Seorang pejabat tinggi mau menyomasi sebuah acara TV yang berbau parodi. Alasannya, acara itu mengolok-olok sebuah lembaga tertinggi negara. Olok-olok tadi dianggap tidak edukatif. Olok-olok itu juga dianggap melanggar pakem kritik. Dan olok-olok yang mestinya lucu sudah dianggap tidak lucu lagi. Semua orang jadi bingung. Termasuk Mpu Peniti.
Parodi sebenarnya memang bagian dari humor. Parodi sendiri, menurut kamus, memang humor yang berkarakter mengolok-olok. Persis karikatur. Jadi, kalau acara TV itu dilarang karena alasan mengolok-olok, maka semua karikatur di negeri ini juga harus dilarang. Kalau juga olok-olok dianggap tidak sopan dan tidak sesuai dengan budaya kita, barangkali olok-olok bakal dilarang di segala bidang.
Maka, Lembaga Sensor dan Komisi Penyiaran akan pontang-panting bekerja mengawasi semua humor. Karena mereka harus menginterpretasi mana yang olok-olok dan yang bukan. Tak lama kemudian, humor akan pelan-pelan punah. Dan kita akan jadi bangsa yang judes. Bayangkan saja kalau humor adalah tindakan kriminal. Runyam, bukan?
Padahal, sejumlah buku dan berbagai penelitian mengungkapkan, konon humor adalah bagian dari EQ atau kecerdasan emosi. Lucu dan menggelitik jelas bukanlah sesuatu yang mudah. Melucu itu susah bukan main. Steve Sultanoff, mirthologist danclinical psychologist mengatakan bahwa humor sangat manjur sebagai terapi. ,"Humor, it is a perspective or way of being in the world--a way of enjoying the ups and downs of life."
Humor bisa mengubah perasaan kita, sikap, dan juga biochemistry tubuh. Humor sering digunakan sebagai terapi penyembuhan. Tertawa jelas sangat sehat. Malah tertawa sering disebut "jogging of the internal organs". Tertawa melepas hormon endorphins dalam tubuh manusia. Konon, hormon inilah yang membuat kita rileks dan membuat tubuh kebal dari penyakit. Tertawa terbukti meningkatkan aktivitas otot dan pernapasan, menstimulasi sistem kardiovaskuler, dan mampu meningkatkan toleransi kita terhadap rasa sakit. Juga merendahkan denyut jantung dalam situasi tertawa terbahak-bahak.
Pada 1990, setelah ayah saya wafat, saya mengalami stres berat. Sebelumnya, dokter juga memperingatkan saya untuk mencari pekerjaan yang stress level-nya lebih rendah. Bila tidak, dokter menyatakan bahwa saya akan mengalami stroke dalam usia muda. Saat itulah saya bertemu dengan Mpu Peniti. Beliau pula yang mengajari saya untuk melihat apa pun dengan perspektif lebih luas. Dan beliau juga yang melatih saya agar lebih cerdas emosi dengan lebih peka melihat sesuatu dengan aspek humor. Bukan untuk mengolok-olok, melainkan agar lebih toleran, lebih pasrah, dan lebih menerima segala macam situasi. Kalau kita bisa melihat sisi humor dari setiap kejadian, toleransi kita biasanya lebih terbuka dan dalam.
Humor juga senjata utama dalam ilmu pemasaran. "Humor sells", begitu kredo para pemasar. Itu sebabnya, dalam ilmu periklanan, biasanya desainer iklan dan komunikasi memilih dua medium yang paling favorit: seks dan humor. Tidak semua produk bisa ditampilkan secara sensual dengan medium seks. Tetapi semua produk, tanpa terkecuali, laku dikemas dengan humor. Tidak percaya? Tonton saja iklan-iklan yang ditayangkan televisi kita, hampir lebih dua pertiganya barangkali dikemas dengan gaya humor.
Ada satu kasus pemasaran yang saya kagumi. Yaitu kasus permen mint Altoids. Produk Altoids sendiri sudah cukup lama, konon diciptakan pada 1780, sebagai permen mint untuk penyegar mulut, di Inggris. Asal mulanya, konon di tahun 1800 permen ini selalu mengusik rasa penasaran orang, karena permen mint ini dijual dalam sebuah kaleng kecil. Sehingga setiap kali orang mengambil permen mint dan mengunyahnya, orang-orang di sebelahnya selalu penasaran, "Orang itu mengunyah apa sih?"
Maklum, kaleng masih dianggap sesuatu yang luks pada periode itu. Lama-lama permen mint ini dikenal sebagai "The Original Celebrated Curiously Strong Peppermints". Hingga kini, kaleng kecil itu tetap populer di kalangan konsumennya. Sebab, setelah permennya habis, sang kaleng bisa digunakan untuk menyimpan aneka barang. Mulai baterai IPod hingga untuk menyimpan ganja dan tembakau.
Ketika produk ini akan dijual di Amerika, maka rasa penasaran itu dirasakan perlu untuk ditularkan. Hanya saja, zaman sekarang orang tidak akan merasa aneh dengan kemasan kaleng seperti itu. Solusinya, diciptakan iklan-iklan bergaya parodi, yang diselipi rasa penasaran. Iklan-iklan parodi Altoids laku keras. Malah sampai dikoleksi orang. Uniknya, lama-lama muncul juga "urban legends" di internet yang menceritakan bahwa permen mint Altoids digunakan konsumennya dalam oral seks dan konon bisa meningkatkan kepuasan para pelakunya.
Parodi dan humor memang terbukti ampuh dalam pemasaran. Menurut Mpu Peniti, seorang pemimpin hanya akan diparodikan dan ramai diparodikan karena memang ada tingkah lakunya yang nyeleneh sehingga mengundang humor. Tapi, kalau perilakunya apik, parodinya juga tidak akan ramai. Toh, kalaupun dipaksakan parodinya, penonton tidak akan terpengaruh, dan acara TV itu akan sepi ditonton orang. Jadi, menurut Mpu Peniti, mestinya para pemimpin cuek saja kalau diparodikan. Syukur-syukur malah bisa bertambah populer.
2 comments:
seharusnya para pemimpin itu nggak perlu marah.. bukankah mereka juga selalu memparodikan para pelawak di legislatif maupun eksekutif.. ha..ha...ha....
Bukankah sekarang kita juga bingung mana yang pelawak mana yang pejabat... semua bersaing menggelitik kita untuk tertawa....
Girls Cams
Sexflat Blog
Amateur Telefon Sex
Post a Comment