Saya
mengenal Teguh sejak akhir dekade 80’an. Ia baru saja balik dari Jerman, dengan
sejumlah kegelisahan. Dan itu terlihat jelas dalam karya lukisnya. Yang selalu
padat. Seolah ia ingin menumpahkan semua enerji-nya dalam satu kanvas. Kadang
terasa mengerikan. Seperti kita ingin memasukan seluruh amarah kita dalam satu
bejana. Kepadatan yang diperlihatkan Teguh, menjadi sebuah estetika yang
menghimpit dan menampar kita. Bila kita tidak kuat maka kita akan
dilontarkan-nya. Saat itu saya mengatakan kepada Teguh, itulah kekuatan
karya-nya. Sebuah interaksi yang liar. Teguh adalah meteor yang lepas dan
berkelanan di jagad raya.
Sejak
itu saya pernah berkolaborasi dengan Teguh dalam beberapa proyek kecil.
Ternyata ia seniman serba bisa. Mulai dari melukis, patung, dan juga tari dan
musik. Pernah sekali ia mengatakan bahwa baginya sebuah karya seni akan
berhasil kalau lingkungan menyerap karya itu dan menjadikan-nya bagian dari
sebuah lingkungan. Dan bukan sebaliknya. Kadang orang meletakan sebuah lukisan
dalam sebuah ruangan dengan harapan bahwa lukisan itu menjadi titik api.
Akibatnya lingkungan itu rusak porak poranda. Tidak keruan.
Tahun 2005, Teguh mengirimkan email kepada saya dengan sejumlah foto. Karya-karya patungnya terbaru. Kali ini saya kembali tertegun. Karena Teguh membuat beberapa patung Kristus dan Bunda Maria. Karya yang sangat religius. Konon karya Teguh ini kemudian di letak-kan di Gereja St. Mary of Angels di Singapura dan memancing reaksi cukup banyak. Seringkali ornamen and aterfak gereja memang sengaja dibuat sebagai titik api. Misalnya saja salib atau Kristus di kayu salib, seringkali dipasang diatas Mimbar menjadi titik api yang monumental. Seringkali karya itu dibuat dengan sentuhan realistis estetik untuk menggugah emosi. Karya Teguh tidak setransparan itu. Karena membutuhkan interpertasi dan interaksi, dan secara konsisten Teguh meletak-kan-nya jauh dari titik api. Sehingga kehadiran karya Teguh bagi banyak orang mungkin akan mengusik. Menggelitik. Menciptakan kesadaran baru. Bahwa ibadah kita yang komunal memiliki aspek privatisasi dengan emosi baru. Apapun juga percikan emosi yang kemudian timbul, kita perlu mengangkat topi pada keberanian Teguh berkarya dalam aspek ini.
Tanpa terasa waktu berjalan sangat cepat. Teguh masih saja awet muda. Ia kembali menceritakan karya instalasinya. Di sebuah atrium pusat belanja Jakarta yang megah dan moderen, Teguh menggantung sejumlah kuali. Lalu kamipun ngopi bersama bergurau soal kuali itu. Teguh masih memiliki gurauan dan ejekan yang sama. Tentang lingkungan dan kita sebagai manusia yang sering tidak taat menghormati lingkungan. Kita yang tidak senonoh merusak lingkungan. Kita yang rakus merampok lingkungan. Terus terang saya tertawa ketika ia menjelaskan kembali filosofinya secara halus. Biar bagaimanapun Teguh manusia Indonesia yang lahir di Jakarta dari lingkungan Jawa dan mampu bernyanyi “sinden” ala Jawa ini, selalu menunjukan perhormatan yang khidmat terhadap lingkungan. Saat itu saya mengakui kemampuan diplomasinya, yang ulung saat membujuk pemilik pusat belanja agar mau menggantung ratusan kuali di atriumnya. Menjadikan kuali, sesuatu yang remeh menjadi pusat atraksi.
Argumen Teguh saat itu, kuali adalah obyek yang barangkali dimiliki oleh seluruh rumah di Indonesia. Letaknya selalu didapur. Tidak pernah mendapat penghormatan penting. Tetapi fungsinya sangat vital. Yaitu kesejahteraan, kenikmatan dan kebahagian perut diseluruh keluarga. Usai penjelasan itu. Saya berhenti tertawa. Ada satu keharuan baru yang saya rasakan. Bagaimana Teguh memiliki rasa khidmat yang khusus terhadap kuali. Sayapun mulai mengerti dan mendalami apa yang ia katakan pada saya dua puluh tahun yang lalu tentang lingkungan dan seni. Bahwa seni tidak harus arogan dan merampas keindahan sebuah lingkungan. Melainkan seni harus mengabdi kepada lingkungan. Setia kepada lingkungan.
Usai peristiwa itu, Teguh mengontak saya. Ia ingin saya mengulas karya terbarunya, yang merupakan karya-karya patung yang terbuat dari besi rongsok-kan. Ia menyebutnya “deFACEment”. Semuanya tentang interpertasi wajah. Medium yang dipilih Teguh dalam dunia seni bukanlah sesuatu yang baru.Tetapi pendekatan dan prosesnya yang baru. Secara bergurau, ia berkata kepada saya, bahwa pesan filosofis yang ia ingin sampaikan kali ini adalah soal “karat”. Sesuatu yang berkarat, biasanya kita anggap rusak dan sampah rongsokan. Tetapi kalau karat itu adalah karya Teguh Ostenrik, kemungkinan besar orang mau membelinya dengan harga sangat mahal dan memberikan tempat yang sangat terhormat untuk memajangnya. Sayapun tertawa mendengarnya. Teguh kali ini berbisik sangat pelan, bahwa apapun bilamana diberikan kesempatan akan mampu menyatu dengan alam dan lingkungan. Termasuk didalamnya sesuatu yang berkarat. Sekali lagi Teguh memperlihatkan bahwa alam dan lingkungan sebenarnya mememiliki kerendahan hati yang luar biasa. Bisikan Teguh kali ini lirih tapi sangat bijak. Barangkali ini adalah satu penyebab penting, yang membuat Teguh terpilih sebagai Seniman 2009 versi sebuah majalah beken di Indonesia.
Ketika istrinya hamil - Teguh menggelar karya-nya yang terbaru. Linea Nigra begitu judulnya. 11 lukisan besar dan 12 patung metal. Linea Nigra artinya garis hitam yang muncul ditengah perut perempuan pada saat kehamilan. Teguh secara implisit mendokumentasikan saat-saat paling intim ketika istrinya mengandung. Kali ini Teguh masuk keruang publik yang sangat pribadi sekali. Ide baru yang cukup menggelitik. Saya tertawa lagi dan sekaligus sempat terkejut. Teguh memperlihatkan kematangan berkarya yang unik. Lukisan dan patungnya jauh lebih manis dan rapi. Tidak sekasar 20 tahun yang lalu. Mungkin sebagian enerjinya telah terserap oleh lingkungan. Atau Teguh memang sedang berhemat enerji. Terlihat jelas kegusaran dan kegelisahan Teguh semakin menipis, kali ini. Ia bukan lagi bocah yang nakal dan jahil. Ia semakin bijak dan menyatu dengan lingkungan. Atau mungkin karena karya ini sangat pribadi, maka kita melihat Teguh dengan kempompong yang berbeda.
Tahun 2005, Teguh mengirimkan email kepada saya dengan sejumlah foto. Karya-karya patungnya terbaru. Kali ini saya kembali tertegun. Karena Teguh membuat beberapa patung Kristus dan Bunda Maria. Karya yang sangat religius. Konon karya Teguh ini kemudian di letak-kan di Gereja St. Mary of Angels di Singapura dan memancing reaksi cukup banyak. Seringkali ornamen and aterfak gereja memang sengaja dibuat sebagai titik api. Misalnya saja salib atau Kristus di kayu salib, seringkali dipasang diatas Mimbar menjadi titik api yang monumental. Seringkali karya itu dibuat dengan sentuhan realistis estetik untuk menggugah emosi. Karya Teguh tidak setransparan itu. Karena membutuhkan interpertasi dan interaksi, dan secara konsisten Teguh meletak-kan-nya jauh dari titik api. Sehingga kehadiran karya Teguh bagi banyak orang mungkin akan mengusik. Menggelitik. Menciptakan kesadaran baru. Bahwa ibadah kita yang komunal memiliki aspek privatisasi dengan emosi baru. Apapun juga percikan emosi yang kemudian timbul, kita perlu mengangkat topi pada keberanian Teguh berkarya dalam aspek ini.
Tanpa terasa waktu berjalan sangat cepat. Teguh masih saja awet muda. Ia kembali menceritakan karya instalasinya. Di sebuah atrium pusat belanja Jakarta yang megah dan moderen, Teguh menggantung sejumlah kuali. Lalu kamipun ngopi bersama bergurau soal kuali itu. Teguh masih memiliki gurauan dan ejekan yang sama. Tentang lingkungan dan kita sebagai manusia yang sering tidak taat menghormati lingkungan. Kita yang tidak senonoh merusak lingkungan. Kita yang rakus merampok lingkungan. Terus terang saya tertawa ketika ia menjelaskan kembali filosofinya secara halus. Biar bagaimanapun Teguh manusia Indonesia yang lahir di Jakarta dari lingkungan Jawa dan mampu bernyanyi “sinden” ala Jawa ini, selalu menunjukan perhormatan yang khidmat terhadap lingkungan. Saat itu saya mengakui kemampuan diplomasinya, yang ulung saat membujuk pemilik pusat belanja agar mau menggantung ratusan kuali di atriumnya. Menjadikan kuali, sesuatu yang remeh menjadi pusat atraksi.
Argumen Teguh saat itu, kuali adalah obyek yang barangkali dimiliki oleh seluruh rumah di Indonesia. Letaknya selalu didapur. Tidak pernah mendapat penghormatan penting. Tetapi fungsinya sangat vital. Yaitu kesejahteraan, kenikmatan dan kebahagian perut diseluruh keluarga. Usai penjelasan itu. Saya berhenti tertawa. Ada satu keharuan baru yang saya rasakan. Bagaimana Teguh memiliki rasa khidmat yang khusus terhadap kuali. Sayapun mulai mengerti dan mendalami apa yang ia katakan pada saya dua puluh tahun yang lalu tentang lingkungan dan seni. Bahwa seni tidak harus arogan dan merampas keindahan sebuah lingkungan. Melainkan seni harus mengabdi kepada lingkungan. Setia kepada lingkungan.
Usai peristiwa itu, Teguh mengontak saya. Ia ingin saya mengulas karya terbarunya, yang merupakan karya-karya patung yang terbuat dari besi rongsok-kan. Ia menyebutnya “deFACEment”. Semuanya tentang interpertasi wajah. Medium yang dipilih Teguh dalam dunia seni bukanlah sesuatu yang baru.Tetapi pendekatan dan prosesnya yang baru. Secara bergurau, ia berkata kepada saya, bahwa pesan filosofis yang ia ingin sampaikan kali ini adalah soal “karat”. Sesuatu yang berkarat, biasanya kita anggap rusak dan sampah rongsokan. Tetapi kalau karat itu adalah karya Teguh Ostenrik, kemungkinan besar orang mau membelinya dengan harga sangat mahal dan memberikan tempat yang sangat terhormat untuk memajangnya. Sayapun tertawa mendengarnya. Teguh kali ini berbisik sangat pelan, bahwa apapun bilamana diberikan kesempatan akan mampu menyatu dengan alam dan lingkungan. Termasuk didalamnya sesuatu yang berkarat. Sekali lagi Teguh memperlihatkan bahwa alam dan lingkungan sebenarnya mememiliki kerendahan hati yang luar biasa. Bisikan Teguh kali ini lirih tapi sangat bijak. Barangkali ini adalah satu penyebab penting, yang membuat Teguh terpilih sebagai Seniman 2009 versi sebuah majalah beken di Indonesia.
Ketika istrinya hamil - Teguh menggelar karya-nya yang terbaru. Linea Nigra begitu judulnya. 11 lukisan besar dan 12 patung metal. Linea Nigra artinya garis hitam yang muncul ditengah perut perempuan pada saat kehamilan. Teguh secara implisit mendokumentasikan saat-saat paling intim ketika istrinya mengandung. Kali ini Teguh masuk keruang publik yang sangat pribadi sekali. Ide baru yang cukup menggelitik. Saya tertawa lagi dan sekaligus sempat terkejut. Teguh memperlihatkan kematangan berkarya yang unik. Lukisan dan patungnya jauh lebih manis dan rapi. Tidak sekasar 20 tahun yang lalu. Mungkin sebagian enerjinya telah terserap oleh lingkungan. Atau Teguh memang sedang berhemat enerji. Terlihat jelas kegusaran dan kegelisahan Teguh semakin menipis, kali ini. Ia bukan lagi bocah yang nakal dan jahil. Ia semakin bijak dan menyatu dengan lingkungan. Atau mungkin karena karya ini sangat pribadi, maka kita melihat Teguh dengan kempompong yang berbeda.
Hampir 3 tahun
yang lalu – Teguh mendapat mandat untuk membuat sebuah patung Jesus Kristus di
gereja Yohannes Maria Vianney di Cilangkap. Patung ini dibuatnya dari besi-besi
bekas. Lalu terjadilah kecelakaan itu. Iseng saya minta ijin untuk membuat dokumenter
tentang patung itu – dan seperti kata Lao Tze maka langkah pertama itu akhirnya
terjadilah. Maka bertiga, saya, Teguh dan sinease Eko Nobel memulai sebuah
perjalanan karavan yang panjang
Usai
merampungkan film dokumenter itu, perjalanan kami berlanjut dengan shooting
tambahan di Jawa Tengah, dan kami menyadari bahwa rasanya tidak adil kalau kami
tidak memfilmkan karya Teguh yang pertama tentang tubuh Kristus yang dibuat Teguh
Ostenrik pada tahun 2003 di gereja St Mary of the Angels di Bukit Batok
Singapura. Dalam karya tahun 2003 ini Teguh menampilkan tubuh Kristus yang
dibuatnya tanpa salib dan digantung melayang. Sebuah esensi kebangkitan Kristus
yang kotemporer. Teguh meramunya dengan kerapuhan yang sangat magis dan
sekaligus sakral.
Tubuh Kristus
yang selama beratus-ratus tahun selalu divisualkan oleh banyak perupa dengan
gaya estetika yang sangat humanis sempurna, oleh Teguh justru ditampilkan
dengan kerapuhan yang menyatukan derita dan kebangkitan Kristus dalam sebuah
kesatuan ungkapan yang baru. Teguh menyebutnya sebagai sebuah proses prosesi
“dematerialisasi”.
Usai mengambil
tayangan karya Teguh di Singapura, maka karavan kami lanjutkan dengan mengambil
tayangan yang berikutnya yaitu karya Teguh ditahun 2005 – di Bukit Doa Mahawu
di Tomohon – Menado, Teguh melangkah lebih lanjut dengan konsep
“dematerialisasi” lanjutan - menampilkan Corpus Christi yang kedua. Di bukit
ini Teguh melengkapinya dengan jalan salib sepanjang 1km, lengkap dengan 14
stasi yang melukiskan perjalanan Kristus ke Bukit Golgota.
Teguh
menampilkan intensitas kerapuhan yang berlanjut. Sebuah prosesi. Memberikan peluang kepada kita semua untuk
ikut larut dalam misteri derita Kristus yang magis. Sebuah keintiman yang
merangkul keimanan kita dalam sebuah meditasi baru.
Dan akhirnya
pada tahun 2015, di gereja Yohannes Maria Vianney – lahir Corpus Christi yang
ketiga. Kini dematerialisasi Teguh menembus batas baru, yang bukan lagi
kerapuhan melainkan justru sebuah kekuatan baru. Sebuah kesakralan kebangkitan
yang sangat masif. Uniknya materi tubuh Kristus dirangkai dalam besi-besi bekas
yang menvisualisasikan bukan saja kebangkitan namun juga kelahiran yang baru.
Berlainan
dengan sebuah novel yang mungkin berseri, ketiga karya Corpus Christi - Teguh
Ostenrik yang lahir dalam priode 12 tahun lebih ini, tidak memiliki serial dari
satu hingga ketiga. Melainkan lebih mirip sebuah lingkaran yang memungkinkan
setiap orang memulainya dari titik manapun.
Kehadirannya
tidak menunjukan sebuah ketibaan, melainkan sebuah karavan yang terus
berlanjut, yang mengagas keimanan kita. Sekarang dan sepanjang waktu.
Menjadikannya kesakralan yang abadi.
Ditengah
maraknya benda seni dikoleksi sebagai investasi dan diperjual belikan secara
komersial. Seringkali benda seni hanya menjadi piala yang dipertontonkan dengan
prestise. Ia-pun menjadi titik api dan merampas kesucian sebuah lingkungan.
Seniman seperti Teguh, pasti tidak pernah berpikir membuat piala. Karena sebuah
karya seni seharusnya menjadi sangat mahal dan berharga, bukan sebagai
kepemilikan individu tetapi sebagai kepemilikan publik.
Teguh
seringkali mengatakan pada saya, bahwa membuat sebuah karya seni adalah merekam
momen-momen tertentu dalam kehidupan ini, dan meniupkan sebuah nafas keabadian
yang membuat momen-momen tertentu itu menjadi indah dan bisa dinikmati publik
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Itu adalah ibadah yang sangat indah
! Teguh telah melaksanakannya dengan sangat khusuk dan khidmat.
Film ini kami
buat bersama dengan kesadaran penuh bahwa kami tidak bermaksud untuk
membenturkan iman kita dan membuatnya menjadi penyok dan cacat atau sebaliknya
membuat utuh sebuah kelunturan yang usang. Sama sekali tidak. Melainkan sebuah
perayaan keimanan yang sangat sakral atas misteri terbesar di muka bumi yaitu
Kebangkitan Kristus.