Kata “rijstaffel” secara sederhana artinya hidangan meja. Lalu pada perkembangan-nya, kata sederhana ini berubah arti menjadi sebuah tradisi dan menu klasik kuliner Indonesia, yang kemudian diartikan sebagai makan besar. Karena kalau anda kini memesan menu “rijstaffel” di restoran Oasis, maka akan ada 12 lebih wanita berkebaya yang anggun dan cantik membawa baki-baki makanan dan masakan Indonesia asli untuk ditawarkan dan disajikan kehadapan anda.
Cerita tentang sejarah “rijstaffel” sangat beragam dan cukup simpang siur. Konon cara makan yang cukup mewah ini, pertama kalinya terekam oleh utusan VOC yaitu Rijkloft van Goen yang melihat ritual yang amat mirip dilakukan di-istana Mataram pada saat jaman kejayaan Raja Amangkurat I ( 1646 – 1677 ). Sejarahwan kuliner Ong Hok Ham bercerita kemudian “rijstaffel” diadopsi oleh penguasa kolonial sebagai bagian dari pamer kekuasaan dan pamer kemewahan. Menurut cerita jaman itu “rijstaffel” dijaman Belanda memiliki 60 lauk-pauk yang serba mewah dan megah. Ke 60 lauk-pauk itu diantarkan oleh puluhan pelayan atau jongos (istilah jongos dari bahasa Belanda jongens, artinya anak laki-laki), seakan-akan mereka mengantarkan upeti kepada penguasa. Tradisi ini terus berkembang dan dipertahankan hingga tahun 1930’an. Dalam arsip foto Hotel Savoy Homan circa tahun 1930’an, hidangan “rijstaffel” secara tradisi masih disajikan bersama sejumlah jongos. Jumlah enampuluh ini sudah termasuk sambel-sambelan, acar, krupuk, dan iringan makanan lainnya. Gaya makan seperti ini sudah mulai diperkenalkan kepada orang Belanda dalam perjalanannya ke negeri jajahan ketika mereka menumpang kapal-kapal mewah dari Stoomvaart Maatschappij Nederland dan Rotterdamse Lloyd. Tentu terbatas kepada penumpang-penumpang kelas elit saja!
Barulah kemudian cara makan “rijstaffel” ini di adopsi oleh keluarga elite Chinese mengingat posisi mereka saat itu sebagai perantara antara Belanda dan pribumi. Dan kemudian “rijstaffel” lalu diperkenalkan sebagai sebuah tradisi makan kuliner Indonesia, diberbagai hotel elite diberbagai kota di Indonesia dijaman kolonial Belanda. Beberapa jurnalis asing sempat menulis ritual makan “rijstaffel” dalam pengalaman mereka mengunjungi Hindia Belanda saat itu.
Louis Couperus
Couperus merupakan koresponden khusus untuk Haagse Post. Dari 71 tulisan yang dimuat harian itu untuk edisi 17 Desember 1921 hingga 5 Mei 1923, 41 tulisan dibukukan dalam Oostwaarts (1992, cetakan pertama 1924).
Ia pun menceritakan tentang rijsttafel yang terkenal disamping makan siang ala Eropa yang disajikan hotel. Couperus mengingatkan untuk tidak terlalu banyak mengambil sambal – sambal oelek – yang pedas bagi ukuran orang Eropa.
Sambal itu sebaiknya diletakkan di pinggiran piring dan jangan dicampur : ‘Bermacam-macam , bahkan seringkali dengan bumbu sambal yang banyak kita ambil sedikit saja – awas dengan sambal ulek yang terbuat hanya dari lada Spanyol – lalu letakkan terpisah di pinggir piring Anda’ (hal.129).
Ia mengajarkan cara makan rijsttafel dengan sendok dan garpu. Setiap suap nasi dimakan dengan sedikit ayam, ikan atau daging, disertai sedikit sambal. Setiap suap nasi dinikmati dengan kombinasi lauk yang berganti-ganti karena setiap suap dapat dinikmati rasa yang berbeda
Untuk setiap suap nasi yang anda makan dengan sendok dan garpu, pilihlah lauk ayam, daging atau ikan yang diikuti sambal. Tiap suap nasi dengan kombinasi yang berbeda. Anda coba setiap suap nasi dengan kombinasi itu. Bila anda makan dengan baik, setiap suap memiliki rasa yang berbeda (hal.129).
Augusta de Wit
Demikian halnya Augusta de Wit yang berkunjung ke Jawa pada awal abad ke-20 dalam rangka tugasnya sebagai wartawan Singapore Strait Times yang berpusat di Singapura. Dalam catatan perjalanannya Java: Feiten en Fantasieen (1905).
Setelah menumpang kereta api dari stasiun Tanjung Priok menuju Batavia perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan kereta kuda menuju daerah Rijswijk , sekarang JL. Veteran (hal.11). Seperti halnya para penulis kisah perjalanan Eropa lainnya yang menceritakan rijsttafel : ‘ Tapi dari ini semua hanya satu yang persiapannya menjadi misteri terbesar serta diselenggarakan jam 12 siang yaitu rijsttafel.’ (hal.18).
Ada dua hal yang menarik perhatiannya yaitu pertama, hidangan tersebut disajikan tidak di ruang makan biasa melainkan di bagian belakang (hal.18) Hal berikutnya yaitu para pelayan pribumi yang menghidangkan rijsttafel. Ia tertarik pada pakaian yang dikenakan para pelayan itu. Dengan kaki telanjang, mereka mengenakan pakaian potongan semi Eropa yang dikombinasi dengan sarung dan ikat kepala: ‘hidangan pedas itu disajikan bolak-balik dengan nyaris tak bersuara oleh para pelayan pribumi dengan kaki telanjang serta berpakaian separuh Indis, separuh Eropa.’ (hal.18).
Tentunya aneka hidangan rijsttafel itu sendiri juga menarik perhatian Augusta de Wit. Hidangan utamanya nasi dan ayam. Yang juga dilengkapi dengan aneka lauk pauk yang berupa daging asap, ikan dengan berbagai bumbu kari, saus, acar, telor asin, pisang goreng, dan tak ketinggalan sambal ati ayam. Semuanya diberi bumbu cabai (hal.18-19). Pengalaman yang tak akan terlupakan adalah ketika ia untuk pertama kali mencicipi sambal. Bibirnya langsung gemetar kepedasan. Leher terasa panas seperti terbakar sehingga harus diguyur air. Sementara itu air mata bercucuran.
Saya tak mampu melukiskan apa yang terjadi. Saya hanya dapat mengatakan bahwa saya sangat menderita sekali. Bibirku gemetar karena pedasnya sambal, leher terasa terbakar dan semakin parah ketika harus meneguk segelas air (hal.20).
Untunglah ada seorang pengunjung yang kasihan dan menyarankan agar ia menaruh sedikit garam di lidah. Ia pun menuruti nasihat itu dan tak lama kemudian siksaan itu berakhir. Sambil terengah-engah, ia bersyukur ia masih hidup. Ia pun bersumpah tidak mau mencoba rijsttafel lagi. Namun, ternyata ia melanggar sumpahnya tersebut (hal.20). Setelah menikmati aneka hidangan yang cukup menguras keringat dan air mata, kini giliran menikmati hidangan penutup yaitu nanas, manggis, rambutan, duku. Kemudian para tamu mulai meninggalkan meja untuk ber-siesta hingga pukul empat sore (hal.24). Tentu saja tips bagi para pendatang baru untuk membubuhi garam di lidah bila kepedasan karena sambal ini tidak akan dijumpai dalam arsip pemerintah.
Setelah perang kemerdekaan, konon menurut cerita “rijstaffel” juga disajikan di Istana terutama pada saat jamuan resmi hari Kemerdekaan setiap tanggal 17 Agustus. Saat itulah diperkenalkan sajian “rijstaffel” yang dibawa oleh pelayan wanita berkebaya.
Tradisi ini kemudian diteruskan dan dijaga sebagai sebuah ritual makan enak yang elegan dalam menyajikan masakan Indonesia sejak tahun 1968 di Restoran Oasis yang terletak di jalan Raden Saleh 47. Tahun 2008 restoran Oasis genap merayakan ulang tahun-nya yang ke 40, dan berencana akan menggelar beberapa santapan “rijstaffel” secara elok dengan menu-menu warisan tradisi kuliner Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
No comments:
Post a Comment