hingga
hari ini sedikit sekali perubahan yang terjadi di kabinet. Ibarat sebuah
perusahaan, presiden adalah CEO, dan para menteri adalah manajernya, maka
struktur organisasi atau dalam pemerintahan kita sebut KABINET sangat
menentukan laju efektifitas dan produktifitas dari manajemen negara.
Setelah reformasi, kabinet dipemerintahan
kita cenderung gemuk dan semakin gemuk. Akibatnya birokrasi menjadi ruwet, dan
tindakan-tindakan strategis serta taktis menjadi semakin tumpang tindih. Di
awal kemerdekaan kita, jumlah menteri paling sedikit adalah ketika era Kabinet
Darurat dengan hanya 12 menteri. Kabinet ini hanya berlangsung 8 bulan dari
Desember 1948 hingga Juli 1949. Jumlah menteri paling banyak adalah 37 orang
dalam era Kabinet Amir Sjarifuddin II yang berlangsung hanya 3 bulan. Lalu
berlanjut dalam zaman parlementer dari tahun 1949 hingga 1957, jumlah kabinet
dengan menteri paling sedikit 10 orang dan menteri paling banyak 25 orang.
Ketika orde lama, kabinet
pernah menggelembung dengan 132 orang menteri, dan kabinet paling sedikit
dengan 24 orang, yaitu pada saat kabinet Ampera II dengan pjs Presiden Suharto.
Kabinet ini juga hanya berlangsung 8 bulan. Ketika orde baru, dengan kabinet
Pembangunan I - kita hanya punya menteri 24 orang, yang kemudian membengkak
menjadi 44 orang menteri di kabinet Pembangunan V. Selama Reformasi 15 tahun
kita memiliki 5 kabinet. Jumlah menteri terbanyak adalah kabinet Indonesia
bersatu saat ini yang memiliki 38 menteri. Dan menteri paling sedikit adalah
saat kabinet Gotong Royong dengan 33 menteri. Jadi selama reformasi 15 tahun
jumlah menteri kita cukup gemuk yaitu berkisar 33 orang hingga 38 orang.
Sebenarnya berapa menteri
yang ideal dalam sebuah kabinet ? Kalau dihitung diatas kertas, semakin sedikit
semakin baik. Karena akan menciptakan kabinet yang kurus. Sehingga membuat
birokrasi lebih pendek, dan pemerintahan yang gesit, mudah bergerak dan sangat
responsif. Sebagai gambaran, kabinet di Singapura hanya memiliki 17 menteri dan
di kabinet di Amerika saat ini hanya memiliki 15 menteri. Di Indonesia, karena
tidak adanya partai politik yang sangat kuat, maka pemerintahan yang ada
cenderung harus berkoalisi dengan sejumlah partai. Dan dalam 10 tahun terakhir
ini, kita melihat sejumlah ketua partai politik diberi hadiah menjadi menteri
di kabinet, karena kontrak koalisi politik. Yang membuat kita balik lagi
bertanya apakah ketua partai politik memang memiliki kualifikasi sebagai
manajer yang baik untuk kementerian yang dipimpinnya.
Dilema inilah yang menghantui
kita. Bahwa manajemen negara yang gemuk selama 15 tahun terakhir ini,
memberikan kita persepsi bahwa kita sebenarnya hanya berjalan ditempat. Kita
miskin strategi. Dan kita juga tidak punya road-map yang jelas. Sampai akhir
tahun 2012, jumlah PNS tercatat 4.462.982 orang atau setara dengan 1,90 persen
dari hampir 241 juta jiwa penduduk Indonesia. Jumlah ini masih ditambah
dengan pegawai honorer yang menyebabkan postur birokrasi yang sangat gemuk.
Akibatnya dana APBN yang dipakai untuk menggaji para PNS mencapai 48,5%.
Itupun dengan sejumlah keluhan bahwa gaji PNS di Indonesia masih rendah
dibandingkan dengan gaji PNS dinegara lain. Nah, negara juga punya masalah,
yaitu kalau gaji PNS mau dinaik-kan dan disetarakan, pasti anggaran gaji dari
APBN akan semakin naik juga. Dari mana kita mencari dana untuk mensejahterakan
PNS. Padahal kita sadar apabila PNS tidak mendapat gaji yang baik, mereka akan
terpaksa mencari kekurangnya dengan berbagai cara. Termasuk korupsi dan
"ngobyek" ditempat lain. Masalah ini tidak hanya menimpa pemerintah
pusat tetapi juga menimpa pemerintah daerah. Pada tahun 2012, dari seluruh
APBD, belanja pegawai daerah mencapai
50,9 persen, Barang dan Jasa 18,1 persen, sementara belanja modal hanya 23,9
persen.
Dengan komposisi dan struktur seperti ini, kita akan sulit
untuk mencapai kinerja pemerintah yang optimum. Padahal di koran kita sering
membaca apabila pejabat melakukan sidak, selalu saja ada cerita menemukan PNS
yang tidak bekerja, ada yang main komputer, baca koran, dsbnya. Menciptakan
persepsi bahwa kita sebenarnya kebanyakan PNS dan kualitas PNS kita rendah. PNS
juga sering dijadikan kambing hitam. Bahwa kalau jumlah angka pengangguran
tinggi, maka cara termudah bagi Pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja dan
mengurangi pengangguran adalah dengan membuka lowongan baru bagi PNS.
Konon Jepang hanya memiliki 1,5 juta PNS dari populasinya
yang berjumlah 127,6 juta orang atau sekitar 1.1%. Dan Amerika memiliki 2.79
juta PNS dari populasinya yang berjumlah 314 juta orang atau sekitar 0,8% saja.
Bandingkan dengan Indonesia yang 1,9%. Artinya Indonesia perlu dan harus
mengurangi jumlah PNSnya hingga mendekati 1%. Ketika angka ini saya
presentasikan dalam sebuah diskusi tertutup - saya diserang kritik dari segala
penjuru. Umumnya semua orang mengatakan, jangan membandingkan Indonesia dengan
negara-negara maju. Dan jawaban saya sangat sederhana, kalau kita mau maju,
kita harus berani mengambil standar negara maju. Masa sih kita harus mengambil
standar dari negara-negara dibawah kita ?
Barangkali dalam 15 tahun setelah reformasi kita masih
berjuang melakukan berbagai konsolidasi dan pemantapan ke stabilan politik dan
ekonomi. Jadi bisa saja apa yang terjadi dalam 15 tahun terakhir kita maklumi.
Yang bisa menyelamatkan negara, bangsa dan republik ini adalah pemimpin yang
memiliki tekad. Memiliki rencana dan strategi. Apabila 15 tahun terakhir ini
adalah sebuah masa peralihan, maka 15 tahun kedepan seharusnya adalah sebuah
masa perjuangan baru. Sebuah masa yang ditandai dengan pemikiran matang dengan
sejumlah aksi yang bisa membawa Indonesia ke era baru. Era dimana Indonesia
menjadi sebuah kekuatan ekonomi baru di ASIA. Bilamana India bercita-cita ingin
menyalip Tiongkok, maka kita butuh pemimpin dengan mimpi yang sama.
Jepang kalah perang dalam perang dunia ke dua. Namun hanya
dalam 25 tahun Jepang menjadi kekuatan baru di ASIA. Era tahun 70-80 an ASIA
didominasi oleh Jepang. Langkah itu diikuti Taiwan tahun 80-90 an. Dan kemudian
Korea Selatan di era tahun 1990an - 2000an. Populasi Jepang memang sangat besar
hampir 128 juta orang. Taiwan sebaliknya jauh lebih kecil hanya mendekati 23,5
juta orang dan Korea Selatan 50 juta orang. Satu hal yang kita pelajari bahwa
ketiga negara itu memberdayakan sumber daya manusianya dengan sangat serius.
Menjadikan mereka semua aset yang sangat berharga.
Lembaga riset Pearson belum lama ini mengeluarkan index
tentang pendidikan global terbaik. Korea Selatan menduduki peringkat kedua
setelah Finland. Jepang berada diperingkat ke 4. Membuktikan bahwa pengembangan
dan pemberdayaan manusia sebagai sumber daya terpenting sangat dan amat kritis
pentingnya. Dan Indonesia dengan penduduk usia produktif yang sangat besar semestinya
punya peluang menjadi kekuatan ekonomi ASIA setelah Jepang, Taiwan dan Korea
Selatan. Asalkan kita serius mengolah aset manusia kita. Mendidik-nya dan
melatihnya. Menjadi lokomotip kemajuan bangsa. Ini pekerjaan rumah kita
bersama. Reformasi manusia Indonesia !
No comments:
Post a Comment