Tuesday, April 29, 2008
BAHASA GAUL
„Hai-hai“, seru gadis yang bertatoo. „Ih, kok jaim gitu seh !“ protesnya berlanjut. Gadis berkaca mata menghela nafas, dan berseru, „Jayus deh, pagi-pagi gini.“ Lalu mereka sibuk bercipika dan cipiki (cium pipi kanan dan pipi kiri). „Pasti ngak jauh neh, Andre lekong loh bikin stori lagi yah ? Udah go jomblo aje ne ! Takut amat seh ....“ gadis bertatoo memberikan motivasi. “Enak aje capcus-nye. Andre kan agatha banget, tajir, dan ngak pelit. Facenya juga licin abis. Imut banget.” “Remponk amat seh. Yang ngantre elu kan bejibun. Elu betibo sama Sandra Dewi. Menurut gue seh ! Jomblo paling banter seminggu. Habis itu pasti elu happy dan punya lengkong baru. Bukannya si Opi naksir berat ama elu ?” Gadis yang berkaca mata tertawa terbahak-bahak “ Aduh …. Opi caur banget. Dan bukan tipe gue deh. Opi capcay banget. Banyak maunya. Bosen gue !” “Ya, wis ngak usah jaim gitu”, hibur gadis bertatoo. “Makanya yuk kita cawyu deh, platinum si Andre kan masih ama gue. Pokoknya nemenin gue ampe maksi yah !” pinta gadis berkaca mata. “Yongkru girl !” sambut gadis bertatoo. Lalu mereka pergi sambil tertawa-tawa dan bergandengan tangan.
Percakapan diatas memang tidak persis banget. Tapi hanya saya rekam sebagian yang saya ingat saja. Saya juga bukan ahli dengan bahasa seperti itu. Anda mungkin bertanya, apakah itu bahasa Indonesia ? Percaya atau tidak, itu memang bahasa Indonesia tulen. Istilah kerennya, bahasa gaul jaman gini. Kalau anda tidak paham dengan bahasa ini, maka anda bisa di cap kurang gaul.
Dahulu ketika kuliah, saya ingat betul dengan istilah „lingua franca“ yaitu bahasa sehari-hari yang berbaur disetiap lapisan komunitas dan akhirnya menjadi bahasa „de-facto“ yang diterima masyarakat luas. Bahasa Indonesia sebagai „lingua franca“ mengalami metamorfosis yang dalam dan berlapis-lapis. Uniknya karena komunitas kita sangat beragam, maka bahasa Indonesia berubah ditiap segmen komunitas. Dan sebagian menjadi sangat esklusif seperti sebuah bahasa kode di segmen komunitas tertentu. Teman saya, seorang penulis naskah iklan, mengatakan bahwa bahasa gaul sangat penting implikasinya dalam sebuah iklan. Karena pemakaian istilah atau bahasa yang pas akan menentukan level komunikasi yang membuat target market merasa „ikut serta“ atau sesuatu yang asing dan bukan bagian dari mereka. „Bahasa iklan jaman sekarang tidak boleh berbunyi istilah yang jadul (jaman dulu) dikuping target market kita. Salah berbahasa, lepas pula target market kita“ begitu komentar akhir sang penulis naskah iklan.
Ratih Sang, bekas model beken yang kini aktif berdakwah, pernah mengeluh kepada saya, bahwa keindahan bahasa Indonesia, kena erosi jaman. Secara pergaulan memang bahasa Indonesia nampak maju dan terus berevolusi. Tetapi kefasihan menggunakan-nya dalam konteks sastra mungkin menurun jauh. Mpu Peniti, mentor saya juga berpendapat yang sama. Menurut beliau, kefasihan berbahasa Indonesia yang bagus dan indah, misalnya seperti membuat sajak, berpantun, membuat surat dan dipakai merayu menjadi „skills“ yang langka.
Barangkali bahasa Indonesia sepatutnya tidak menjadi instrumen berkomunikasi saja. Tetapi menjadi alat kreatif untuk mengungkapan perasaan dan melukiskan emosi kita. Bagaikan paparan musik yang indah.
* betibo=beda tipis, tajir=kaya raya, jaim=jaga image, jomblo=sendirian, jayus=tidak lucu, agatha=anak gaul jakarta, yongkru=okay, capcus=bicara, caur=jelek, capcay=cape deh, remponk=repot, maksi=makan siang, lengkong=pacar lelaki, cawyu=pergi, bejibun=banyak.
Tuesday, April 22, 2008
BALI EXOTICA
Saat ini Bali kembali marak. Jumlah turis naik terus. Pokoknya semua kelesuan sejak peristiwa bom Bali terdahulu mulai sirna satu demi satu. Kalau anda lewat di Kuta, memang banyak terlihat toko yang tutup. Ini normal. Siklus bisnis yang terus berputar. Karena banyak juga terlihat berbagai toko yang sedang direnovasi. Patah satu tumbuh seribu. Yang jelas Bali sedang mengalami sebuah transformasi yang berbeda. Perubahan baru. Bisnis villa misalnya sedang marak bukan main. Dimana-mana kini kita jumpai agent property yang ramai menjual villa. Pokoknya punya villa di Puncak buat orang Jakarta sudah kuno. Yang diburu kini adalah villa bergaya resort di Bali. Bukan saja investor domestik yang tergila-gila dengan villa di Bali, tapi juga investor dari manca negara. Malah kini Bali dijadikan target tempat pensiun oleh sejumlah pensiunan dari manca negara. Seorang pengusaha supermarket produk-produk Jepang mengaku bisnisnya lumayan maju karena banyaknya pensiunan Jepang yang tinggal di Bali. Seorang teman yang sudah tinggal di Paris selama 35 tahun akhirnya kembali ke Indonesia dan pensiun di Bali. Ia kini membuka warung masakan Indonesia kecil-kecilan di Sanur.
Lalu apa sih daya tarik Bali yang sesungguhnya ? Buat strategi pemasaran Bali jelas ini penting sekali. Karena menentukan positioning Bali yang sesungguhnya. Iseng-iseng beberapa guide di Bali saya interview. Untuk mendapatkan “insight” yang pas tentang daya tarik Bali yang sesungguhnya. Kebanyakan diantara mereka tidak bisa menjawab langsung. Jawabannya standard, seperti keindahan Bali, pantainya, udaranya, budayanya, dsbnya. Satu kata yang pas itulah – yang membuat saya penasaran banget.
Beberapa pemandu turis bercerita bahwa turis yang datang ke Bali memang punya minat yang bermacam-macam. Pernah seorang Yakuza datang ke Bali, dan minta dicarikan makanan atau masakan yang paling eksotik. Sang pemandu turis ini bingung bukan main. Karena menurut sang Yakuza, beliau sudah makan segala macam makanan yang aneh-aneh. Mulai dari ular berbisa, otak monyet, penis rusa hingga telapak macan. Dalam situasi yang kepepet inilah, akhirnya secercah ide muncul tiba-tiba. Dan sang Yakuza dibawa kesebuah restoran seafood, dan diajak makan kodok batu yang digoreng. Lengkap dengan ritual, dimana sang Yakuza bisa melihat sang kodok disembelih. Rupanya memang sang Yakuza seumur hidupnya belum pernah makan kodok goreng mentega. Malam itu berlangsung meriah, sang Yakuza betul-betul menikmati Bali dan memuji Bali berkali-kali. Dan kata yang masuk kedalam kepala saya adalah satu kata – eksotik.
Ungkapan Bali yang eksotik saya rasakan pada malam harinya. Saya diundang oleh arsitek beken Indonesia Sindhu Hadiprana, untuk menyaksikan kolaborasi musik fusi gabungan antara okestra gamelan Semar Pegulingan dengan orkestra bambu Jegog dari Jembrana. Konon kabarnya wilayah Jembrana didirikan sekitar tahun 1400’an. Wilayahnya termasuk mulai dari pelabuhan Gilimanuk hingga pantai Medewi. Dan kota terbesarnya adalah Negara. Jembrana konon kabarnya tidak pernah menjadi wilayah penting dan strategis untuk diperebutkan. Malah pernah dalam satu periode wilayah ini diperintah oleh seorang pangeran dari Sulawesi. Tak heran apabila disini muncul orkestra gamelan yang mirip kolintang yang terbuat dari bambu dan disebut Jegog.
Orkestra gamelan Semar Pegulingan di Ubud, konon mulai diperkenalkan sejak tahun 1700’an, sebagai alternatif musik yang lebih manis dan kalem dibanding orkes gamelan Gong Kebyar yang lebih progresif dan enerjik. Orkestra gamelan Semar Pegulingan konon terinspirasi oleh orkestra gamelan Gambuh yang memiliki sejumlah peniup suling. Di orkestra gamelan Semar Pegulingan biasanya juga ada 6 peniup suling. Nah kedua musik gamelan ini dipromosikan oleh Sindhu Hadiprana untuk di fusikan. Persis konsep fusi Yin dan Yang. Semar Pegulingan yang didominasi gamelan logam penuh gemercing menarikan nada-nada dinamis. Dan Jegog yang terdiri dari bambu menarikan nada-nada kelembutan yang mistik. Keduanya menjadi irama musik yang sulit dilukiskan kecuali dengan satu kata – Eksotik ! Barangkali eksotik adalah kata yang kita cari selama ini. Indonesia yang sangat beragam, mirip sebuah selimut perca yang tak pernah habis terurai dan selesai didongengkan. Eksotik adalam fantasi dan imajinasi yang menyatu, membuat Indonesia unik dalam segalanya.
Saturday, April 19, 2008
KETEKUNAN NAGABONAR
Saat shooting Nagabonar yang pertama, Deddy Mizwar bercerita bahwa waktu shooting yang diperlukan adalah 2 bulan. Itupun haru shooting berhari-hari dilokasi. Malah disalah satu lokasi, selama berhari-hari Deddy Mizwar harus mandi dikali. Karena lokasinya memang terpencil sekali. Saat itu Deddy Mizwar baru saja menikah, dan harus pindah ke rumah baru. Honor shooting belum bisa menghidupi keluarga yang baru menikah. Terpaksalah mobil dijual. Guna menyambung hidup. Sambil tertawa terbahak-bahak, Deddy Mizwar mengenang masa itu. Dilihat dari tawanya yang kencang banget, jelas pula, Deddy tidak menyesali pengalaman jaman itu. Secara arif, beliau bercerita bahwa dijaman itu, walaupun segalanya lebih kurang, namun ia punya kemewahan untuk menekuni profesinya sebagai bintang film. Sebuah proses belajar yang penuh totalitas dan ketekunan. Melihat hasilnya sekarang, ia justru mensyukuri semua pengalaman itu.
Cerita Deddy Mizwar lekat sebagai sebuah inspirasi yang bagus. Salah satu kunci keberhasilan bisnis adalah tekun dan bukan rajin biasa. Seorang pengusaha Cina bercerita kepada saya, bahwa didesa-nya, 10 tahun yang lalu ada 2 bengkel sepeda yang buka tidak jauh satu dengan lainnya. Dua-duanya adalah pengusaha yang rajin. Mereka selalu buka sejak jam 6 pagi. Tidak pernah sekalipun terlambat. Keduanya adalah kompetitor yang sengit. Selalu bersaing dalam segala-galanya. Tak pernah mau mengalah sekalipun dalam segala hal. Setelah bersaing 10 tahun yang satu tetap buka sebagai bengkel sepeda. Tidak ada kemajuan yang berarti. Bengkel satunya lagi sudah tutup sejak lama. Hampir 5 tahun lebih. Pengusaha yang kedua kini pindah ke pusat kota. Ia membuka bengkel motor dan bengkel mobil. Cabangnya sudah lebih dari selusin. Ia juga kini menjadi distributor ban sepeda dan ban motor.
Pelajaran yang menarik adalah, pengusaha yang pertama cuma rajin biasa. Membuka toko tidak pernah telat. Dan menutup toko hingga larut malam. 7 hari selalu buka dan tidak pernah tutup. Pengusaha kedua beda. Ia tidak hanya rajin tapi juga tekun luar biasa. Mulanya ia tekun memperhatikan pelanggannya yang sering menambal ban. Dan ia mulai menghitung umur ban. Dikalikan dengan jumlah pelanggannya, ia menyimpulkan mestinya sebulan ia bisa menjual 15-20 ban sepeda baru. Iapun memberanikan diri datang kesalah satu distributor ban sepeda, dan minta diberikan fasilitas kredit berjualan ban sepeda. Itu awalnya. Lama-lama ia merambah ke ban motor, dan membuka bengkel motor dan mobil.
Menurut Deddy Mizwar, rajin saja belum cukup tapi harus tekun. Bedanya kalau tekun punya 2 elemen, elemen pertama memang sewajarnya kalau mau sukses harus rajin. Tetapi elemen kedua harus ditimpali dengan kerja keras dan belajar. Yang akhirnya bisa menjadikan kita bijak, selalu memperhatikan dan peduli dengan details, dan lama-lama tumbuh “sense of perfection”. Jadi tekun adalah rajin yang berstamina. Begitu cerita beliau.
Ketekunan yang sama diperlihatkan Deddy Mizwar kepada saya ketika memperjuangkan kehadiran film NAGABONAR karya almarhum Asrul Sani ex tahun 1987. Sehabis sukses dengan film Nagabonar Jadi 2, datang permintaan bertubi-tubi untuk memutar ulang film Nagabonar yang pertama. Deddy Mizwar merasa terharu dengan permintaan itu akhirnya mencari copy negatif film NAGABONAR ex 1987. Untung luar biasa, akhirnya negatif itu ditemukan, tapi dalam kondisi yang sangat parah. Berjamur dan hampir rusak total. Mulanya kami semua menyerah dan putus asa. Namun Deddy Mizwar gigih meminta sample copy film itu dikirim ke Hong Kong untuk dianalisa. Rupanya Tuhan melihat ketekunan Deddy Mizwar, dan film NAGABONAR ex 1987 akhirnya bisa juga diselamatkan. Tentu saja tidak dengan biaya murah, tapi menghabiskan biaya milyaran rupiah. Deddy Mizwar minta kami maju terus.
Film dibongkar pasang, tiap frame diperbaiki satu demi satu dan diwarna ulang. Suara di dubbing ulang dan direkam dengan tekhnologi DOLBY DIGITAL terbaru. Muncul masalah baru, beberapa pemain sudah meninggal dunia. Mencari dubber dengan kepribadian yang mirip jelas susah bukan main. Franky Raden diminta pulang dari Amerika untuk merekam ulang ilustrasi musik. Karena semua lagu rakyat sudah diberlakukan Undang-Undang Hak Cipta, maka Deddy Mizwar harus bernegosiasi ulang untuk meminta ijin pemakaian lagu tersebut. Negosiasi berlangsung alot dan cukup lama. Tadinya hampir-hampir lagu soundtracknya mau diganti. Syukur akhirnya negosiasi berlangsung aman juga.
Masalah lain yang muncul juga cukup banyak dan sangat melelahkan. Untunglah Deddy Mizwar menghibur saya. Kata beliau menasehati saya, NAGABONAR kita hadirkan dengan niat baik, untuk memperingati 100 tahun kebangkitan nasional. Maka setiap penderitaan dan perjuangan yang kita hadapi pasti akan setimpalnya dengan hasilnya nanti. Nasehat Deddy Mizwar terasa betul seperti segelas air es yang mengguyur kepala saya. Terasa sangat adem dan nyaman. Walaupun semua crew dan anggota team deg-deg-an tidak ada habisnya. Kehadiran NAGABONAR nanti mulai 8 Mei 2008, adalah bukti nyata bagaimana ketekunan bisa mengalahkan segalanya. “Impossible is Nothing !”
Wednesday, April 16, 2008
AYO BELAJAR DISIPLIN !
Menurut Mpu Peniti, disiplin ngak pernah di-diskusikan atau dibahas, semata-mata karena disiplin tidak glamour. Disiplin adalah soal bekeringat. Jadi siapa yang mau bicara sesuatu yang asin dan bau. Dan memang disiplin bukan soal gampang atau mudah. Mpu Peniti bertutur bahwa disiplin itu butuh contoh, dan leadership. Menurut beliau, sudah bertahun-tahun kita mengkampanyekan budaya antri misalnya. Dan tidak juga berhasil. Kemanapun anda pergi, disiplin antri jarang terlihat. Semua orang maunya langsung kedepan tanpa antri. Sambil geleng-geleng kepala, Mpu Peniti bercerita soal pejabat yang dikawal berbagai motor dan mobil polisi dengan sirene meraung-raung mencoba menerobos kemacetan lalu-lintas setiap hari, yang jelas-jelas memberikan contoh tidak mau antri. Bagaimana mungkin rakyat kecil bisa antri dengan disiplin tinggi ? Kalau pemimpin-nya saja tidak mau disiplin antri ?
Cerita Mpu Peniti membuat saya malu hati juga. Karena saya sering minta sopir saya ikut dibelakang mobil atau motor bersirene, agar bisa ikut kedepan tanpa harus antri di kemacetan lalu lintas. Memang disiplin itu bukanlah sesuatu yang nyaman dan nikmat. Saya ingat ketika mulai belajar menulis jaman SD dulu. Awalnya selalu dari pensil. Dan secara disiplin kita diajar menulis bagus dan halus. Melelahkan. Habis itu kita disuruh menulis dengan mata pena yang dicocol kedalam tinta. Duh, menderita bukan main. Karena sangat sulit. Terlalu keras, kertas akan robek. Terlalu ringan, tinta tidak akan keluar. Tetapi hasilnya memang membanggakan. Tulisan tangan saya hingga hari ini, tidak jelek-jelek banget. Cukup artistiklah !
Mpu Peniti menyambung dengan satu pesan, bahwa semuanya yang baik dalam kehidupan ini selalu dimulai dengan disiplin. Misalnya disiplin menabung akan menjadikan kita terbiasa dengan hidup hemat. Disiplin membaca akan membuat kita terbiasa belajar dan berpengetahuan luas. Disiplin bangun bagi akan membiasakan kita hidup rajin. Begitu dan seterusnya.
Juara-juara bisnis juga punya pola disiplin yang mirip. Misalnya mereka sangat berdisiplin untuk melakukan inovasi. Sehingga inovasi memiliki pola yang teratur dan tidak muncul sesekali, setiap kali perusahaan macet atau mengalami kemunduran. Istilahnya sebuah perusahaan disebut inovatif, kalau inovasinya muncul teratur dan berurutan. Lalu bagaimana kita bisa belajar disiplin ? Pertama-tama karena disiplin menunjukan pola keteraturan, maka satu hal terpenting adalah “time-management”. Artinya anda harus menghormati waktu, belajar tepat waktu dan tidak pernah terlambat. Belajar membuat rencana yang terjadwal. Dengan cara ini, lama-lama tidak akan ada waktu anda yang terbuang percuma. Anda otomatis akan hemat waktu.
Belajar menyusun prioritas. Karena disamping akan menghemat waktu anda, juga akan membuat pekerjaaan anda bersinerji satu dengan yang lain-nya. Artinya pekerjaan anda akan disusun berdasarkan sebuah kesinambungan, sehingga hasil atau output akan lebih efektif, dan produktif. Dan yang terakhir, disiplin mirip latihan olah raga. Tujuannya membuat prestasi anda lebih baik. Misalnya lari lebih cepat, melempar bola lebih akurat, dan lebih responsif melawan musuh. Untuk itu hal yang perlu anda manfaatkan sebanyak-banyaknya adalah siklus belajarnya. Hanya dengan belajar maka anda akan lebih baik. Karena anda mampu mengoreksi hal-hal yang salah dan tidak benar.
Ketika saya masih kecil, setiap kakek saya makan, entah itu siang atau malam, saya dipanggil untuk menemani beliau makan. Celakanya makan dengan beliau, harus ikut beliau pula, yaitu makan dengan menggunakan sumpit. Tidak boleh pakai sendok dan garpu. Kalau salah, saya dikoreksi dan kadang dimarahi, dan juga dikuliahi soal estetika makan. Pendek kata saya didisiplinkan untuk memakai sumpit. Susahnya bukan main. Apalagi ketika harus mengambil sesuatu yang bundar seperti telur, atau sesuatu yang mudah hancur seperti tahu. Kata kakek saya, sekedar bisa memakai sumpit, dan bisa beneran beda. Untuk itu saya selalu bersyukur. Karena berkat pelajaran disiplin yang sederhana ini saya banyak belajar dari filosofi sumpit. Salah satunya, kakek saya bertutur makan dengan sumpit tidak berisik. Karena sepasang bambu bila berbenturan akan jauh lebih sunyi dibanding sepasang sendok dan garpu berbenturan di piring.
Sunday, April 13, 2008
SEJARAH RIJSTAFFEL
Cerita tentang sejarah “rijstaffel” sangat beragam dan cukup simpang siur. Konon cara makan yang cukup mewah ini, pertama kalinya terekam oleh utusan VOC yaitu Rijkloft van Goen yang melihat ritual yang amat mirip dilakukan di-istana Mataram pada saat jaman kejayaan Raja Amangkurat I ( 1646 – 1677 ). Sejarahwan kuliner Ong Hok Ham bercerita kemudian “rijstaffel” diadopsi oleh penguasa kolonial sebagai bagian dari pamer kekuasaan dan pamer kemewahan. Menurut cerita jaman itu “rijstaffel” dijaman Belanda memiliki 60 lauk-pauk yang serba mewah dan megah. Ke 60 lauk-pauk itu diantarkan oleh puluhan pelayan atau jongos (istilah jongos dari bahasa Belanda jongens, artinya anak laki-laki), seakan-akan mereka mengantarkan upeti kepada penguasa. Tradisi ini terus berkembang dan dipertahankan hingga tahun 1930’an. Dalam arsip foto Hotel Savoy Homan circa tahun 1930’an, hidangan “rijstaffel” secara tradisi masih disajikan bersama sejumlah jongos. Jumlah enampuluh ini sudah termasuk sambel-sambelan, acar, krupuk, dan iringan makanan lainnya. Gaya makan seperti ini sudah mulai diperkenalkan kepada orang Belanda dalam perjalanannya ke negeri jajahan ketika mereka menumpang kapal-kapal mewah dari Stoomvaart Maatschappij Nederland dan Rotterdamse Lloyd. Tentu terbatas kepada penumpang-penumpang kelas elit saja!
Barulah kemudian cara makan “rijstaffel” ini di adopsi oleh keluarga elite Chinese mengingat posisi mereka saat itu sebagai perantara antara Belanda dan pribumi. Dan kemudian “rijstaffel” lalu diperkenalkan sebagai sebuah tradisi makan kuliner Indonesia, diberbagai hotel elite diberbagai kota di Indonesia dijaman kolonial Belanda. Beberapa jurnalis asing sempat menulis ritual makan “rijstaffel” dalam pengalaman mereka mengunjungi Hindia Belanda saat itu.
Louis Couperus
Couperus merupakan koresponden khusus untuk Haagse Post. Dari 71 tulisan yang dimuat harian itu untuk edisi 17 Desember 1921 hingga 5 Mei 1923, 41 tulisan dibukukan dalam Oostwaarts (1992, cetakan pertama 1924).
Ia pun menceritakan tentang rijsttafel yang terkenal disamping makan siang ala Eropa yang disajikan hotel. Couperus mengingatkan untuk tidak terlalu banyak mengambil sambal – sambal oelek – yang pedas bagi ukuran orang Eropa.
Sambal itu sebaiknya diletakkan di pinggiran piring dan jangan dicampur : ‘Bermacam-macam , bahkan seringkali dengan bumbu sambal yang banyak kita ambil sedikit saja – awas dengan sambal ulek yang terbuat hanya dari lada Spanyol – lalu letakkan terpisah di pinggir piring Anda’ (hal.129).
Ia mengajarkan cara makan rijsttafel dengan sendok dan garpu. Setiap suap nasi dimakan dengan sedikit ayam, ikan atau daging, disertai sedikit sambal. Setiap suap nasi dinikmati dengan kombinasi lauk yang berganti-ganti karena setiap suap dapat dinikmati rasa yang berbeda
Untuk setiap suap nasi yang anda makan dengan sendok dan garpu, pilihlah lauk ayam, daging atau ikan yang diikuti sambal. Tiap suap nasi dengan kombinasi yang berbeda. Anda coba setiap suap nasi dengan kombinasi itu. Bila anda makan dengan baik, setiap suap memiliki rasa yang berbeda (hal.129).
Augusta de Wit
Demikian halnya Augusta de Wit yang berkunjung ke Jawa pada awal abad ke-20 dalam rangka tugasnya sebagai wartawan Singapore Strait Times yang berpusat di Singapura. Dalam catatan perjalanannya Java: Feiten en Fantasieen (1905).
Setelah menumpang kereta api dari stasiun Tanjung Priok menuju Batavia perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan kereta kuda menuju daerah Rijswijk , sekarang JL. Veteran (hal.11). Seperti halnya para penulis kisah perjalanan Eropa lainnya yang menceritakan rijsttafel : ‘ Tapi dari ini semua hanya satu yang persiapannya menjadi misteri terbesar serta diselenggarakan jam 12 siang yaitu rijsttafel.’ (hal.18).
Ada dua hal yang menarik perhatiannya yaitu pertama, hidangan tersebut disajikan tidak di ruang makan biasa melainkan di bagian belakang (hal.18) Hal berikutnya yaitu para pelayan pribumi yang menghidangkan rijsttafel. Ia tertarik pada pakaian yang dikenakan para pelayan itu. Dengan kaki telanjang, mereka mengenakan pakaian potongan semi Eropa yang dikombinasi dengan sarung dan ikat kepala: ‘hidangan pedas itu disajikan bolak-balik dengan nyaris tak bersuara oleh para pelayan pribumi dengan kaki telanjang serta berpakaian separuh Indis, separuh Eropa.’ (hal.18).
Tentunya aneka hidangan rijsttafel itu sendiri juga menarik perhatian Augusta de Wit. Hidangan utamanya nasi dan ayam. Yang juga dilengkapi dengan aneka lauk pauk yang berupa daging asap, ikan dengan berbagai bumbu kari, saus, acar, telor asin, pisang goreng, dan tak ketinggalan sambal ati ayam. Semuanya diberi bumbu cabai (hal.18-19). Pengalaman yang tak akan terlupakan adalah ketika ia untuk pertama kali mencicipi sambal. Bibirnya langsung gemetar kepedasan. Leher terasa panas seperti terbakar sehingga harus diguyur air. Sementara itu air mata bercucuran.
Saya tak mampu melukiskan apa yang terjadi. Saya hanya dapat mengatakan bahwa saya sangat menderita sekali. Bibirku gemetar karena pedasnya sambal, leher terasa terbakar dan semakin parah ketika harus meneguk segelas air (hal.20).
Untunglah ada seorang pengunjung yang kasihan dan menyarankan agar ia menaruh sedikit garam di lidah. Ia pun menuruti nasihat itu dan tak lama kemudian siksaan itu berakhir. Sambil terengah-engah, ia bersyukur ia masih hidup. Ia pun bersumpah tidak mau mencoba rijsttafel lagi. Namun, ternyata ia melanggar sumpahnya tersebut (hal.20). Setelah menikmati aneka hidangan yang cukup menguras keringat dan air mata, kini giliran menikmati hidangan penutup yaitu nanas, manggis, rambutan, duku. Kemudian para tamu mulai meninggalkan meja untuk ber-siesta hingga pukul empat sore (hal.24). Tentu saja tips bagi para pendatang baru untuk membubuhi garam di lidah bila kepedasan karena sambal ini tidak akan dijumpai dalam arsip pemerintah.
Setelah perang kemerdekaan, konon menurut cerita “rijstaffel” juga disajikan di Istana terutama pada saat jamuan resmi hari Kemerdekaan setiap tanggal 17 Agustus. Saat itulah diperkenalkan sajian “rijstaffel” yang dibawa oleh pelayan wanita berkebaya.
Tradisi ini kemudian diteruskan dan dijaga sebagai sebuah ritual makan enak yang elegan dalam menyajikan masakan Indonesia sejak tahun 1968 di Restoran Oasis yang terletak di jalan Raden Saleh 47. Tahun 2008 restoran Oasis genap merayakan ulang tahun-nya yang ke 40, dan berencana akan menggelar beberapa santapan “rijstaffel” secara elok dengan menu-menu warisan tradisi kuliner Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Monday, April 07, 2008
NAGABONAR MASIH SATU
Perhatikan baik-baik kalau anda pergi ke Starbucks. Mereka menjual kopi tidak dengan ukuran gelas, “small-regular-large”. Tapi dengan istilah mereka sendiri yaitu “tall-grande-venti”. Dan teman saya punya teori tersendiri soal urusan ini. Katanya kopi Starbucks kan mahal, jadi mereka harus menciptakan persepsi tersendiri yang mengacaukan referensi kita terhadap ukuran gelas minuman. Seperti layaknya kalau kita membeli minuman ringan di resto cepat saji, yang cuma mematok ukuran “small-regular-large”. Supaya kita ngak merasa mahal ketika membeli kopi Starbucks.
Teori yang sama ini, di gagas mirip dengan komentar Barbara Seaman, seorang aktivis, penulis, dan jurnalis masalah kesehatan perempuan. Barbara pernah berkata bahwa produsen kondom mestinya punya imajinasi khusus untuk memasarkan kondom. Yaitu tidak selayaknya kondom dipasarkan dengan ukuran “small-medium-large”. Bayangkan betapa malunya pria yang memiliki ukuran “small” harus ke apotik dan menanyakan ukuran tersebut kepada seorang penjaga apotik. Menurut Barbara Seaman, seharus kondom itu dijual dengan ukuran jumbo, kolosal dan super kolosal. Sehingga setiap pria punya rasa percaya diri yang cukup, setiap kali ia membeli kondom.
Dari kedua cerita diatas, barangkali “wisdom” yang paling saya nikmati adalah pemasaran apapun strategi dan taktiknya, tetap saja membutuhkan imajinasi yang pas. Tanpa imajinasi itu, tidak peduli betapa hebohnya produknya, tetap saja bakalan tidak laku. Karena akan hampa tanpa roh pemasaran yang sesungguhnya. Hal yang sama dikatakan bang Deddy Mizwar kepada saya ditahun 2006, ketika beliau bercerita soal pembuatan film Nagabonar Jadi 2. Bahwa ia bisa membuat film bagus, tapi belum tentu bisa menjual film bagus. Ia menawarkan saya untuk jadi promotor film Nagabonar Jadi 2 dan bertanggung jawab mempromosikan-nya. Saat pertama saya ditawari, jelas banget saya ragu. Film adalah sesuatu yang baru buat saya. Saya juga belum paham lika-likunya. Pokoknya menakutkan deh ! Pemasaran Film di Indonesia jelas masih menjadi subyek abu-abu. Saya saat itu berusaha mencari buku teorinya. Apesnya ngak ketemu juga. Bang Deddy bilang :”ah…. Ente pasti sanggup deh. Kan ente orangnya kreatip…. Banyak imajinasinya”. Akhirnya sambil nyengir-nyengir nekat, saya iyakan juga tawaran bang Deddy itu.
Alhamdulilah, akhirnya Nagabonar Jadi 2 dipromosikan dengan kombinasi strategi + taktik + imajinasi yang kita ciptakan bersama. Kami bersyukur ketika film tersebut bisa menjadi film box-office ditahun 2007. Terus terang tadinya kami rada pesimis. Maklum Nagabonar Jadi 2 mengusung thema yang cukup berat. Nasionalisme, begitu kata sejumlah kritikus film. Disaat kehidupan kita yang serba plastik dan imitasi, terus terang kami semua ragu, kalau Nasionalisme bisa jadi topik yang ngetrend ! Yang luar biasa, ternyata publik memang kangen dengan nasionalisme. Boleh dikata malah ada rasa haus yang sangat luar biasa. Sejumlah inovasi juga terjadi di saat pemasaran film ini. Misalnya nonton bareng bersama selebriti, dan pejabat. Ritual ini kini menjadi sesuatu yang wajib untuk pemasaran film. Maklum saja film dipromosikan sangat kencang dari mulut ke mulut. Promosi getok tular yang ampuh dan perkasa.
Ketika Nagabonar Jadi 2 memasuki tahap yang cukup panas. Akhirnya kami putuskan untuk masuk kampus. Sejumlah kampus kami kunjungi di Jakarta, Bandung, Salatiga, dan Yogya. Terjadilah dialog yang sangat akrab dan mendalam antara mahasiswa dengan bang Deddy. Yang unik kami memotret sejumlah kesan yang sangat kuat. Terutama banyaknya permintaan untuk untuk menonton film asli NAGABONAR yang pertama ex 1987. Banyak para mahasiswa yang belum pernah nonton film NAGABONAR pertama dan sangat antusias ingin menonton prequel legendaris ini. Dan juga sejumlah komentar cantik soal Nagabonar Jadi 2 yang mengangkat kisah kasih sayang seorang bapak dan puteranya. Sesuatu yang sangat langka. Banyak mahasiswa yang menangis ketika menonton film Nagabonar Jadi 2, karena sangat menginggatkan mereka kepada bapaknya.
Menjelang bulan puasa 2007, bang Deddy membuka rahasia yang paling dalam. Bahwa memang inti kisah Nagabonar yang sesungguhnya adalah kisah cinta. Cinta tanah air. Dan juga “love story” yang romantik. Kalau di film Nagabonar 1987, adalah “love story” antara Nagabonar dengan Ibunya, dan Kirana. Maka di film Nagabonar 2007 adalah “love story” antara Nagabonar dengan puteranya. Film asli Nagabonar 1987, di remastered ulang dengan pewarnaan ulang pula, dan direkam dengan suara Dolby Digital terbaru, dengan orkestrasi musik asli yang direkam ulang oleh Franky Raden. Sehingga tak heran apabila menghabiskan biaya spektakuler milyaran rupiah. Frank Raden sendiri khusus pulang dari Amerika hanya untuk mengisi soundtrack Nagabonar. Sebagai terobosan baru, akhirnya saya berjodoh dengan Lala Hamid yang berhasil membujuk musisi kondang Melly Goeslaw dan Eross Chandra dari Sheila on 7, untuk membuat 2 lagu cinta sebagai tambahan soundtrack Nagabonar. Melly berduet dengan Deddy Mizwar untuk bernyanyi dalam theme song “love story” yang jenaka. Sedangkan dalam lagu Eross, Deddy Mizwar bernyanyi bersama paduan suara anak-anak Gita Swara theme song cinta tanah air yang patriotik. Usai merekam suara Deddy Mizwar, ia mengingatkan saya tentang sejumlah film berikutnya yang akan ia produksi dan harus saya promosikan. Saya cuma nyengir-nyengir saja. Karena jantung saya masih berdegup kencang setiap kali saya deg-degan meluncurkan satu ide gila. Nagabonar ini akan premiere diseluruh Indonesia mulai 8 Mei 2008.
Sunday, April 06, 2008
Thursday, April 03, 2008
BOROS
Teman saya, seorang ahli efesiensi dari London. Kerja-nya sehari-hari memusuhi segala pemborosan. Ia dibayar mahal oleh berbagai perusahaan hanya untuk mengenali, pos-pos ongkos yang boros, dan memangkasnya agar ongkos perusahaan menjadi irit. Menurut pengalaman beliau, pemborosan seringkali terjadi semata-mata karena khilaf dan kurang cermat berhitung. Tapi ada juga pemborosan yang sengaja dibuat semata-mata hanya untuk menciptakan proyek bagi pihak-pihak tertentu. Ia bercerita tentang sebuah gedung perkantoran di Hong Kong yang memiliki 40 tingkat. Tiap tingkat ada 6 WC. Sehingga seluruhnya ada 240 WC. Ia mengamati bahwa di 240 WC itu terjadi pemborosan luar biasa. Mulai dari listrik hingga tissue dan sabun. Untuk menghemat ongkos, ia mengusulkan di 240 WC tersebut dipasang sensor „movement“, dimana kalau didalam WC sudah tidak ada orang lampu WC akan mati sendiri. Keran air ia ganti dengan keran yang juga memiliki sensor „movement“. Tissue diganti dengan mesin pengering. Dan sabun juga ia usulkan diganti dengan sabun yang lebih kental dan murah. Luar biasa, akhirnya gedung menghemat biaya puluhan ribu dollar selama setahun. Itu baru dari WC. Contoh sederhana yang unik, tapi efektif.
Usai memberikan konsultasi di sebuah perusahaan di Jakarta, teman saya berniat keliling Jawa dan Bali untuk plesir. 2 minggu penuh ia menjadi turis keliling. Pulang plesir, saya sempat ngobrol dengan beliau sebelum dia pulang. Kata pertama yang ia ucapkan, adalah ia menemukan pemborosan yang luar biasa dimana-mana. Saya cuma tertawa mendengarnya. Ia mencontohkan beberapa contoh unik. Menurut pengamatan ia merasa cukup heran setiap kali mau terbang pindah kota. Airport-airport di berbagai Negara di luar negeri, umumnya orang langsung ke counter check ini, menyerahkan koper dan bagasi. Dan baru di „scan“ untuk security pas mau masuk ke ruang tunggu pesawat. Di Indonesia beda. Kalau kita ke airport, pas masuk ada petugas khusus yang memeriksa tiket kita. Lalu, semua koper kita di scan. Baru check in. Dan kemudian di “scan” lagi sebelum masuk ruang tunggu ke pesawat. Jadi dua kali “scan”. Sambil garuk-garuk kepala, teman saya menjabarkan bahwa menurut penglihatannya, jelas ini adalah pemborosan yang luar biasa. Lucunya ia juga bercerita bahwa yang ia juga tidak mengerti mengapa di sebuah airlines, kalau koper kita mau di check in dan dimasuk-kan kedalam bagasi harus di-ikat dulu dengan tali plastik. Konon tradisi ini ia hanya temukan di Indonesia. Menurutnya ia juga pemborosan yang tidak perlu. Hanya menambah ongkos saja. Saya sambil meringis berusaha menjelaskan kepada teman saya, bahwa kalau sistim ini dirubah, wah bakalan berabe sekali. Karena pengangguran akan terjadi dimana-mana dan dalam jumlah yang banyak sekali.
Teman saya ngakak mendengar penjelasan saya. Iapun maklum. Tapi ia juga membeberkan bahwa pemborosan yang terjadi uniknya tidak juga konsisten. Misalnya saja dalam hal pemunggutan airport tax. Teman saya menuturkan, bahwa sistim di airport Cengkareng, paling efektif. Kita tinggal bayar di counter check ini, boarding pass ditempeli stiker, selesai dan praktis. Tapi tidak dikota-kota lain. Pada umumnya kita harus bayar di loket khusus. Dan sebelum naik pesawat ada petugas khusus yang akan memeriksa airport tax kita dan menyobek buktinya. Sanggah teman saya, ini hal yang tidak konsisten dan jelas-jelas boros.
Kritik teman saya, bahwa pemborosan bisa berbahaya, karena akan menciptakan pendangkalan kualitas sumber daya manusia. Bayangkan saja, berapa sih yang harus kita bayar untuk seorang petugas yang kerjanya hanya menyobek karcis. Barangkali pendidikan-nya juga tidak usah terlalu tinggi. Di training satu jam-pun ia akan bisa bekerja dengan lancar. Tapi karena kerja-nya di airport, barangkali prosedur penerimaan pegawai cukup berliku dan persyaratan-nya sangat berat. Apa jadinya kalau seorang pemuda yang cape-cape sekolah keperguruan tinggi, usai menjadi sarjana, hanya bekerja sebagai penyobek karcis di airport. Inilah pendangkalan kualitas sumber daya manusia yang dimaksud oleh teman saya.
Seorang ekonom pernah bercerita kepada saya, bahwa di Indonesia yang paling parah, adalah angka pengangguran terselubung. Artinya kaum pekerja yang tidak bekerja sesuai dengan kualifikasinya, bekerja dengan jam minimum dan penghasilan yang tidak pernah tetap. Beliau mencontohkan tukang parkir tidak resmi. Yang sebenarnya seorang pengangguran, kerjanya hanya nongkrong disalah satu pojok jalan. Dan kalau ada mobil parkir ia belaga menjadi juru parkir dan memungut ongkos parkir. Ia tidak punya seragam juru parkir dan tidak pula memiliki karcis parkir resmi. Celakanya kalau sang juru parkir ini dalam angka statistik dianggap tidak nganggur. Tapi justru entrepener juru parkir. Angka yang pas tentang pengangguran di Indonesia barangkali tidak pernah terekam secara akurat. Dan untuk menghitungnya dengan pasti, juga merupakan tantangan tersendiri. Yang bukan main sulitnya !