Ini fenomena politik yang
paling menarik. Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbanyak
di-dunia. Namun dalam 4 pemilu sejak 1999, suara mereka yang disalurkan lewat
partai berafiliasi Islam tidak pernah dominan diatas 50%. Tahun 1999, 4 partai
berafiliasi Islam seperti PKB,PPP,PAN dan PBB meraih 32,38% suara. Tahun 2004,
masuk PKS meramaikan panggung politik, dan perolehan suara tidak naik banyak
hanya 35,12 %. Padahal jumlah partai politik peserta pemilu tahun 1999 ada 48
partai, dan tahun 2004 menciut menjadi separuhnya hanya 24 partai. Pada masa
itu tidak terjadi efek luberan. Jumlah perolehan suara tidak bergeser banyak.
Tahun 2009, partai peserta
pemilu kembali melonjak menjadi 44 partai, suara partai terafilliasi Islam
memang turun drastis ke 25,94%. Tapi tahun 2014 dengan hanya 12 partai peserta
pemilu, suara yang diperoleh hanya 31,78%. Lebih kecil dari pemilu tahun 1999
dan 2004. Matematikanya tidak menggairahkan. Hanya berkisar di 30% saja.
Padahal hitungan sejumlah teman, harusnya tahun 2014, partai teraffiliasi Islam
bisa menggelembung diatas 40% atau malah mendekati 50%. Mestinya begitu.
Lalu apa yang salah ? Politik
di Indonesia memang masih didominasi oleh tokoh pimpinan partai. Ajaran,
filosofi dan program partai datang nomer tiga dan nomer empat. Jadi rakyat dan
pemilih masih melihat siapa tokohnya. Bukan organisasinya. Selama 15 tahun
terakhir ini, memang partai teraffiliasi Islam, gagal menghadirkan tokoh
kharismatik yang disukai dan di-idolakan oleh pemilih. Sejumlah perseteruan,
didalam tubuh partai dan berbagai kasus korupsi yang ramai diberitakan media,
juga merusak citra mereka sedikit banyak. Walaupun demikian kemerosotan suara
tidaklah berarti. Mereka tetap berkisar di 30 persen selama 15 tahun. Artinya
pemilih yang beragama Islam yang sangat konservatif akan tetap memilih partai
teraffiliasi Islam, tanpa peduli apa-pun yang terjadi.
Melihat situasi yang unik
ini, mestinya para partai teraffiliasi Islam, sadar dan merapatkan barisan
bersama untuk membentuk koalisi Islam Indonesia. Koalisi ini belum pernah
terjadi. Seorang teman bercerita bahwa koalisi ini hampir tak mungkin terjadi.
Pertama karena terlalu banyak agenda dan tujuan-tujuan yang sangat berbeda.
Sukar dijadikan satu dan membuat semua akur bersama. Disamping itu rasa percaya
mereka diantara sesama juga belum terbukti. Dan ketiga mereka tidak punya tokoh
yang bisa mempersatukan mereka bersama. Tokoh besar mirip raja Tiongkok yang
bisa menjadi pemersatu.
Tetapi situasi politik
berubah haluan dengan sangat cepat. Situasi tahun 2014, sudah sangat berbeda.
Pertama apabila Jokowi menjadi Presiden, kemungkinan akan memutus sebuah
generasi politik. Karena semua karir politikus pasca reformasi 1998 semuanya
akan berakhir. Partai-partai politik di tahun 2019, harus menghadirkan tokoh
muda baru, yang mampu melesat dalam 5 tahun dan menjadi meteor tokoh pimpinan
nasional. Ini tantangan yang sangat sulit. Apabila tidak muncul tokoh nasional
ini, maka kemungkinan Jokowi akan menjadi presiden 2 periode alias 10 tahun.
Mampukah kita dalam 10 tahun mencari jagoan baru ?
Kedua apabila Jokowi kalah
dengan Prabowo, dan Prabowo menjadi Presiden, maka situasinya juga akan mirip.
Kemungkinan Prabowo akan jadi Presiden 2 kali alias 10 tahun. Tantangan kita
akan tetap sama. Mampukah kita mencari tokoh pemimpin nasional baru dalam 10
tahun itu ?
Melihat kalkulasi yang
menarik ini, maka saya berhitung bahwa koalisi Islam bakal menjadi kuda hitam
2014. Andaikata mereka mampu merapatkan barisan, rela mengesampingkan semua
agenda dan tujuan golongan, dan mendapatkan seorang tokoh Nasional yang dapat
dipercaya rakyat, bukan alasan tokoh tersebut menjadi Presiden 2014 Indonesia
yang baru. Mereka punya peluang jadi kuda hitam 2014 dalam 3 bulan mendatang.
Memang kemungkinan-nya
sangatlah kecil sekali. Membuang jauh-jauh semua ego masing-masing sangatlah
sulit. Tetapi koalisi Islam saat ini, bukan didasari sebuah peluang semata.
Menurut saya, lebih kepada alasan bertahan hidup. Bahwa partai terafiliasi
Islam bisa saja suaranya jatuh dibawah 25% seperti ditahun 2009. Alasan klasik
bahwa bersatu itu teguh dan menjadi sangat kuat, terasa menjadi kiat dan
kebutuhan untuk tetap hidup dan bertahan. Juga menjadi sebuah peluang bahwa
partai terafiliasi Islam bisa berjaya dan berprestasi terhadap kejayaan
Indonesia.
Indonesia
saat ini mencari tokoh Satrio Piningit, sesuai ramalan Joyoboyo. Sebagian orang
sudah memutusakan siapa yang menjadi tokoh ini. Saya lebih memilih punya
pemikiran terbuka. Berdoa bahwa dalam 3 bulan mendatang, tokoh ini memang akan
muncul dan membawa Indonesia ke pentas kejayaan. Dan dalam semangat pemikiran
yang terbuka, koalisi Islam barangkali merupakan sebuah hitungan peluang
tersendiri. Kita patut meliriknya dan memikir-kan-nya.