Seorang teman wartawan, mengajak saya makan siang. Saya
pikir ia ingin diskusi soal impor hortikultura yang sedang heboh akhir-akhir
ini. Tapi tebakan saya meleset 100%. Saya diajak makan siang disebuah restoran
Jepang yang terkenal mewah dan mahal di Jakarta Pusat. Mulanya saya mengelak
ajakan itu. Karena kalau saya harus membayar, bisa kering kerontang kantong
saya. Sambil tertawa, teman wartawan saya, berkata : "Tenang saja kawan,
sudah saya siapkan pelengkap penderita-nya. Hari yang bayar bukan
sampeyan". Hati saya langsung lega.
Di restoran sudah menunggu 2 lelaki setengah baya.
Pakaian-nya sama sekali tidak perlente. Yang satu berbatik lengan panjang. Yang
satu lagi berbatik lengan pendek. Satu hal yang sama, keduanya memakai jam
Rolex yang cukup mahal. Kami-pun makan sambil bicara kecil. Awalnya dari
kemacetan Jakarta, lalu perlahan sampai ke skandal politik. Mulai-lah mereka
memperkenalkan profesi mereka. Yaitu sesuatu yang masih asing ditelinga kita
tetapi sudah semakin sering kita jumpai. Mereka adalah pelobi politik. Tugas
mereka adalah makelar akses politik. Siapa yang butuh akses mereka menyiapkan.
Mereka berdua dengan tegas mengatakan bahwa mereka bukan kacung politik
siapa-pun. Argumen mereka adalah mereka bukan tukang ngumpulin duit buat
pejabat dan atau partai tertentu. Karena banyak orang saat ini hanya bertindak
sebagai pengumpul dana dengan menjual akses politik dan juga obyek berupa
proyek-proyek di berbagai kementrian. Dan juga bukan menjual kouta proyek
diberbagai kementrian. Penghasilan mereka mungkin tidak fantastis dan cukup
menjanjikan.
Hanya saja, memang kemampuan mereka masih sangat terbatas.
Hanya sebatas menjual akses. Profesi pelobi politik, di Indonesia bakal semakin
marak. Maklum dana partai di Indonesia sangat miskin. Sedangkan korupsi
hukumnya haram. Di negara-negara maju, pelobi politik punya bisnis resmi.
Mereka seperti layaknya konsultan, membantu perusahaan, agar
kebijakan-kebijakan pemerintah tidak merugikan bisnis mereka. Di Indonesia,
pelobi politik kita yang jumlahnya sangat terbatas, masih belum punya kapasitas
seperti itu. Walaupun demekian penghasilan mereka sudah ratusan juta tiap
bulan-nya.
Dari soal lobi politik akhirnya kami bicara soal skandal
politik dan perempuan. Iseng saya tanya 2 teman pelobi politik ini soal kenapa
perempuan selalu muncul dalam setiap skandal politik. Teman yang berbaju batik
lengan pendek, menjawab dengan sebuah analisa populer. Menurut beliau, ini
adalah mitos warisan yang sangat tua. Sederhana, hanya raja yang memiliki ratu
paling cantik. Hanya jagoan seperti James Bond yang punya cewe paling cantik.
Jadi seperti ada rumus, bahwa yang paling jago, yang paling nomer satu, dan
yang paling berkuasa, yang mendapatkan perempuan paling cantik. Jangan heran,
kata teman saya pelobi politik ini, bahwa perempuan cantik ibarat perangko
kekuasaan politik.
Siang itu makan siang kami bertambah riuh. Mereka menawarkan
kepada saya, akses politik. Kata mereka siapa tahu, tahun depan ketika bursa
politik memanas, saya juga butuh pelobi politik buat klien-klien saya. Maka
kami-pun saling bertukar kartu nama. Ketika kami hampir berpisah, teman pelobi
politik saya menawarkan makan siang lanjutan. Beliau berbisik ketelinga saya;
"Minggu depan saya kenalkan mas Kafi dengan kelompok arisan Ibu-ibu".
Saya cuma senyum-senyum saja sambil menganggukan kepala.
Seminggu lewat. Saya mulai melupakan janji teman saya itu.
Namun kurang lebih 10 hari, masuk pesan singkat, "Mas Kafi besok
arisan-nya jadi". Esok harinya saya bertemu teman saya, sang pelobi
politik disebuah restoran di Jakarta Selatan. Teman saya datang dengan seorang
perempuan muda. Kami berkenalan. Sebut saja sang perempuan muda namanya Ina.
Wajahnya cantik. Masih belia. Paling banter usianya sekitar 22 - 24 tahun.
Rambutnya panjang. Make-upnya halus dan tidak seronok. Tubuhnya sintal. Sangat
menawan. Kami ngobrol basa-basi. Ina hanya diam saja. Kadang kadang ia hanya
mesem kalau kebetulan obrolan kami mengena di hatinya. Kurang 20 menit
kemudian, Ina berdiri dan pamit. Kata teman saya, sang pelobi politik, Ina permisi
mau berangkat kuliah. Teman saya, sang pelobi politik, bisa membaca kekecewaan
saya. Sambil tertawa kecil, beliau berbisik bahwa arisan yang sesungguhnya
belum dimulai. Menurut teman saya, Ina dalam istilah gaul mereka cuma "free-lance"
biasa. Mirip fenomena Maharani yang belum lama ini heboh di media.
Hampir 30 menit kemudian, sekelompok perempuan muda mulai berdatangan
satu demi satu, dan mulai mengisi meja panjang tak jauh dari meja kami. Mereka
merokok dengan santai, dan mulai riuh rendah bercengkrama, saling tertawa-tawa.
Apa yang mereka bicarakan tidak pernah jelas. Pokoknya seru banget. Ketika meja
penuh kurang lebih ada selusin perempuan muda yang melakukan arisan. Usia
mereka sudah diatas 30'an. Kelihatan bahwa mereka datang dari golongan sangat
mapan. Lihat saja merek tas, sepatu, baju dan arloji yang mereka kenakan. Semuanya
bermerek kelas atas. Rambut mereka semua tertata rapi. Berlainan dengan
kelompok Ibu-ibu arisan yang sering saya lihat, hampir semuanya berpakaian
sangat sensual. Mulai dari rok mini hingga pakaian ketat. Dan memang hampir
sebagian dari mereka tidak mengenakan cincin kawin. Sebuah observasi yang saya
pelajari secara naluri ketika menghadapi perempuan. Kulit mereka terlihat
sangat terawat. Make-up mereka biarpun terlihat sangat berkelas namun jelas
sekali ditujukan untuk pamer. Berlainan dengan make-up Ina tadi. Kata guru
pemasaran saya, jelas benar ada usaha menjual.
Teman saya memberi isyarat agar saya sabar. Kami berdua
makan dan bicara hampir dua jam. Selesai arisan ibu-ibu itu, salah satunya
kemudian datang dan menghampiri meja kami. Ia memperkenalkan diri, namanya
Sasha (bukan nama sebenarnya). Nama beken dia adalah "Angel". Dan
diatas payu daranya sebelah kiri, ada tato bidadari bersayap. Sasha berusia
dipertengahan 30. Tubuhnya tinggi ramping. Rambutnya sebahu. Ia berpakaian
sangat sensual. Lalu kami mulai saling menukar cerita. Sasha tanpa malu-malu
bercerita bahwa ia janda dengan satu anak. Sasha mengaku ia dulunya sangat
emosional. Begitu selesai SMA, ia berpacaran, dan orang tuanya menolak
pacarnya. Sasha nekat dan kemudian kawin lari. Sehabis menikah dan punya anak,
ia selalu ribut dengan suaminya. Tidak tahan akhirnya ia nekad kabur kedua
kalinya. Ia lalu kerja kesana kemari. Mulai dari sekretaris, sampai menjual
asuransi. Gajinya tidak pernah cukup. Pernah sekali anaknya sakit, dan ia ingin
meminjam uang dari perusahaan. Bukan pinjaman yang ditawarkan ke Sasha, tetapi
ia diajak kencan sama bos-nya. Nasibnya selalu demikian. Kemanapun ia pergi
bekerja, selalu saja bosnya merayu dirinya. Semua mengajaknya kencan. Mulanya
ia berpikir dunia ini sudah bejat. Dan ia merasa terkutuk punya paras yang
cantik dan tubuh yang sensual.
Sampai suatu hari ia akhirnya tanpa sengaja bertemu dengan
kakak kelasnya di SMA. Yang punya nasib serupa. Mereka saling curhat. Dan kakak
kelasnya tanpa tedeng aling-aling bercerita bahwa profesi dirinya adalah
"perempuan profesional". Begitu istilahnya. Kakak kelasnya berkata :
" .... biar aje deh, orang menyebut gue pelacur..... tapi gue adalah
perempuan yang mampu membahagiakan dan membuat senang setiap lelaki. Berapa
banyak sih perempuan yang mahir dan jago bikin lelaki senang ? Itu bukan hal
yang gampang. Gue ngak bangga ... tapi biarkan gue jadi pelacur" Itu
kalimat yang tidak pernah dilupakan Sasha.
Sejak itu Sasha belajar ilmu membahagiakan lelaki dan seni
membuat lelaki senang. Ia jadi telaten merawat tubuhnya. Penghasilannya diatas
100 juta sebulan. Sasha sangat mahir dalam memijat. Ia tahu caranya memanjakan
lelaki. Menurut Sasha, 90 persen klien-nya, tidak mencari kepuasan sex. Tetapi
lelaki yang ingin dimanjakan, lelaki yang merindukan keintiman, dan lelaki yang
ingin dihargai dan dilayani. Dan lelaki yang ingin diperlakukan dengan penuh
kelembutan. Han Suyin - seorang dokter dan novelis terkenal pernah menulis, - "There is nothing stronger in the world than gentleness."
Kelembutan yang intim itu seringkali menjadi senjata setiap perempuan untuk
meruntuhkan tembok keangkuhan lelaki manapun didunia ini. Tanpa terkecuali. Itu
adalah kekuatan yang paling dahsyat dimuka bumi ini.
Sasha berkata kepada saya, bahwa ia
tidak ingin selamanya seperti ini. Paling lama hanya 10 tahun lagi. Sasha
percaya bahwa dalam 10 tahun itu ia akan bertemu dengan seorang klien, yang
mungkin akan jatuh cinta padanya, lalu mereka akan menikah. Sasha sangat
percaya pada suratan seperti ini. Sambil tertawa ia memperlihatkan telapak
tangannya, "Kayaknya sudah tergambar sejak saya lahir"
No comments:
Post a Comment