Seorang teman bercerita tentang pengalaman-nya kena tipu
disebuah mall. Alkisah ia sedang cuci mata disebuah department store terkenal.
Tiba-tiba seseorang menyapa dengan bahasa Inggris. Ia menoleh dan seorang yang
mirip dengan warga keturunan India mengatakan bahwa ia terkesima karena melihat
wajah teman saya yang menurutnya sangat beruntung alias "hoki"
sekali. Awalnya teman saya cuma tersenyum. Siapa sih yang tidak mau dipuji
dengan pujian bahwa dirinya punya peluang "hoki" yang sangat besar.
Lalu sang warga negara asing melakukan sulap untuk meyakinkan teman saya. Yaitu
dengan cara menebak nama istri dan anaknya. Tebakan tepat 100%. Teman saya
dikatakan akan mendapat rejeki besar dalam 3 hari. Supaya rejeki tidak lari,
teman saya dikasih doa dalam coretan yang tidak dimengertinya. Dan diminta
uang. Teman saya akhirnya kena memberi uang 500 ribu. Jimat dari orang itu
ditaruhnya didalam dompet, dan ia dengan setia menunggu rejeki nomplok dalam 3
hari. Apa yang terjadi duit hilang dan rejeki tidak pernah datang.
Ketika cerita itu digelar dalam sebuah acara makan siang
bersama beberapa teman. Kami semuanya tertawa terbahak-bahak. Seorang teman
menyebutnya sebagai sebuah nujum jalanan. Teman lain menyebutnya sebagai sulap
tipu. Tawa kami mulai berhenti, ketika salah satu teman kami dengan serius
mengatakan bahwa situasi Indonesia saat ini juga mirip nujum jalanan. Lalu kami
semuanya dengan seksama menyimak. Teman ini berkata bahwa pemilu tahun 1999 -
tingkat partisipasi pemilih sangat tinggi 92,74%. Rakyat benar-benar menikmati semangat
reformasi. Dan penuh harapan bahwa bangsa dan negara akan berubah. Ada
kepercayaan yang sangat tinggi. Mirip teman saya yang kena tipu. Ia dengan
setia dan cemas menunggu selama 3 hari untuk rejeki nomplok. Setelah 3 hari
lewat teman saya masih juga menunggu. Seminggu lewat. Sebulan lewat. Lalu iapun
kecewa, marah dan menyobek jimat yang dibelinya 500 ribu itu.
Sama dengan rakyat Indonesia, mereka juga menunggu. Namun
rasa kecewa mulai meresap, ketika apa yang ditunggu tidak datang. Maka
partisipasi pemilu 5 tahun berikutnya merosot menjadi 84,07% ditahun 2004. Kekecewaan itu berlanjut
terus, rakyat mulai bosan menunggu dan menjadi apatis. Tahun 2009, jumlah
pemilih tinggal 71%. Tahun 2014 ada rasa kuatir yang dalam bahwa partisipasi
pemilih dalam pemilu bisa turun dibawah 70% atau hanya mendekati 50%. Hal ini
sudah terbukti dengan tingkat partisipasi yang rendah di berbagai daerah saat
pilkada ditahun 2013. Tingkat partisipasi pemilu hanya tinggal 50% - 70%.
Rakyat jelas menjadi malas, dan apatis. Prestasi reformasi selama 15 tahun
lebih jelas sangat mengecewakan. Negara penuh dengan skandal dan kasus korupsi.
Maka dalam pemilu tahun depan kita harus punya harapan baru.
Kita harus punya perhitungan yang baru. Kita tidak lagi bisa terjerumus menjadi
korban nujum jalanan ala partai politik. Kita butuh terobosan baru. Kita butuh
ide gila.
Salah satu teman kami yang bisnisnya dibidang IT,
mengungkapkan sebuah model berpikir. Bayangkan komputer anda berjalan dengan
sangat lambat dan terus menerus mogok dan macet. Apa yang kita perbuat ?
Sederhana - Reboot - ! Komputer di matikan dan kita nyalakan ulang. Biasanya
ketika mau start, ketika komputer mendapat koneksi internet, secara otomotis
komputer akan meng-upgrade piranti lunak alias software terbaru untuk mencegah
komputer macet dan mogok. Dan teman saya mengutip kalimat dari filsuf Swedia Søren
Aabye Kierkegaard yang hidup diabad ke 19, " Life can only be understood backwards, but it must be lived
forward." Artinya apa yang telah terjadi setelah tahun 1999 sebaiknya
hanya dijadikan sebuah pelajaran. Tapi tujuan kita setelah tahun 2019 alias 20
tahun setelah reformasi adalah tujuan hidup bangsa ini yang sesungguhnya. Teman
kami menyarankan kita membuat sebuah sayembara nasional - Visi Indonesia 2020.
Setiap kontestan pemilu harus menyampaikan kepada rakyat dokumen perencanaan
Visi Indonesia 2020, lengkap dengan tujuan dan rencana kerja. Calon pemimpin
nasional yang tidak memiliki visi itu jangan dicoblos. Titik. Habis perkara !
Memang gila sih ! Tapi saya setuju banget. Saya pikir kita
tidak punya waktu lagi. Indonesia harus bergerak sangat cepat, kalau tidak kita
akan ketinggalan momentum dan juga kesempatan. Setelah ASEAN menjadi satu
kawasan terintegrasi tahun 2016, Indonesia cuma punya dua pilihan. Memimpin
didepan. Atau hanya ikut-ikutan dibelakang.
Lalu bagaimana dengan korupsi ? Teman lain, punya ide gila
juga. Dia menyarankan kita bikin gerakan "ZERO TOLERANCE CORUPTION",
artinya nol korupsi. Partai politik harus bikin kontrak anti korupsi di media
massa satu halaman. Kontraknya sederhana. Andaikata mereka menang pemilu dan
lalu berkuasa. Terus dalam perjalanannya ada kader partai yang terbukti
korupsi, maka partai tersebut harus sukarela mundur dan membubarkan
pemerintahan lalu dalam waktu 90 hari melakukan pemilu baru. Gila bener ide
ini. Tapi masuk akal. Partai politik yang tidak serius dan tidak berani membuat
kontrak anti korupsi ini, jangan dicoblos ditahun 2014. Selesai. Habis perkara,
dan tanpa kompromi.
Memang gila tapi kalau ada pemimpin yang serius mau memimpin
dengan bersih, jujur, dan peduli, maka 2 syarat diatas bukanlah sebuah syarat
yang tidak mungkin. Masuk akal dan pas menurut teman-teman kami.
Minggu lalu ketika saya menengok guru spiritual saya, Mpu
Peniti, dan kami berdiskusi soal dan hal yang sama. Beliau punya teori yang
cukup unik. Kata beliau, "Hanya maaf dan cinta yang bisa menyelamatkan
bangsa dan negara ini". Tahun 1998 dan tahun 1999 kita melampiaskan sekian
banyak amarah dan keputus-asa-an. Ketika ada kesempatan untuk berubah, kita
tidak mengisinya dengan maaf dan cinta. Ibarat naik komedi putar, yang kita
lakukan ada berebut naik diputaran berikutnya. Gantian giliran naik, itu
istilah Mpu Peniti. Yang dulunya ngak kebagian naik komedi putar, berebut naik
dan mencoba komedi putar. Lalu kita berputar dan mabuk. Maka kita pun gantian
korupsi. Masa sih yang kaya hanya yang dulu berkuasa ? Kita juga ingin
berkuasa, menikmati kekuasaan, dan menggunakan kekuasaan untuk kaya raya. Jadi
jangan heran kalau tiap hari ada berita korupsi di koran.
Tapi 20 tahun rasanya cukup sudah. Satu generasi lewat.
Saatnya kita menggunakan maaf. Bukan amarah. Bukan nafsu. Dan bukan serakah.
Itu teori Mpu Peniti. Kita harus berani legowo. Menyerah dan kembali hidup
benar. Maka menurut Mpu Peniti, tahun 2014, kita hanya butuh pemimpin yang
peduli. Yang mau dengan rasa cintanya yang sepenuhnya utuh, memimpin bangsa dan
negara ini. Pemimpin yang cinta Indonesia dan rakyatknya 100%.
Bila saya sambungkan teori teman-teman saya dan teori Mpu
Peniti, rasanya sangat klop. Kita harus re-boot komputer kita dan negara kita
dengan meng-up-gradenya dengan cita-cita yang baru dan visi yang baru. Maka
pemimpin yang hanya bercita-cita ingin gantian naik komedi puter, dengan rendah
hati kita minta mereka agar mundur dengan kesatria. Memberikan kesempatan
kepada pemimpin lain, yang punya semangat, yang punya keberanian dan tahu apa
yang harus dibuatnya untuk mensejahterakan bangsa. Pemimpin yang punya Visi
Indonesia 2020 yang cemerlang.
Kedua pemimpin yang harus memimpin kita tahun 2014 adalah
pemimpin yang cinta tanah air dan bangsa Indonesia. Yang berani menandatangi
kontrak anti korupsi dihadapan seluruh bangsa. Pemimpin yang serius ingin
mengubah nasib Indonesia. Nah, pemimpin yang setengah-setengah, sebaiknya
menyerah dan legowo mundur. Bagi anda yang skeptis membaca artikel ini, dan
mengatakan tidak mungkin. Saya setuju. Namanya ide gila. Dan ditengah kegilaan
yang ada, apabila kita tidak ingin Indonesia merosot lebih jauh. Rasanya ide
gila diatas, masuk akal juga. Karena kita memang butuh terobosan. Kita
bertanggung jawab untuk menyelamatkan Indonesia.
No comments:
Post a Comment