Thursday, November 23, 2006

THE POWER OF DREAMS

“Never underestimate the power of dreams and the influence of the human spirit. We are all the same in this notion: The potential for greatness lives within each of us.” - Wilma Rudolph

Saturday, November 18, 2006

MARAH

DI tengah kemelut kehidupan yang dapat menjerumuskan kita ke jurang stres, konon sering marah-marah, bukanlah pertanda baik. Berbahaya bagi kesehatan. Begitu cerita kebanyakan orang. Punya pemimpin yang sering marah-marah tidak keruan juga menyebalkan.

Pendapat umum ini dibantah Stanley Bing, penulis buku Sun Tzu was a sissy. Bing, kolomnis di majalah Fortune, memang gemar menulis buku kontroversial. Menurut Bing, marah itu sangat diperlukan dalam manajemen.

Kalau seorang pemimpin marah, artinya dia terusik dan gusar oleh sesuatu hal. Sekaligus membuktikan bahwa ia eling atau sadar karena ada yang tidak beres dan perlu dikoreksi. Pemimpin yang tidak pernah marah sama dengan pemimpin acuh tak acuh. Itu menurut Bing.

Marah membangkitkan energi yang luar biasa. Pemimpin yang marah biasanya segera melakukan perubahan, peremajaan, dan perbaikan. Artinya, pemimpin marah memungkinkan terjadinya perubahan lebih cepat dan berarti.

Dalam hal yang satu ini, saya rada setuju. Kita kan sering melihat betapa pemimpin kita kerjanya cuma basa-basi, klemar-klemer, tidak melakukan gebrakan apa pun. Tapi berbahaya juga kalau kita punya pemimpin yang pemarah atau mudah marah tanpa sebab.

Barangkali salah satu pemimpin kita yang legendaris dalam hal marah ini adalah Bang Ali, bekas Gubernur Jakarta. Pernah ada cerita, beliau sedang naik mobil, dan jalanan macet semrawut gara-gara ada tukang becak yang seenaknya mengendarai becaknya. Bang Ali tidak segan-segan turun dan memarahi tukang becak itu.

Masih banyak lagi cerita tentang marahnya Bang Ali. Kenyataannya, di bawah kepemimpinan Bang Ali, Jakarta maju pesat. Jadi, teori Stanley Bing ada benarnya juga.

Dr. Stephen Diamond menulis di bukunya yang sangat kontroversial, Anger, Madness, and Daimonic: The Psychological Genesis of Violence, Evil, and Creativity, bahwa marah adalah emosi yang paling bermasalah. Namun ada korelasi sangat kuat antara marah dan kreativitas.

Menurut dia, marah dan kreativitas sering bersumber pada hal yang sama. Hanya saja, marah memiliki potensi destruktif lebih besar. Orang-orang berbakat dan genius umumnya memiliki naluri sangat tajam untuk menyalurkan energi ini, agar tidak merusak dan mengubahnya menjadi sebuah upaya yang konstruktif.

Ketika kita dilanda krisis moneter lima-enam tahun lalu, teman saya suka berseloroh. Katanya, kita butuh pemimpin seperti Bang Ali, yang berani marah. Bukan pemimpin yang mudah marah dan ngambek. Atau pemimpin yang suka marah-marah tidak keruan.

Dr. Stephen Diamond menulis bahwa beberapa artis seperti Van Gogh dan Picasso, konon, memiliki kehidupan yang penuh amarah dan kekerasan. Barangkali benar bahwa energi yang sama mereka salurkan juga ke dalam karya-karya lukisan mereka. Hasilnya memang luar biasa.

Untuk membuat seekor kuda berlari, biasanya ada dua cara populer. Dengan cemeti atau hadiah wortel. Menurut Stanley Bing, marah bisa menjadi cemeti yang kreatif. Membakar semangat para eksekutif agar terus bersemangat dan mengadakan perubahan.

Tulisan ini tentu saja tidak mengajak Anda untuk marah-marah di kantor. Juga bukan pembenaran tindakan marah-marah. Melainkan sebagai upaya agar kita lebih peka menghadapi lingkungan kantor.

Pesan saya, kalau ada yang tidak beres, jangan takut untuk mengadakan perubahan. Dan kalau perubahan itu menuntut Anda marah, silakan saja. Kadang-kadang marah itu sangat perlu.

Marah sebagai terapi manajemen memang antibudaya. Budaya kita mengajarkan agar selalu santun dan bersabar. Namun, untuk menerobos sebuah kemapanan yang buntu dan berkarat, marah bisa saja menjadi antibudaya yang dibenarkan. Asal jangan asal marah. Marahlah dengan bijaksana

Wednesday, November 15, 2006

John F. Kennedy on Imagination

The problems of the world cannot possibly be solved by skeptics or cynics whose horizons are limited by the obvious realities. We need men who can dream of things that never were.

Monday, November 13, 2006

Seminar Nasional 2006 HMJ Manajemen FE UNUD

BALI TOURISM MARKETING TOWARD INDONESIAN ECONOMIC RECOVERY
Sabtu, 2 Desember 2006,
Hotel Nikki - Bali

Kafi Kurnia - Si Biang Penasaran,
kembali hadir di Bali, dengan sesi yang menggelitik dan imajinatif,
prihal Tourism Marketing dan Destination Branding,
menampilkan sejumlah studi kasus,
dan taktik-taktik praktis yang jitu serta aplikatif,

Keterangan lebih lanjut : Semnas2006_manajemen@yahoo.co.id

Sunday, November 12, 2006

SEMINAR INTEL & LENOVO



Ikuti Seminar Perspektif Usaha Kecil Menengah 2007,
dengan pembicara Kafi Kurnia - pakar bisnis dan manajemen,
yang akan menggelar sesi mengenai peluang dan tantangan usaha dalam
menghadapi persaingan bisnis di tahun 2007

Selasa, 21 November 2006 - jam 09.00 - jam 13.00
Ballroom Ritz Carlton Hotel - Jakarta

RSVP - Ibu Shinta - Tel : +62215154546 - acara_ukm@mbicc.com

Friday, November 10, 2006

BANGKRUT

Hal yang paling ditakuti oleh semua pengusaha adalah jatuh bangkrut. Biasanya semua harta ludes, habis total. Perasaan dalam dada juga campur aduk. Ada perasaan gagal total, depresi, bercampur dengan sejumlah perasaan lainnya, mulai malu hingga tidak berdaya. Tapi tantangan yang paling penting adalah bisa bangkit kembali. Ini yang paling sulit. Berkali-kali saya bertemu dengan pengusaha yang pernah bangkrut, kebanyakan dari mereka tidak berhasil mengatasi depresi dan perasaan takut untuk bangkit kembali. Umumnya mereka jadi menjauhi bisnis. Salah satu dari mereka mengatakan bahwa jatuh bangkrut mirip dengan keseduh minyak panas. Sehingga mereka takut menyentuh minyak panas.

Jarang di dalam bisnis, kita melihat pengusaha tahan banting, yang bisa bangkit dari kebangkrutan. Saya bertemu seorang pengusaha Indonesia di Philadelphia, belum lama ini. Sebut saja namanya Om Yan. Dia bukan berasal dari keluarga kaya. Di akhir 1980-an, Om Yan mendirikan perusahaan kecil-kecilan. Berkat kerja keras, sekitar tahun 1994, perusahaannya berkembang cepat. Sayang, Om Yan terlalu ambisius. Tahun 1997, ketika terjadi krisis ekonomi, bisnisnya bangkrut total. Akibat terlalu banyak utang, Om Yan patah hati dan ingin mengubah nasib di Amerika. Ia ikut adiknya di Philadelphia. Mulai dari bawah, ia berusaha kerja apa saja.

Menurut cerita Om Yan, ia percaya pada kesempatan kedua. Katanya, setiap orang berhak mendapat kesempatan kedua. Ini alasan kenapa ia minggat ke Amerika. Di Philadelphia, ia bekerja sebagai sopir pengganti taksi dari kenalan adiknya. Kadang ia juga bekerja serabutan, jadi pelayan restoran dan pembersih kantor.

Lalu tiba-tiba datang kesempatan kedua itu. Ketika sedang menjadi sopir taksi, ia mendapat tamu seorang pengusaha Indonesia. Mereka lalu bersahabat, dan setiap kali pengusaha itu ke Philadelphia, ia selalu memesan taksi Om Yan untuk mengantarnya ke sana kemari. Untunglah, suatu hari bisnis sang pengusaha Indonesia meledak. Dan ia butuh orang yang bisa mewakili dirinya di Philadelphia, karena ia tidak bisa selalu datang ke Philadelphia. Maka, Om Yan beruntung diberi kepercayaan itu.

Dalam tiga tahun, bisnis mereka berkembang. Peran Om Yan makin besar, dan ia mulai bisa bangkit lagi. Ketika bercerita kepada saya, Om Yan sempat terharu. Katanya, hal yang membuat ia sedih, kesempatan keduanya tidak datang dari orang-orang terdekat. Tetapi justru dari orang jauh. Om Yan menasihati saya agar selalu hidup jujur, karena hanya dengan kejujuran itulah kita bisa menyentuh hati orang lain. Kejujuran mirip sebuah kunci yang membuka peluang. Kata Om Yan, "Orang boleh bangkrut dan miskin harta. Tapi jangan sekali-kali kita miskin kejujuran." Saya tersentuh.

Saya jadi teringat pada Slamet, bekas pembantu rumah tangga Mpu Peniti. Konon, Slamet telah mengabdi pada Mpu Peniti lebih dari 10 tahun. Suatu hari, ia permisi ingin balik kampung dan membuka bengkel dengan uang tabungannya. Setahun kemudian, Slamet kembali dan bercerita bahwa bisnis bengkelnya bangkrut. Ia mau kembali bekerja dengan Mpu Peniti. Tetapi oleh Mpu Peniti, Slamet dilarang bekerja. Malah ia dikasih modal untuk bisnis baru.

Slamet lalu membuka warung. Hampir dua tahun kemudian, Slamet kembali lagi dengan cerita yang sama. Ia korban gempa bumi di Yogyakarta. Bisnisnya bangkrut lagi. Duh, nasib Slamet memang apes total. Ketika ia kembali lagi bertemu dengan Mpu Peniti, lagi-lagi Slamet dilarang bekerja. Slamet kembali diberi modal tambahan. Dan Slamet kembali lagi berbisnis.

Melihat itu, mulanya saya protes, karena Slamet akan terus-menerus bergantung pada Mpu Peniti. Ini bukan pelajaran yang baik. Mpu Peniti cuma senyum-senyum. Kata beliau, "Kasihan Slamet, di matanya ada kejujuran dan kegigihan untuk mengubah nasibnya sendiri. Sayang sekali kalau semangat itu mati, dan Slamet menganggap takdirnya memang menjadi pembantu seumur hidup." Saya tersentuh. Barangkali, di saat Lebaran nanti, mari kita periksa dengan teliti orang-orang di sekeliling kita yang bukan saja perlu maaf, melainkan juga kesempatan kedua. Berikanlah kesempatan kedua itu kepada mereka, karena itu bisa menjadi penyulut semangat hidup mereka.

Monday, November 06, 2006

ZIKIR - PIKIR- KIKIR

“It is thrifty to prepare today for the wants of tomorrow “ - Aesop

ZIKIR-PIKIR-KIKIR

KADANG saya sedih mendengar seseorang dimaki: bloon, tolol, atau goblok. Seolah-olah orang itu telah mengabaikan kemampuannya berpikir. Sebaliknya, saya juga suka menertawakan teman yang putus asa menghadapi staf yang melakukan kesalahan sepele. Kesalahan itu sedemikian sembrononya, sampai-sampai mengindikasikan dia memang malas berpikir.

Soal di atas, saya ceritakan pada Mpu Peniti. Ia juga tertawa terkekeh-kekeh. Menurutnya, manusia memang diberkahi Tuhan seperangkat otak yang perlu diberdayakan pemakaiannya. Mpu Peniti menasehati, tiga langkah pemberdayaan otak. Pertama, kita harus sering berzikir. Artinya memfokuskan diri pada sebuah situasi di mana seluruh alam pikiran berada dalam kondisi meditasi untuk mengingat Allah.

Kedua pikir, yaitu memberdayakan otak kita dalam situasi yang terfokus antara analisis dan logika. Terakhir, adalah kikir, yaitu memfokuskan seluruh daya pemikiran kita untuk berhitung untung rugi secara finansial. Sehingga hidup kita selamat dari gaya hidup yang boros dan foya-foya.

Dalam pengertian sehari-hari, kikir memang sering diidentikkan dengan pelit, atau tidak mau berbagi rezeki. Tapi menurut Mpu Peniti, kikir haruslah diartikan sebagai pandai berhitung. Nah, zikir, pikir, dan kikir mestinya bisa menjadi sebuah pola menyusun strategi. Bahwa otak kita bisa diberdayakan untuk meditasi, analisis, dan berhitung.

Barangkali ketiganya perlu dijadikan pola, sebagai metode alternatif untuk merangsang anak-anak belajar berpikir imajinatif. Teman saya sering mengeluh, anak-anak kita di sekolah kebanyakan diwajibkan menghafal, yang sering tidak perlu, sehingga memboroskan kerja otak.

Contoh, seorang teman memperlihatkan lukisan yang dibuat anaknya ketika belum masuk sekolah. Luar biasa hebohnya. Penuh warna-warni. Segala macam bentuk. Sangat imajinatif. Tapi, ketika anaknya mulai bersekolah, lukisannya berubah.

Secara metodik, sang anak diajarkan mengambar dua gunung, di tengahnya ada matahari, awan, dan burung-burung. Jalan yang berkelok, dan di sebelah kanan sebuah rumah dan hamparan sawah di sekelilingnya. Ketika sekolah dulu, saya juga menggambar pemandangan sama.

Apakah metode belajar kita di sekolah memagari kemampuan berpikir dan membatasi imajinasi? Albert Einstein pernah mengatakan, imajinasi lebih penting dari pengetahuan. Masalahnya, bagaimana caranya agar setiap hari kita mampu merangsang para staf kita untuk berpikir imajinatif.

Mpu Peniti menasihati saya bahwa imajinasi memerlukan keberanian. Mungkin, setelah sekolah cara berpikir kita sudah terstruktur dengan pola-pola baku. Karena sudah terbiasa, akhirnya kita merasa aman. Nah, berpikir di luar pola yang ada, alias imajinatif, bisa mengusik rasa aman itu. Bagaimana caranya membuat cara berpikir imajinatif itu aman?

Ketika kecil, ibu saya mencari penghasilan tambahan dengan berjualan roti. Saat itu ibu tidak punya uang untuk kursus. Juga tidak punya pengetahuan apa-apa soal membuat roti. Ia hanya membaca buku, dan bertanya ke sana-sini. Roti pertama yang dibuatnya tidak bisa dimakan karena sekeras batu.

Satu hal yang saya pelajari dari Ibu adalah ia terus berpikir imajinatif. Berbagai eksperimen dilakukan, sampai menemukan cara sendiri membuat roti yang enak. Memang akhirnya ibu berhasil. Roti yang dibuatnya sempat terkenal.

Cerita Ibu saya melakukan improvisasi mirip dengan Harland Sanders, yang kemudian menemukan resep ayam goreng KFC. Konon Harland Sanders juga tidak sekolah khusus menjadi koki. Tapi dengan imajinasi, ia berhasil mencampur 11 macam rempah-rempah, agar ayam gorengnya gurih dan memang akhirnya terkenal di mana-mana.

Berpikir imajinatif memang memerlukan keberanian. Berani beda. Berani salah. Dan terkadang harus berani melawan arus. Namun, bukan asal berani begitu saja. Tapi berani menggunakan akal sehat. Kata Mpu Peniti, kemampuan kita berpikir akal sehat adalah anugerah dari Allah.