Anda pasti bosan mendengarnya
! Bahwa kita masih terbelengu dengan warisan feodal. Tapi teman saya yang kebetulan
mengamati perilaku memberi salam, punya pengamatan yang sangat menarik. Katanya
secara turun menurun kita mewarisi perasaan tidak percaya diri. Disatu sudut
kita punya kebutuhan emosi untuk disanjung. Tetapi kita juga punya kebutuhan
untuk merendahkan diri. Secara humor, teman saya ini bercerita, kalau kita
terkadang "maksain diri", kadang "ngak tau diri". Tapi
tidak pernah utuh percaya diri. Itu analisa dia.
Kalau "ngak tau
diri" - fenomena ini rada umum, menurut teman saya. Tapi "maksain
diri" menjadi tekanan masyarakat yang semakin keras, yang memaksa kita
menguras kartu kredit dan berhutang, demi untuk punya status. Yang lebih parah
lagi ada fenomena untuk "maksain diri" punya istri banyak. Teman saya
membuktikan-nya dengan mengajak saya makan siang dengan seorang pegawai negeri.
Sang pegawai negeri ini umurnya diawal 40'an. Ketika ia datang, ia membawa
wanita muda. Cantik dan sintal. Mereka tampak mesra. Dan ketika makan, tak lupa
saling suap-suapan. Usai makan dan pegawai negeri ini mohon diri, saya dan
teman saya lanjut untuk mengobrol ditemani kopi.
Ceritanya sang pegawai negeri
ini, sudah punya satu istri dengan 2 anak. Lalu punya lagi istri simpanan
dengan satu anak. Dan dengan wanita muda tadi, ia sedang pacaran. Konon dalam
taraf membelikan rumah dan mobil. Pertanyaan-nya mengapa ia memaksa-kan diri
untuk punya 3 istri. Apakah memang ia punya nafsu gede, tapi takut dosa ?
Ataukah karena alasan lain ? Teman saya yang sudah ngobrol panjang lebar dengan
sang pegawai negeri, menyimpulkan bahwa sang pegawai negeri punya istri 3,
semata untuk status. Pertama biar dia dikenal dilingkungan-nya sebagai pria
perkasa. Pejantan bereputasi. Begitu istilah teman saya. Kedua percaya atau
tidak sebagai faktor motivasi membuat ia lebih percaya diri menghadapi staff
wanita di kantor. Pilar pemimpin yang kokoh. Kilah sang pegawai negeri. Dan
yang ketiga sebagai status kemapanan. Terus terang ini juga warisan feodal
jaman dulu. Bahwa raja hingga jagoan, selalu punya istri dan selir yang sangat
banyak dijaman dulu.
Saya merasa semua alasan itu
diluar logika. Tidak masuk akal. Tapi itulah fenomena "maksain diri".
Yang super parah sang pegawai negeri menjadi mata duitan. Lapar bukan main
untuk korupsi. Kemana-mana ngobyek dan cari mangsa. Hal ini terpaksa dilakukan
demi memenuhi kebutuhan 3 keluarga itu. Saya jadi merinding mendengarnya.
Fenomena "maksain diri" bisa jadi penyakit ganas di masyarakat kita.
Nah, teman saya melanjutkan
dengan cerita menarik lain-nya. Menurut teman saya, sebagai bangsa kita sangat
sopan. Kita selalu menyebut seseorang dengan "Bapak" dan
"Ibu". Dan terkadang ditambahkan "yang terhormat" bapak anu
dan ibu anu. Tidak pernah kita menyebut dengan nama langsung. Terasa tidak
nyaman dan tidak sopan. Untuk orang yang lebih tua, tidak jarang kita meminjam
istilah feodal warisan Belanda. Seperti Om dan Tante, atau juga Opa dan Oma.
Ketika kecil dulu, beberapa
pembantu Ibu saya, yang masih bersikap feodal, memanggil saya dengan sebutan
"babah" atau "sinyo". Saya selalu risih dengan sebutan Ibu.
Teman saya menuturkan bahwa dijaman
Hindia Belanda dahulu, menyalami orang dengan tingkat status lebih tinggi juga
sudah ada tradisinya. Untuk orang Belanda kita memanggilnya dengan Meneer. Dan
khusus orang Tionghoa, tidak jarang mereka diberi sebutan "tauke".
Setelah jaman kemerdekaan, dan terutama di tahun 70'an, yang lebih populer
adalah panggilan "boss". Barangkali film-film gangster seperti
"Godfather" dan film Bruce Lee "The Big Boss", ikut
mengukuhkan posisi sebutan "boss" ini cukup lama. Dijaman ini, kita
secara gamblang mempopulerkan sebutan "boss", baik secara negatif
maupun secara positif. Menjadi "boss" barangkali juga menjadi idaman
banyak orang. Pokoknya "boss" adalah status yang membanggakan.
Setelah reformasi tahun 1998,
menurut teman saya terjadi perkembangan status yang lebih unik. Kita masih
malu-malu untuk mempopulerkan kesederajatan dan persamaan. Maka muncul istilah
"broer" dan "bro". Yang bertujuan untuk mengakrabkan antara
kita dengan teman atau kolega yang lain. Kita mencoba menghilangkan semua
jurang pemisah dan kecanggungan bergaul dengan menjadikan teman, sahabat dan kolega
kita sebagai saudara, atau muculnya semangat persaudaraan.
Yang menarik, anak-anak muda,
mengubah sebutan "boss" menjadi ucapan yang lebih ngetrend, ramah dan
bersahabat. Maka muncul-lah sebutan "Juragan" yang kemudian disingkat
menjadi "gan". Sebutan ini cukup populer diinternet dan dikalangan
anak muda. Jadi menurut teman saya, sikap tidak percaya diri kita mengalami
evolusi yang sangat unik. Bahwa kita tetap saja, ingin merendah, dan apakah
kita haus idola pimpinan nasional yang bisa menjadi panutan. Perkembangan
terakhir, adalah sebutan "komandan" terhadap pimpinan atau orang yang
kita hormati.
Suatu hari di sebuah lounge
di airport Surabaya, seorang pria yang sedang menelpon, berulang kali menjawab
"Siap - komandan". Disaat itulah saya jadi tertawa dan ingat semua
penuturan teman saya ini. Teman saya menyimpulkan, bahwa bahasa tubuh kita,
sepertinya rindu dengan seorang pemimpin besar yang bisa mengayomi dan
memberikan perintah yang pas. Bagi calon presiden 2014, fenomena ini bisa jadi
kajian super unik. Bukan mustahil, istilah "komandan" adalah
kerinduan publik terhadap pemimpin dengan latar belakan militer. Atau ketidak
puasan kita terhadap pemimpin sipil yang dianggap tidak tegas, korup, dan tidak
bisa membuat perubahan berati setelah reformasi berumur 15 tahun ?
Apapun juga kesimpulan-nya,
sebagai bangsa, rasanya kita harus punya revolusi sikap. Ini penting banget !
Yaitu sebagai bangsa, kita perlu optimis dan percaya diri. Punya keinginan
untuk tampil memimpin. Jangan terus menerus ingin menjadi bawahan dan dipimpin.
Barangkali dalam kesempatan yang sama - revolusi sikap ini juga menjadi obor
yang menyalakan semangat kita untuk berpelilaku baru. Menghapus semua stigma
tentang sikap yang selalu "ngak tau diri". Dan sikap yang
"maksain diri". Cukup menggantinya dengan sikap percaya diri.
Membentuk kesatuan bahwa kita percaya diri dan bangga dengan diri kita dan
Indonesia.