Betapa sering
kita menemukan kerabat atau sahabat yang hidupnya sangat sunyi menjelang
usianya yang senja. Teman saya seorang pemerhati masalah sosial budaya
menyebutnya sebagai “mereka yang tidak kita sayang”. Kebetulan belum lama ini
saya melayat seorang kerabat yang kebetulan wafat. Usianya menjelang 60 tahun,
pria, tidak menikah dan masih hidup menumpang dengan ibunya. Wajahnya tidak
terlalu ganteng, kebetulan sekolahnya tidak selesai, tidak memiliki karir yang
jelas, tidak pandai bergaul. Kerabat saya meninggal setelah terjatuh di kamar
mandi. Barangkali sebuah cerita yang kita dengar terlalu sering. Bahwa hampir
dalam tiap keluarga kita menemukan kasus yang serupa. Seseorang yang boleh
dikatakan nasibnya kurang beruntung dan seringkali menjadi kasta yang hampir
terbuang dan menjadi kelompok “mereka yang tidak kita sayang”. Terus terang
ketika melayat tempo hari saya merasakan kesedihan yang luar biasa. Karena saya
bisa merasakan kesunyian hidup yang ia derita diakhir hidupnya. Ketika kuliah
saya juga pernah merasakan kebimbangan yang sama, apakah kita akan punya karir
yang sukses ? Menjadi orang yang populer ? Banyak teman dan disukai oleh orang
banyak ? Memiliki hidup yang tidak sunyi ?
Teman saya yang
pemerhati masalah sosial itu, pernah memperlihatkan kepada saya sebuah film
dokumenter tentang orang-orang gelandangan di Amerika yang tidak memiliki rumah
– tinggal dijalan dan menjalani hidup yang sangat sunyi. Teman saya menjelaskan
bahwa sebagai masyarakat moderen dengan interaksi kemanusian yang semakin
terjarangkan dan waktu kita semakin dijajah oleh tekhnologi, kemampuan kita
berkomunikasi yang tulus dan intim antara sesama manusia menjadi berkurang
intensitasnya. Dan cenderung menjadi basa basi. Percakapan yang cerdas antara
sesama manusia menjadi langka. Puisi menjadi spesies yang terancam punah. Musik
cenderung menjadi bunyi yang monoton. Kemampuan kita bicara hati ke hati dengan
jiwa kita menjadi encer dan tidak lagi menggugah. Kita kehilangan suara jiwa.
Lumpuh secara artifisial.
Lalu kekaguman
kita menjadi sangat semu. Kita hanya menoleh pada mobil mewah, bau parfum yang
menggoda dan gelak tawa sesaat. Maka kemampuan kita menyayangi kerabat,
keluarga dan sahabat menjadi sangat terbatas. Pertalian jiwa kita menjadi semu.
Itu sebabnya “mereka yang tidak kita sayang” menjadi kaum rata-rata yang
semakin banyak. Tanpa kita sadari sebenarnya kita menjelma rupa kesebuah
penampakan yang sangat berbeda di sosial media. Kita jadi rajin melatih diri
agar kita tampil berbeda di sosial media, agar kita menarik perhatian orang
lain, agar kita disukai. Percaya atau tidak kita sebenarnya adalah pelacur
sosial media. Kita mendambakan kasih sayang artifisial – dari sebuah “like” –
“follower” atau “comment”.
Mpu Peniti –
mentor saya, menyebutkan sebagai sebuah fenomena “Mati Rasa” yang sangat
serius. Panca indera kita secara fisik mungkin masih normal, tetapi panca
indera jiwa kita menjadi gersang, tandus, tumpul dan mati. Saya sendiri sangat
merasakan itu. Belum lama ini, ketika saya bertemu dengan seorang teman jaman
kuliah, dia mengatakan bahwa ia sangat merindukan percakapan panjang dimasa
kuliah. Pernah sekali sehabis sebuah pesta, kami bicara berjam-jam hingga subuh
hanya tentang puisi dan novel George Orwell – 1984. Kita berdua bicara tentang
ketakutan kita untuk masa depan yang belum jelas. Dan pembicaraan seperti itu
rasanya sangat langka dijaman ini. Akibatnya emosi jaman sekarang tidak lagi
kita nikmati dalam wujudnya yang jujur dan apa adanya, sehingga bisa kita
nikamti dan kita rasakan menjadi penyembuh luka jiwa. Emosi jaman sekarang
menjadi sebuah lambang di halaman sebuah sosial media. Semuanya serba semu
belaka.
Karena erosi
nilai yang semakin korosif ini, akhirnya jaman mendorong kita pada ketumpulan
“mati rasa” yang dikatakan oleh Mpu Peniti itu. Teman saya lebih lanjut
mengatakan bahwa salah satu akibatnya, kita sebagai masyarakat kehilangan arti
pada sebuah nilai-nilai dasar. Misalnya ia menuduh masyarakat kita tidak tahu
arti sesungguhnya tentang kebaikan. Saya tentu saja kaget dan terperangah. Bagaimana
mungkin ???
Karena menurut
Gallup Poll – orang Indonesia adalah bangsa yang paling dermawan nomer dua
didunia tahun 2016. Bukankah artinya orang Indonesia semuanya mengerti kebaikan
? Teman saya menyanggah dengan mengatakan bahwa orang Indonesia terlatih
berbuat baik seperti menyumbang. Artinya bila terjadi bencana alam, orang
Indonesia tidak pernah segan menyumbang dan dengan mudahnya menyumbang. Menurut
teman saya, orang Indonesia gagal mengerti mana yang baik dan benar. Teman saya
menggugat bahwa dalam index persepsi korupsi dunia – posisi Indonesia tahun
2016 adalah 90 mundur dari posisi 88 pada tahun 2015. Artinya orang Indonesia
tidak merasa berdosa – tidak merasa salah dengan melakukan korupsi. Secara
kasar teman saya menuduh kita gagal membedakan mana yang baik dan benar.
Walaupun kita sangat terlatih berbuat kebaikan. Kita boleh saja mudah berbuat
baik misalnya berderma, namun kita sesungguhnya “mati rasa” dalam arti kebaikan
yang sesungguhnya.
Barangkali
sangat sulit bagi kita untuk menerima pendapat teman saya itu secara gamblang
dan tuntas. Mungkin benang merahnya belum terlihat jelas dan masih tersamar.
Tetapi fenomena “mati rasa” rasanya sulit terbantahkan. Saya merasakan bahwa
ini merupakan sebuah tepukan di bahu yang memperingatkan kita tentang sebuah
bahaya didepan. Kita perlu waspada dan hati-hati. Ditengah erosi yang membuat
kita semakin tenggelam, sebagai manusia dan bangsa kita butuh tampil
kepermukaan menjadi lebih baik. Mengasah panca indera kita tentang nilai-nilai
kebaikan. Bukan hanya kepada sejumlah tindakan yang baik.
Dalam tradisi
masyarakat moderen dimana kita terlatih mengurangi dosa dan rasa bersalah
dengan beribadah dan mohon ampun. Berderma dan menyumbang kepada sesama.
Mungkin yang lebih penting adalah bukan berbuat baik sebanyak-banyaknya. Tetapi
membiasakan diri menyemai kebaikan. Dan bukan melatih cara berhitung untuk
berbuat baik agar dosa dan kesalahan kita dikurangi. Kebaikan perlu kita hayati
dan kita amalkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Panca indera kita untuk
mewujudkan kebaikan dalam kehidupan kita sehari-hari perlu kita tumbuhkan.
Sebagai sebuah gaya hidup yang sehat.
#SEMAIKEBAIKAN