Saturday, September 19, 2009

VERA JATUH MISKIN !!



Vera (bukan nama yang sebenarnya), adalah teman kuliah saya di Sydney dahulu. Kami bertemu saat kuliah akuntansi dan perbankan. Vera berasal dari keluarga pengungsi Vietnam, yang kemudian berimigrasi ke Australia. Ia bersama keluarganya termasuk yang beruntung. Sempat mengungsi dari Vietnam tepat waktu. Sehingga sekeluarga terselamatkan. Vera sempat belajar bahasa Indonesia, ketika ia dan keluarganya sempat tinggal di Pulau Galang sebagai pengungsi.

Cerita tentang Vera termasuk klasik. Bagaimana mereka sekeluarga berjuang mati-mati-an keluar dari Vietnam, dan memulai hidup mereka dari nol di Sydney, Australia. Keluarga Vera terdiri dari 4 puteri dan 1 putera. Apa-pun dikerjakan mereka demi “survival” keluarga. Pernah sekali mereka punya warung “pho” di China Town – Sydney. Dengan keuletan yang sangat luar biasa, semua anak kuliah sambil bekerja. Kurang dari sepuluh tahun, mereka berhasil membeli sebuah rumah yang cukup besar.

Vera dan saya berpisah usai kuliah. Tahun 1990’an saya bertemu Vera kembali di Hongkong. Ia baru saja menikah, dan membeli sebuah apartemen yang cukup mewah. Saya ingat betul, Vera dan suaminya mengajak saya ke klenteng Wong Tai Sin, pada sebuah hari Minggu yang sangat cerah. Mereka ingin beribadah mengucap syukur, karena berhasil membeli apartemen yang mereka anggap sangat “hoki” dan beruntung. Klenteng Wong Tai Sin adalah klenteng yang paling beken seantero Hongkong. Konon kebanyakan orang Hongkong disamping pergi untuk beribadah, mereka juga meramal keberuntungan dengan “fotune sticks” di klenteng yang sama. Percaya atau tidak ramalan “fortune sticks” dari klenteng ini dikenal sangat akurat. Tak heran apabila disamping klenteng ada sebuah gang, yang dipenuhi oleh banyak tukang ramal. Sehingga diberi nama Gang. Tukan Ramal.

Hari itu, suami Vera mengajak saya ke salah satu tukang ramal, dan membuka tabir keberuntungan saya di masa depan. Saya sendiri tidak seutuhnya menganggap ramalan itu serius. Malah kini, saya sendiri sudah lupa tentang ramalan-nya. Yang saya inggat kami pulang dari klenteng, mampir disalah satu restoran dan menikmati dim-sum. Pastinya di hari yang cerah itu, kami bertiga memiliki optimisme yang sangat positif tentang masa depan.

Saya dan Vera lalu sibuk mengarungi hidup kami masing-masing. Setiap kali saya ke Hongkong, selalu saja kehilangan waktu untuk bisa sempat bertemu dengan Vera. Sulitnya Vera sendiri bekerja untuk sebuah “private bank” dan juga super sibuk. Maka lebih dari 15 tahun kami tidak pernah bertemu. Terakhir saya ke Hongkong, Vera menelpon saya. Ia ingin bertemu dan curhat. Mulanya hampir saja pertemuan kami tidak terjadi lagi, karena jadwal saya yang hampir-hampir “impossible”.

Tapi nada Vera agak lain kali ini. Dan ia memaksa kami untuk bertemu. Ketika kami bertemu, garis-garis tua nampak di wajah Vera. Ia terlihat sangat letih. Hanya senyum-nya yang tetap optimis dan sumringah. Vera lalu bercerita, bahwa hidupnya mirip sebuah roller-coaster. Tegang penuh adrenalin. Sialnya, Vera kini berada di akhir perjalanan roller-coaster itu. Ia baru saja di PHK bulan April tahun ini. Bayangkan selama 15 tahun ia mencetak duit sedemekian mudahnya. Komisinya sedemikian tinggi, sehingga ia tidak pernah peduli membayar tagihan kartu kreditnya. Ia membeli baju dan tas, di butik-butik mewah tanpa harus melihat. Pokoknya Vera menerima produk-produk terbaru dari butik, begitu koleksi terbaru tiba. Vera terbang kemana-mana selalu di First Class. Tagihan telpon-nya selalu menghabiskan puluhan juta rupiah. Tugas Vera hanya bergaul dengan kaum jet-set dan mengurus kekayaan mereka. Hidup Vera mirip dengan kehidupan fantasi ala Disneyland. Setiap hari hidupnya diatur oleh sejumlah asisten dan sekretaris. Anaknya bersekolah di salah satu “private school” termahal di Inggris. Lalu suatu hari, semuanya itu berakhir begitu saja.

Vera mengaku minggu pertama setelah PHK, ia hanya sanggup melamun dan bengong. Minggu kedua ia baru merasakan hidup serba canggung. Ia harus belajar kembali menggunakan komputer. Ia harus membiasakan diri membuat reservasi sendiri di restoran. Tidak lagi terbang di First Class, dan belajar menghemat biaya telpon-nya. Bulan kedua ia baru merenung dan sempat berpikir tentang kehidupannya babak demi babak. Dan bulan ketiga ia terkena depresi dan stress yang tinggi. Vera bercerita sangat bingung, hidupnya mirip sebuah kanvas yang sangat luas, putih dan tanpa apa-apa. Ia tidak tahu untuk berbuat apa ? Dan bagaimana caranya mengisi kanvas yang super luas itu. Vera gelisah bukan main.

Entah kenapa, Vera menganggap “surga” mengirimkan bantuan buat dirinya. Alkisah, suatu hari suaminya meminta Vera menengok paman-nya yang sedang sakit. Paman dari suaminya kebetulan adalah seorang Tai-Chi master, yang sangat gemar minum teh. Vera ingat bahwa beberapa bulan sebelum ia di PHK, salah satu klien-nya yang sangat berduit di Shanghai mengirim Vera beberapa keping teh “Pu Erh” yang sangat langka dan mahal sekali.

Teh “Pu Erh” awalnya tidak memiliki apresiasi yang tinggi. Diminum begitu saja, biasanya sangat populer diminum bersama dim-sum atau makan siang. Umumnya dipercaya teh ini mampu menghilangkan lemak dan membantu pencernaan. Menurut ceritanya “Pu Erh” dibuat dari daun teh hijau yang difermentasi dan mengalami proses penuaan, yang bisa mencapai 10 hingga 50 tahun. Konon proses fermentasi tadi adalah salah satu cara mengawetkan teh dijaman dahulu, karena pedagang komoditi pertanian bisa menyebrangi satu benua ke benua lain bertahun-tahun. Teh “Pu Erh” tidak memiliki aroma yang wangi dan menyenangkan, malah sebagian orang menganggap bau-nya “apek”. Dan rasanya sangat “mellow” atau enteng.

Selama 1700 tahun lebih, bangsa Cina mendokumentasikan bahwa teh “Pu-erh” memiliki sejumlah khasiat yang sangat ajaib, dengan kadar antioxidant tinggi. Konon bermanfaat untuk menjaga keseimbangan enerji tubuh, mencegah sejumlah penyakit seperti kanker, jantung, diabetes, dan mampu menghilangkan sejumlah racun. Teh “Pu Erh” juga dipercaya bisa membuat awet muda dan menyeimbangkan tekanan darah.

Paman Vera, tentu saja sangat bergirang hati, ketika di tengok Vera. Apalagi dengan oleh-oleh teh “Pu Erh” yang sangat berkualitas tinggi. Vera diajak kebelakang rumah, dan ditunjukan sebuah gentong tua yang berisi air hujan. Paman Vera selalu rajin menangkap air hujan. Terutama disaat-saat musim badai melanda Hongkong. Air hujan yang murni, konon tidak memiliki kandungan mineral. Mirip air distilasi. Hanya saja, karena datang dari alam, dipercaya memiliki energi atau Qi yang lebih maut.

Menyeduh teh, memerlukan kesempurnaan tekhnik tersendiri. Buat paman Vera, yang menggemari teh secara fanatik, menyeduh teh merupakan seni tersendiri. Beliau menghindari perkakas metal. Mulai dari gentong tempat menyimpan air, gayung air, hingga teko dan tungku, semuanya terdiri dari bahan alami seperti tanah liat dan bambu. Menurut paman Vera, menyeduh teh memerlukan kombinasi sempurna antara koordinasi, waktu dan ketelitian. Teh “Pu Erh” tidak boleh diseduh dengan air panas mendidih. Karena teh akan menjadi pahit dan rasanya menjadi “sepa”. Tempat menyeduh teh sebaiknya dari tanah liat, yang memiliki pori-pori cukup. Aroma dan rasa teh yang tertinggal di pori-pori tanah liat, semakin lama akan memperkuat rasa teh yang diseduh. Kalau kesempurnaan kombinasi ini sudah tercapai, maka rasa dan kenikmatan teh, sisanya tinggal diatur berdasarkan selera. Ingin teh lebih kental, jumlah daun ditambah. Ingin teh lebih encer, jumlah daun teh dikurangi. Sederhana dan sangat mudah.

Vera belajar dari paman-nya sebuah kiat hidup hari itu. Bahwa terciptanya kebahagian hidup, didahului dengan kemahiran menyatukan koordinasi, waktu dan ketelitian. Survival hidup kita ditentukan oleh kombinasi ketiganya. Dan untuk menikmati kebahagian hidup, kental atau encernya - kita tinggal mengatur jumlah daun kehidupan yang mau kita seduh. Usai perjumpaan itu Vera mengaku menemukan ketenangan hidupnya kembali. Kanvas besar hidupnya yang kosong melompong kini mulai terisi. Perlahan dan pasti. Vera belajar dari awal. Boleh saja selama ini Vera ketinggalan jauh sekian tahun. Yang terpenting ia menemukan jalan yang tadinya ia kira telah hilang. Dan saya tahu senyum terakhir yang ia berikan kepada saya, adalah sebuah senyum kebahagiaan yang baru.

1 comment:

Unknown said...

makasih tulisannya bang Kafi, saya jadi merasa punya teman... hahahahaa..