Setiap pengusaha selalu was-was, untuk mencari lahan baru untuk pertumbuhan bisnis dan laba, yang memungkinkan untuk selalu dipertahankan. Atau “sustainable growth and profit” begitu istilah keren-nya. Lalu dimana mencarinya ? Ini yang bikin mumet. Begitu keluh seorang pengusaha kepada saya. Terus terang kebanyakan pengusaha cenderung merambah ke bisnis lain. Istilahnya pengembangan horizontal atau diversifikasi usaha. Krtiknya cuma satu. Kadang mereka terjebak dibisnis yang bukan bidang keahlian mereka. Melenceng dari “core business”. Lama-lama bisnis mereka menjadi gurita yang merepotkan gerak dan langkah bisnis mereka. Nah, pengusaha tadi minta advis kepada saya. Beliau ingin perspektif baru ala “anti marketing”, yang berpikir terbalik. Apakah ada juga anti bisnis ?
Ini pertanyaan yang menggugah. Karena sesungguhnya memang ada juga “anti bisnis” dalam tanda kutip. Atau pengembangan usaha secara lateral. Kalau kita mau meminjam istilah Edward de Bono. Pionir pemikiran lateral. Beberapa jenis usaha sudah memperlihatkan fenomena dan gejala anti bisnis. Misalnya saja di bisnis “kesehatan” atau “healthcare”, konon bisnis utama yang dulunya adalah merawat dan menyembuhkan orang sakit, kini diancam oleh “anti bisnis”-nya yaitu “wellness”. Bisnis untuk mencegah orang sakit. Bisa anda bayangkan sendiri, berapa potensi dan peluangnya, orang-orang yang takut jatuh sakit. Pasti akan jauh lebih banyak dibanding dengan orang sakit. Seorang dokter berkelakar kepada saya, bahwa saat ini dokter tugasnya adalah merawat orang sakit. Tapi dengan kemajuan teknologi, dan perubahan persepsi, tugas dokter tidak lama lagi, akan terbalik. Yaitu merawat orang sehat agar jangan sampai sakit. Fenomena inilah yang disimpulkan sebagai “anti bisnis” yang baru.
Mpu Peniti pernah punya mengolok-olok saya. Suatu hari saya mengajak beliau bersantai ngopi di Starbucks. Saat kami sedang asyik menikmati kopi. Mpu Peniti juga asyik melihat suasana sekeliling. Disebuah pojok beberapa ibu-ibu sedang asyik bergosip ria, sambil merokok bersama-sama. Dibeberapa pojok yang berbeda, ada pula sekelompok anak muda yang sedang bercanda riang. Tak ketinggalan ada beberapa pasang muda-mudi yang nampak asyik berpacaran. “Ini, edan total”, begitu sanggah Mpu Peniti. Menurut beliau, dulu ngopi semata-mata adalah kegiatan untuk menghilangkan ngantuk. Bangun pagi, kalau ngantuk, dan masih lesu, maka kita minum kopi. Pas dengan fungsi kopi sebagai stimulan. Eh, sekarang terbalik. Kita justru ke cafĂ©, untuk relax sembari minum kopi. Kalau dipikir-pikir betul juga analisa beliau. Konsep terbalik seperti ini justru malah sukses.
Jangan-jangan, kemunculan film-film horor yang sedang laris manis saat ini, juga fenomena “anti film” yang baru. Bayangkan saja, dulu kalau kita nonton film kita justru pengen mendapatkan hiburan. Film komedi membuat kita tertawa. Film action membuat kita tegang. Dan film drama membuat kita menangis. Tertawa, tegang dan menangis merupakan pakem lama film yang mendefinisikan hiburan yang melegakan. Kriteria kita menonton film juga cukup kompleks, mulai dari jalinan cerita, aktor dan aktris terkenal yang menjadi pemeran utama, hingga musik dan sutradaranya. Tapi kalau film horor, mungkin semuanya bertolak belakang dengan semua pakem itu. Seorang psikolog anak, mengatakan pada saya, bahwa serem dan kaget adalah jenis hiburan baru. Ironisnya seorang sutradara film menuturkan bahwa membuat film horor saat ini, jauh lebih mudah. Jumlah hari untuk shooting biasanya lebih pendek. Aktor dan aktris tidak perlu terlalu yang terkenal sekali. Karena tuntutan berakting seringkali juga lebih sederhana. Yang penting bisa berteriak dan memperlihatkan ekspresi muka ketakutan.
Dalam bisnis media, juga sudah muncul banyak “anti televisi”. Misalnya saja MTV. Yang menyuguhkan musik seratus persen. Atau CNN yang menyajikan berita terus menerus. Konon baik MTV dan CNN lebih mirip dengan akuarium. Hampir tiap kamar tidur anak-anak remaja di kelas menengah atas, selalu akan ada TV kecil. TV kecil ini mirip akuarium. Biasanya sepulang sekolah, ketika mereka masuk kamar dan mengerjakan PR, mereka menyalakan TV dan saluran yang mereka pilih adalah MTV. Kalau mereka menyetel saluran lain, mungkin perhatian mereka harus terpaku kepada TV tersebut. Lain dengan MTV, cukup kita dengarkan musik dan lagunya. Sang remaja masih bisa mengerjakan kegiataan lain. Kalau kebetulan musiknya enak, sang remaja baru menoleh dan menyimak MTV. Bila tidak ia lanjut mengerjakan kegiataan lain. Saya mengalami hal yang sama dengan CNN. Setiap kali bertugas keluar kota, masuk hotel, otomatis ketika saya menyetel televisi, CNN menjadi opsi pertama saya. Betul-betul mirip akuarium. Yang menemani saya agar tidak sepi. Sayapun hanya sesekali melihat dan menyimak CNN, itupun kalau saya mendengar berita yang menarik buat saya. Selebihnya biasanya CNN hanya menemani saya, saat saya bekerja di komputer jinjing saya. Televisi yang tadinya memaku perhatian kita dengan membuat kita menonton, kini kehadirannya diperkaya dengan “anti televisi” yang hanya membuat kita sesekali menonton. Selebihnya mereka hanya menjadi teman akrab yang mirip dengan akuarium. “Anti bisnis” baru menjadi fenomena yang tabirnya terbuka sedikit demi sedikit. Untuk bisa memanfaatkannya, memang anda harus berpikir lateral. Bukan horizontal atau vertikal biasa.
No comments:
Post a Comment