Bulan Ramadhan yang lalu, Mpu Peniti mentor saya, titip agar
saya membeli sebungkus garam buat beliau. Mulanya saya garuk garuk kepala
terheran-heran. Buat apa sebungkus garam. Beliau cuma tertawa, dan menjawab
singkat - "Buat masak makanan buka puasa". Maka 2 jam sebelum puasa
saya sudah tiba dirumah Mpu Peniti dengan sebungkus garam. Beliau gembira betul
melihat saya membawa sebungkus garam pesanan beliau. Garam tersebut dibawanya
ke dapur, dan Mpu Peniti sibuk memasak.
Saya menunggu diteras belakang. Sehabis sholat setelah bedug
berbuka puasa, Mpu Peniti mengajak saya makan. Menunya sangat sederhana. Nasi
putih, tahu dan tempe goreng, serta tumis kangkung. Entah kenapa saya seperti
tersihir, makan dengan sangat lahap. Rasanya enak luar biasa. Sebuah pengalaman
yang sangat magis. Awalnya saya pikir saya dikerjai Mpu Peniti. Tapi ternyata
tidak. Sehabis makan beliau baru cerita. Bahwa nasi tadi ditanak dengan air
kelapa dan dibubuhi sedikit garam supaya gurih. Sedangkan tahu dan tempe
sebelum digoreng direndam di-air garam dan bawang putih. Dan tumis kangkung
ditumis dengan cabe, bawang merah, dan garam. Tapi mengapa bisa begitu enak ?
Mpu Peniti hanya tertawa terkekeh-kekeh. Karena resepnya memang sangat rahasia.
Pada akhirnya beliau
bertutur juga. Tentang pelajaran hidup yang beliau ingin turunkan kepada saya.
Maka berceritalah beliau tentang budaya prihatin. Beliau menasehati saya agar
selalu hidup prihatin. Menurut Mpu Peniti, prihatin bukanlah artinya kita harus
menyiksa diri kita. Hidup serba susah. Pertama-tama Prihatin lebih kepada alam
pikir kita. Sebuah "state of mind". Bahwa kita dalam kepekaan
berpikir. Sehingga panca indera kita menjadi lebih tajam dan fokus. Dalam hal
ini Mpu Peniti mencontohkan nasi yang ditanak dengan campuran air kelapa dan
garam. Betapa sering kita mengabaikan nasi. Yang kita pentingkan selalu adalah
lauk-nya. Kita sering menganggap nasi apa adanya. Tetapi ketika nasi ditanak
dengan resep khusus bersama air kelapa dan garam, maka nasi yang tidak pernah
kita anggap malah menjadi kelezatan tersendiri. Nasi tampil menjadi yang utama.
Garam mirip dengan prihatin. Ketika hidup ini menjadi sedemikian hambar, maka
prihatin menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa.
Bayangkan anda berada disebuah ruangan. Lalu anda menyetel
musik sekeras-kerasnya. Maka bukan kemerduan dan keindahan musik yang anda
dengarkan, melainkan suara yang sangat bising yang membuat anda sangat
terganggu. Tetapi bilamana anda turunkan suaranya hingga ketingkat yang pas,
maka yang terdengar adalah suara musik yang sangat indah. Konsep prihatin sama
dengan menurunkan suara musik kelevel yang bisa kita nikmati. Bilamana kita
telah terlatih dengan gaya hidup prihatin maka apresiasi kita terhadap
kesenangan, kebahagian, dan kepuasan menjadi berlipat ganda. Ibaratnya kita
sudah terbiasa makan sangat sederhana, suatu hari kita dijamu dengan makanan
mewah. Maka kepuasan dan kebahagian kita akan menjadi luar biasa. Tetapi
bilamana kita sudah terbiasa makan mewah setiap hari maka kita menjadi mati
rasa. Kebal ! Tingkat kepuasan dan kebahagian kita menjadi susah dijangkau.
Maka dengan menambahkan sedikit garam saja kepada sang nasi,
Mpu Peniti berhasil mengubah nasi yang sangat sederhana menjadi sebuah hidangan
spektakuler. Prihatin justru menjadi alat kreatif untuk menyetel kebahagian
hidup kita. Prihatin justru membantu kita untuk lebih bahagia, lebih puas dan
lebih menghargai hidup.
Peranan garam dalam masakan kedua, yaitu tahu dan tempe
goreng punya makna tersendiri, tutur Mpu Peniti. Merendam tahu dan tempe dengan
rempah-rempah bawang putih, sebenarnya sudah merupakan ksebuah kesempurnaan
tersendiri, tetapi menambahnya dengan garam dalam jumlah yang pas, menjadi
keajaiban teresendiri, buktinya tahu dan tempe goreng menjadi lezat luar biasa.
Hal yang sama dengan budaya prihatin. Bilamana kita sudah terbiasa hidup
prihatin, percaya atau tidak kita akan punya panca indera tambahan. Yaitu kita
menjadi tau diri, terhadap penderitaan orang lain. Ini adalah kualitas pemimpin
yang sangat penting. Apakah pemimpin bisnis atau pemimpin bangsa. Tanpa panca
indera ini, pemimpin akan buta penderitaan terhadap mereka-mereka yang dipimpin-nya.
Teman saya seorang HRD manajer disebuah perusahaan besar.
Sehabis kenaikan BBM, ia mengajukan proposal untuk memperbaiki gaji dan upah
diperusahaan-nya. Kebetulan presiden direktur sudah generasi kedua. Masih muda.
Namun sejak kecil, sudah hidup mewah dan berlimpah. Hingga SMP sekolah di
Singapura. Lalu melanjutkan ke Inggris. Sejak kecil hingga dewasa, hidupnya
dikelilingi pembantu dan supir. Semua kebutuhan-nya selalu dilayani tanpa
terkecuali. Semua permintaan-nya harus ada. Ia tidak pernah sekalipun hidup
susah. Ia tidak tahu artinya menderita. Prihatin tidak ada dalam kamus
hidupnya. Maka ketika ia disodori proposal penyesuaian gaji dan upah, dengan
serta merta ditolaknya. Malah manajer HRD itu dimarahi habis-habisan. Sang
presiden menuduh teman saya ingin kudeta.
Teman saya dengan lesu menceritakan semua pengalaman itu,
dan mengatakan bahwa andaikata proposal itu diberikan kepada ayah sang presiden
direktur, maka situasinya akan sangat berbeda. Proposal itu pasti akan
dipertimbangkan dengan seksama, dan teman saya yakin, bahwa proposal itu akan
dikabulkan minimal sebagian, sesuai dengan kemampuan perusahaan. Bedanya, sang
ayah mulai dari bawah, mulai dari kondisi hidup miskin dan mendirikan
perusahaan. Setelah sukses sang ayah masih menjalankan hidup prihatin. Karena
pernah hidup susah dan menderita, sang ayah sangat mengerti dan menyelami
penderitaan karyawan-nya. Ia punya panca indera itu. Maka prihatin disini
menjadi garam yang melengkapi. Garam yang menciptakan keajaiban.
Buddha mengalami jalan hidup yang sama. Seorang pangeran
yang seumur hidupnya dipenjara oleh kelimpahan dan kemewahan istana. Dan ketika
ia menyamar keluar istana, dan melihat penderitaan rakyat. Ia dengan suka rela
membuka mata hatinya, lalu mengisinya dengan ke-prihatinan. Buddha lalu belajar
hidup prihatin. Meditasi, bertapa dan mencoba memahami penderitaan rakyatnya. Dan
akhirnya Buddha mencapai titik pencerahan tertinggi. Ini adalah kualitas
pemimpin yang semakin langka. Negara dan bangsa membutuhkan pemimpin seperti
ini, yang mau prihatin. Mengerti penderitaan rakyat. Bukan mengejar kesenangan.
Bukan mengejar kekayaan. Dan bukan pula mengejar kesempurnaan citra.
Dalam masakan ketiga, tumis kangkung, garam tidak tampil
didepan. Tetapi dibelakang cabe dan bawang. Prihatin tidak tampil didepan.
Prihatin hanya menjadi pelengkap. Sebuah bekal yang menyempurnakan. Seorang Ibu
yang sepuh, namun sangat kaya raya, pernah mendatangi Mpu Peniti. Uangnya
berlimpah. Anak-anaknya tidak berambisi. Ia bertanya seakan hidupnya kosong.
Tidak memiliki kebahagian sama sekali. Ia sudah mencoba dengan berbuat amal
kemana-mana. Menolong banyak orang. Kenapa ia masih juga belum berbahagia ? Sederhana
kata Mpu Peniti, ia itu ibarat tumis kangkung dengan cabe dan bawang tapi tidak
ada garamnya. Ia menolong orang bukan karena ingin menolong orang itu. Ia ingin
menolong orang semata karena ia ingin punya perasaan bisa dan berkuasa menolong
orang. Ia mengejar pujian dan ucapan terima kasih. Ia ingin punya reputasi
bahwa ia orang baik hati yang menolong orang kemana-mana. Ia tidak menolong
orang karena prihatin. Maka ia tidak akan pernah berbahagia.
Ketika saya bertemu pertama kali dengan Mpu Peniti, saya
berpikir ia mirip dukun ramal. Maka pertama yang saya tanya adalah nasib saya
dimasa mendatang. Apakah saya bisa menjadi "seseorang" dan
"sukses besar". Apakah saya bakal punya segalanya ? Lalu beliau
menjawab dengan cerita tentang Buddha. Konon ketika Buddha selesai meditasi
beliau ditanya apa yang didapat dari meditasi ? Buddha hanya menggeleng.
Tersenyum dan berkata, "Tidak ada". Lalu mengapa Buddha melakukan
meditasi ? Bila ia tidak mendapat apa-apa ? Buddha tersenyum, "Aku
melakukan meditasi, bukan untuk mendapatkan apa-apa, melainkan justru untuk
menghilangkan semua hal-hal yang negatif. Untuk menghilangkan rasa marah,
kegelisahan, cemburu, dengki, rasa takut pada usia tua dan kematian" Dan
barangkali dengan pemikiran revolusioner seperti itu, Mpu Peniti mengajarkan
saya untuk hidup prihatin. Semata agar kebahagian hidup yang kita kejar adalah
kebahagian hakiki yang datang dari kehidupan kita yang sesungguhnya. Bukan dari
sesuatu yang semu karena harta. Tetapi kebahagian yang bisa memberikan nilai
dan martabat hidup.
Sejak itu saya melakukan sejumlah kegiatan usaha, untuk
mencoba sikap prihatin itu. Di Djogdjakarta saya dan beberapa teman melakukan
Gerakan Pelan Indonesia, memberdayakan budaya Jawa - "Alon Alon Maton
Kelakon". Agar kita prihatin dengan kehidupan yang serba cepat. Dan
berusaha pelan. Untuk membuat hidup kita lebih bahagia. Mpu Peniti pernah
menasehati saya, kata beliau, andaikata kita naik mobil dengan sangat cepat,
kita tidak akan pernah menikmati pemandangan disepanjang jalan. Beda apabila
kita menempuhnya dengan berjalan kaki. Maka semua pemandangan akan kita nikmati
dengan luar biasa.
Bersama dengan seorang teman karib, saya membuka sebuah
pusat penyembuhan di Jalan Senopati di Jakarta. Juga karena prihatin bahwa
biaya kesehatan di negara ini sangat tinggi, dan orang harus keluar negeri
untuk sembuh. Berbagai penyakit moderen dalam kehidupan kita yang serba cepat
kebanyakan disebabkan karena gaya hidup yang serba menuntut. Kita kehilangan
panca indera kita yang paling penting. Yaitu prihatin pada sekeliling alam
semesta dan manusia disekeliling kita.
Dan keprihatinan saya yang paling besar, adalah fenomena
cacat sastra yang diderita oleh anak-anak kita. Dimana anak anak kita mampu dan
bisa menggunakan bahasa Indonesia tetapi cacat untuk menggunakan bahasa
Indonesia sebagai sebuah keindahan. Kita tidak lagi menulis surat. Kita tidak
lagi menulis puisi. Cerpen semakin menjadi seni yang hampir punah. Dengan
keprihatinan yang sangat dalam, maka saya mendirikan sebuah penerbitan
"AKOER", yang berjuang untuk menerbitkan buku-buku berkualitas, dan
mendermakan buku-buku itu ke sejumlah perpustakaan diseluruh Indonesia.
Semua usaha ini dilakukan dengan satu sikap. Prihatin. Saya
merugi banyak secara finansial. Namun secara batin, saya merasa sangat kaya.
Prihatin telah menjadi bola kehidupan saya. Yang membuat saya melambung
kemana-mana karena berbenturan dengan berbagai dinding dan lantai yang keras.
Maka dibulan suci Ramadhan ini, biarkan saya bersujud
didepan anda. Mohon maaf lahir dan bathin. Dan doa saya sangat sederhana,
marilah kita menjalani puasa ini dengan 100% prihatin. Dengan kesederhaan yang
suci. Bukan dengan kemewahan dan kemeriahan. Semoga dengan sikap prihatin yang
sama. Bangsa dan negara kita dihantarkan kegerbang kejayaan oleh Tuhan Yang
Maha Esa.
1 comment:
Luar Biasa Inspiratif..Saya suka dengan tulisan2 Bung Kahfi Kurnia.Inspiring
Aan Hunaifi
Post a Comment