Dari sejumlah diskusi tertutup yang dilakukan organisasi
kami disejumlah kota dengan para mahasiswa dan mahasiswi yang memiliki hak
pilih di pemilu tahun 2014, lebih dari 50% responden memberikan jawaban bahwa
mereka tidak peduli dengan pemilu 2014. Sebagian dari mereka ketika ditanya
apakah akan menggunakan hak pilihnya di pemilu - menjawab dengan tegas
"Ngak Ngaruh". Artinya mereka berpendapat bahwa apakah mereka ikut
dan tidak ikut - hasilnya tidak akan mempengaruhi masa depan mereka. Itu sebuah
alarm yang buruk. Bahwa selama 15 tahun reformasi, pemerintah yang berkuasa
gagal memperbesar harapan anak-anak muda terhadap masa depan. Malah mereka
secara sistimatis menghapusnya dengan sejumlah prestasi yang sangat buruk lewat
korupsi dan berbagai kejahatan politik. Walaupun Indonesia dipuji gigih melawan
korupsi, tetapi didalam negeri, kita kalah mengadakan perlawanan. Budaya
korupsi seperti sudah baku dan menjadi standar para politikus.
Ketika kami bertanya kepada mereka yang mau menggunakan hak
pilihnya di tahun 2014, tentang tokoh yang akan mereka pilih, maka jawaban
populer mereka "Ngak Paham". Artinya mereka tidak mengenal tokoh
politikus yang akan maju menjadi calon presiden 2014. Malah ketika ada satu
mahasiswi yang kami tanya soal pilihan-nya, ia menjawab sekenanya saja,
"Saya pilih dia, kayaknya cuma dia yang sayang binatang". Tidak ada
kriteria ekonomi, visi dan program kerja. Jawaban mereka serba sepele. Dan
tidak relevan.
Seorang psikolog yang ikut kami ajak berdiskusi soal hasil
diskusi kami dibeberapa kota itu, hanya tertawa terbahak. Ia mengeritik tajam
15 tahun reformasi itu. Menurutnya, reformasi itu mestinya harus menjadi titik
balik terpenting dalam sejarah moderen Indonesia. Karena saat itu telah terjadi
klimaks dimana rakyat Indonesia menginginkan sebuah perubahan yang sangat
masif. Andaikata ada pemimpin yang jeli dan bisa membaca situasi itu, maka
Indonesia bisa melesat kedepan bagaikan panah sakti Pasopati milik Arjuna.
Tetapi kita gagal memanfaatkan momentum itu. Semangat yang menggebu-gebu dan
bergelora, akhirnya perlahan-lahan surut. Mereka yang berusia 5 - 10 tahun pada
tahun 1998 ketika awal reformasi, kini seharusnya menjadi generasi muda penerus
reformasi. Namun mereka tidak mendapat asupan politik dan kebangsaan yang
sesungguhnya. Sehingga mereka menjadi sangat apatis. Dan yang menyebabkan
ramalan bahwa tingkat partisipasi pemilu tahun 2014 akan berada dikisaran 60%
atau lebih rendah.
Teman saya sang psikolog mengatakan, dalam 15 tahun
reformasi, budaya Korea lebih populer daripada budaya Indonesia. Semua anak
muda tergila-gila dengan budaya K-POP. Selama 15 tahun jumlah band Indonesia
aseli dan film Indonesia aseli, gagal maju signifikan. Mereka hanya tumbuh
secara marjinal mengikuti pertumbuhan populasi secara demografis. Anak-anak
muda kita tidak tergila-gila dengan semua yang serba Indonesia. Sayang kita
telah kehilangan kesempatan itu. Jadi jangan heran, kalau anak muda jaman
sekarang hanya butuh "wi-fi" dan head-phones. Bila keduanya terpenuhi
mereka akan tenang dan tenggelam dan dunia mereka sendiri-sendiri.
Lalu apa solusi-nya ? Jawaban-nya cuma satu - Relevan ! Barangkali
relevan adalah karma marketing yang terbaru. Sebuah kalkulasi penentu yang
paling jitu. Dahulu kita secara fisik selalu melihat produk dan harganya. Kalau
produk dan harganya secara fisik tidak menarik, kita cenderung tidak tertarik
untuk membelinya. Dua elemen sisanya cenderung cuma mengungkit emosi kita.
Yaitu tempat dimana kita membeli atau mengkonsumsi dan promosinya. Ini
cenderung sebuah pilihan yang lebih emosional. Skenario-nya dulu bisa seperti
ini. Misalnya kita memilih "ngupi" di tempat tertentu karena memang
kopinya enak dan harganya murah. Dan ketika ritual "ngupi" telah
menjadi kebiasaan atau langganan kegiatan kita, maka kita beranjak ke jenjang
yang lebih tinggi. Secara emosional kita akan cenderung memilih tempat
"ngupi" tertentu. Yang misalnya memiliki tempat lebih nyaman. Lebih
sepi. Supaya enak ngobrol dan mungkin tempat duduknya lebih banyak sofanya.
Terkadang secara emosional kita juga terbawa dengan bujukan promosi yang unik
dan menarik.
Itu skenario klasik. Kopinya enak. Murah. Tempatnya nyaman.
Dan promosinya unik. Tetapi kemarin ketika saya diajak rapat bersama
teman-teman di suatu sore, mereka memilih tempat ngupi bukan berdasarkan 4
kriteria diatas. Tetapi berdasarkan 1 unsur saja. Yaitu unsur yang paling
relevan. Mereka memlih tempat "ngupi" tertentu karena semata-mata
"wi-fi" ditempat itu paling kenceng "speednya". Artinya
kita rapat membutuhkan "wi-fi" dan ini yang relevan. Sisanya ngak
penting !
Hal yang sama dialami oleh industri telpon seluler. 20 tahun
yang lalu kriteria kita untuk memilih sebuah telpon seluler barangkali didasari
oleh kualitas suara, dan fungsi. Lalu harga. Sisanya faktor emosi seperti
desain dan promosinya. Tapi lihat saja iklan-iklan telpon seluler jaman
sekarang. Karena budayanya sudah sangat bergeser. Kita sudah berada di fenomena
budaya baru yaitu "status", "share" dan "selfie".
Apa-pun yang terjadi dengan kita selalu kita umumkan keseluruh antero dunia.
Menjadi "status" ditelpon seluler kita. Dan sebelum kita makan,
seringkali kita foto makanan kita dan kita "share" di telpon seluler
kita dan kita kirim keseluruh dunia. Tak jarang kita merasa diri kita ganteng
dan cantik, maka kita memotret diri kita sendiri (selfie) lalu juga kita
"share" dengan semua teman-teman kita. Maka fungsi telpon seluler
kita yang terpenting bukan lagi kualitas suara melainkan kamera fotonya. Ini
faktor yang paling relevan.
Tak heran apabila produsen telpon seluler, tidak lagi
mengiklankan kualitas suara telpon seluler mereka tetapi mereka ramai-ramai
mengiklankan kemampuan kamera di telpon mereka. Ini yang relevan, dan ini yang
menjadi penentu konsumen membeli sebuah telpon seluler.
Lalu apa yang
relevan bagi generasi muda kita ? Kebanyakan dari mereka tidak mengatakan
langsung tetapi menyiratkan secara samar bahwa memiliki pasangan hidup yang
pas, lalu keluarga dan hidup yang layak adalah faktor relevan yang paling
utama. Kelihatannya sangat klise. Namun kalau kita gali lebih dalam, ternyata
hal-hal yang relevan menjadi sangat banyak. Abad internet saat ini, memang
memberikan mereka kenyamanan bahwa mereka memiliki banyak teman. Tetapi
sesungguhnya sangat berbeda. Mereka boleh punya 5.000 teman di internet, tetapi
sehari-hari mereka hanya punya segelintir teman yang sesungguhnya. Mereka juga
khawatir dengan kelanggengan keluarga. Percaya atau tidak infotainment ditelevisi
yang kebanyakan membahas perselingkuhan dan perceraian menjadi echo atau gema
yang sangat berpengaruh. Konon data
Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung RI tahun 2010 melansir
bahwa selama 2005 sampai 2010, atau rata-rata satu dari 10 pasangan menikah
berakhir dengan perceraian di pengadilan. Dari dua juta pasangan menikah tahun
2010 saja, 285.184 pasangan bercerai. Dan tingginya angka perceraian di Indonesia
yang kita dapati, notabene tertinggi se-Asia Pasifik. Hampir 70 persen perceraian yang terjadi adalah cerai gugat.
Dengan kata lain, lebih banyak perempuan yang mengajukan gugatan perceraian
daripada lelaki yang menceraikan istrinya. Alasan mereka adalah ketidak
harmonisan dalam keluarga.
Kehidupan yang layak secara ekonomi, pasangan yang harmonis,
dan kebahagian keluarga menjadi "benchmark" jaminan hidup berbahagia
yang paling relevan. Itu adalah kesimpulan yang kami dapati dari diskusi
keliling kami diberbagai kota. Kelihatan sepele tetapi memiliki dimensi yang
sangat kompleks dan mengakar dalam setiap perasaan generasi muda di republik
ini.
Seorang mahasiswi tingkat akhir, bercerita dengan sangat
jujur kepada saya. Ia merasa tidak cantik. Tubuhnya juga tidak sexy malah
cenderung gemuk. Ia mengaku masih perawan dan tidak punya pacar sejak jaman
SMA. Tetapi ia sekarang menjadi part-timer menjual properti. Hasilnya sangat
lumayan. Ia mandiri secara ekonomi. Ia bercerita, ia masih kumpul dengan
teman-teman-nya di akhir pekan. Makan dan bergaul seadanya. Tetapi ia berhenti
mencari pacar. Dunianya sederhana. Mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya.
Jalan-jalan ke luar negeri. Mencoba berbahagia. Itu dunianya. Itu yang paling
relevan. Ia mengaku sangat realistis soal menikah dan punya keluarga.