Sunday, September 19, 2010

JATUH MISKIN (BAGIAN KE DUA - VERA BERCERAI)



Setahun yang lalu, saya menulis sebuah artikel tentang teman kuliah saya Vera di Hongkong, yang jatuh bangkrut. Dua minggu yang lalu, ketika saya bertugas di Hongkong, saya dan Vera kembali bertemu dan sempat menikmati dim-sum. Wajahnya tidak berubah. Ia Nampak lebih santai. Hanya saja wajahnya terlihat sangat letih. Vera mengungkapkan bahwa sejak setahun yang lalu, nasibnya belum berubah. Malah situasinya makin memburuk.

Alkisah, suatu hari ketika suaminya pulang kerja, sang suami bercerita bahwa ia merasa hidupnya sangat membosankan. Ia ingin melakukan sejumlah hal-hal baru. Vera mulanya tersenyum, menganggap hal yang biasa bahwa suaminya mengalami sindroma yang populer disebut dengan “mid-life crisis”. Vera dengan supportif menganggap hal itu positif. Dengan situasi Vera yang tidak lagi sesibuk dahulu, Vera merasa bahwa ungkapan hati suaminya, akan menjadi tantangan hidup baru mereka berdua. Vera siap untuk berpartner dengan suaminya melakukan hal-hal yang baru. Vera berpikir mungkin inilah jalan yang ditunjukan oleh Tuhan.

Tebakan Vera sayangnya meleset semua. Suaminya minta cerai. Dengan alas an paling klasik didunia. Hidup ini membosankan dan suaminya ingin petualangan baru. Hati Vera hancur remuk redam. Bagaikan tertimpa halilintar dan palu godam terberat didunia. Ia merasakan persis seperti dikatakan pepatah. Sudah jatuh dan tertimpa tangga pula. Sakit bukan main. Tak lama kemudian Vera mengaku, merubah hidupnya seperti kebiasaan orang yang gagal. Secara naluri ia menghancurkan dirinya sendiri. Ia merokok. Ia mabuk-mabuk-kan. Dan diujung titik krisis yang terendah, Vera mencoba bunuh diri. Satu botol obat tidur diminum Vera. Tuhan masih berkendak lain. Vera dilarikan kerumah sakit dan selamat.

Kini Vera dalam proses bercerai dengan suaminya. Ia sedang mencari apartemen baru, dan mempersiapkan sebuah kehidupan yang harus dijalani-nya sendiri. Yang membuat Vera geram, adalah kenyataan hidup ini yang sangat tidak adil. Suaminya yang paruh baya, jatuh cinta dengan gadis muda belia. Dan gadis itu minta kepada suaminya untuk menceraikan Vera. Maka suaminya bertingkah dan dengan mudahnya meminta cerai. 20 puluh tahun lebih perkawinan mereka menjadi tidak berarti. Vera yang mendekati usia paruh baya, merasa dirinya tidak lagi cantik dan sumringah, merasa dirinya tidak memiliki kesempatan yang sama dengan suaminya. Vera dengan sengit mengumbar rasa keadilan ini. Saya sempat tertawa, ketika Vera bercerita bahwa selama 20 tahun lebih perkawinannya, ia selalu setia. Tidak pernah sekalipun membiarkan hati dan perasaan-nya berpaling. Padahal sebagai salah satu direktur pemasaran sebuah private investment company di Hongkong, betapa banyak klien yang kaya raya, menggodanya dan mengajaknya berselingkuh. Vera menyesal. Vera mengatakan kepada saya, ia seharusnya lebih genit dan menggunakan kesempatan itu untuk sesekali meladeni rayuan-rayuan yang dating kepadanya. Vera merasa semuanya terlambat. Itu yang membuat Vera putus asa.

Ketika dirawat dirumah sakit, Vera kedatangan paman yang kebetulan berasal dari suaminya. Sang paman sangat bersimpati dengan Vera. Setahun yang lalu, sang paman yang sama, memberikan semangat dan motivasi ketika Vera baru saja di PHK. Ia mengajarkan sebuah filosofi tentang kehidupan lewat ritual menyeduh teh. Kata sang paman survival hidup kita mirip ritual minum teh. Persiapan dan waktu adalah kunci strategi hidup. Dan untuk menikmati kebahagian hidup, ibarat kita ingin teh yang kental atau encer - kita tinggal mengatur jumlah daun kehidupan yang mau kita seduh. Hidup sesungguhnya sesederhana itu. Tidak lebih dan tidak kurang.

Usai bertemu dengan sang paman setahun yang lalu, Vera sempat menata seluruh keuangan-nya. Belajar hidup dengan lebih sederhana, dan menikmati kebahagian lewat hal-hal kecil. Vera mencoba belajar sebanyak-banyaknya lewat filosofi menyeduh teh yang diajarkan sang paman. Itu sebabnya ketika suaminya meminta mereka bercerai, Vera bercerita bahwa satu-satunya hal yang paling siap, adalah keuangan Vera. Ia siap mandiri. Vera sangat bersyukur bertemu dengan sang paman.

Kali ini, sang paman mengajarkan hal yang berbeda. Sesuatu yang terbalik. Sang paman mengajarkan Vera untuk marah. Vera harus bangun, marah dan melawan. Jangan biarkan kehidupan ini mengalahkan kita, begitu kata sang paman. Barangkali anda akan menganggapnya sangat aneh. Nasehat yang mengajarkan kita untuk marah. Apalagi ditengah kemelut kehidupan yang semakin menjerumuskan kita kejurang stress, konon sering marah-marah, bukanlah pertanda yang baik. Berbahaya bagi kesehatan. Begitu cerita kebanyakan orang. Tapi mungkin sang paman benar juga. Saya ingat buku Stanley Bing - “Sun Tzu was a sissy”. Stanley Bing, yang berkerja sebagai kolumnis di majalah Fortune, memang gemar menulis sejumlah buku yang kontroversial.

Menurut Bing, marah itu sangat diperlukan dalam kehidupan kita. Seorang pemimpin yang marah, artinya ia terusik dan gusar oleh sesuatu hal. Sekaligus membuktikan bahwa pemimpin itu eling, atau sadar karena ada sesuatu yang tidak beres dan perlu dikoreksi. Pemimpin yang tidak pernah marah, sama dengan pemimpin acuh tak acuh. Itu menurut Bing. Lalu, kalau seorang pemimpin marah, ia butuh emosi yang dahsyat. Marah membangkitkan enerji yang luar biasa. Pemimpin yang marah, biasanya segera melakukan perubahan, peremajaan, dan perbaikan. Artinya pemimpin marah memungkinkan terjadinya perubahan yang lebih cepat dan berarti.

Dalam hal yang satu ini, saya rada setuju. Kita kan sering melihat betapa pemimpin kita kerjanya cuma basa-basi, klemar – klemer, tidak menciptakan gebrakan apa-apa. Yang kita takuti adalah pemimpin yang pemarah, atau marah-marah tanpa sebab. Ini yang berbahaya. Barangkali salah satu pemimpin kita yang legendaris dalam hal marah ini, adalah Bang Ali, bekas gubernur Jakarta dulu. Konon pernah ada cerita, beliau sedang naik mobil, dan jalanan macet semrawut, gara-gara tukang beca yang se-enaknya saja mengendarai becaknya. Lanjut cerita Bang Ali, tidak segan-segan turun dan memarahi tukang beca tersebut. Disamping cerita marahnya Bang Ali tadi, masih banyak lagi kata orang cerita lain tentang marahnya Bang Ali. Dan kenyataan-nya memang begitu, dibawah kepemimpinan Bang Ali, Jakarta terbukti maju pesat luar biasa. Jadi teori Stanley Bing ada benarnya juga.

Dr. Stephen Diamond, menulis didalam bukunya yang sangat kontroversial, “Anger, Madness, and Daimonic : The Psychological Genesis of Violence, Evil, and Creativity” bahwa marah adalah emosi yang paling bermasalah. Namun percaya tidak ada korelasi yang sangat kuat antara marah dan kreatifitas. Menurutnya marah dan kreatifitas seringkali bersumber pada hal yang sama. Hanya saja marah memiliki potensi destruktif yang jauh lebih besar. Orang-orang yang berbakat dan jenius, umumnya memiliki naluri yang sangat tajam untuk menyalurkan enerji ini, agar tidak merusak dan merubahnya menjadi sebuah upaya yang konstruktif.

Ketika kita dilanda krisis moneter tahun 1998 yang lalu, teman saya berseloroh, katanya kita butuh pemimpin seperti Bang Ali, pemimpin yang berani marah. Tapi jangan pemimpin, yang mudah marah dan ngambek. Atau pemimpin yang suka marah-marah tidak keruan. Katanya itu pemimpin sewot. Dr. Stephen Diamond menulis lebih lanjut, bahwa beberapa artis seperti Van Gough, dan Picasso konon dikenal memiliki kehidupan yang penuh amarah dan kekerasan. Barangkali benar pula kalau enerji yang sama disalurkan mereka kedalam sebagian karya-karya lukisan mereka pula. Hasilnya memang luar biasa. Lukisan mereka sangat spektakuler.

Untuk membuat se-ekor kuda berlari, biasanya ada 2 cara populer. Lewat cemeti, atau hadiah wortel. Menurut Stanley Bing, marah bisa menjadi cemeti yang kreatif. Marah sebagai terapi kehidupan, memang anti-budaya. Budaya kita terkenal untuk mengajarkan kita agar selalu santun, dan bersabar. Namun untuk menerobos sebuah kemapanan yang buntu dan berkarat, marah bisa saja menjadi anti-budaya yang dibenarkan. Asal jangan saja asal marah. Marahlah dengan bijaksana.

Usai acara dim-sum kami, Vera mengaku ia kini punya sejumlah kemarahan yang terpendam. Hanya saja ia belum tahu bagaimana merubahnya menjadi sebuah kekuatan kreatif. Bagi Vera, ia merasakan hidupnya tidak lagi sebuah kanvas besar yang kosong. Kini ia punya sejumlah coretan dan warna. Walaupun warna dan coretan itu belum menjadi komposisi terbaiknya. Vera berjanji akan tetap maju dan melawan. Itu semangat Vera. Dalam perjalanan pulang dari Hongkong, dipesawat saya menonton film aksi, “Street Fighter – The Legend of Chun Li”. Ada sebuah dialog yang menggugah saya, “kadang kita harus tegar dan berusaha bangkit …… walaupun posisi kita untuk berdiri saja begitu menyulitkan dan begitu menyakitkan”. Vera memang harus marah dan bangkit.

No comments: