Seattle - 26 Oktober 2012 - jam 2 pagi. Sebuah SMS masuk, ".... hahahahahaha ..... Emang bener .... Tuhan itu ada, bung !". Saya hanya melihat sekilas. Tersenyum lalu berusaha untuk kembali tidur. Jetlag yang menyertai saya, masih lekat disemua syaraf saya, dan belum juga reda sama sekali. Tidur saya selalu tersiksa dalam beberapa hari ini. Tidak pernah pulas. Bagaikan lampu hias yang terus berkedip.
Esok harinya, ketika menyeruput cappuccino ditemani
roti bakar, saya teringat SMS tadi subuh. Sebelum berangkat ke Amerika, teman
karib saya, minta ketemu. Kami bertemu, ngobrol basa basi, lalu tiba-tiba saja
ia menangis tersedu. Bukan cuma sebentar. Tapi 20 menit lebih. Ia juga tidak
mau bercerita apa susah dan deritanya. Ia hanya menangis. Saya juga tidak mau
usil dan bertanya. Usai menangis kami sempat ngobrol ngalor ngidul sampai
hampir 2 jam. Ketika mau berpisah, kata saya, " Hampir semua teman-teman
kita, hanya mengenal kau sebagai sosok yang selalu berbuat kebaikan. Selalu
menolong teman. Percaya-lah Tuhan itu ada !" Begitu saya menghibur dia.
Teman saya hanya mengangguk pelan. Lalu kami berpisah. Hingga selang seminggu
kemudian SMS itu masuk ketika saya di Seattle. Sayapun lega. Harapan saya, apapun
masalahnya, ia menemukan solusi yang terbaik.
Dalai
Lama sendiri pernah mengatakan dengan sangat sederhana : " My religion is very simple. My
religion is kindness." Pernah sekali waktu, satu hari mentor saya,
Mpu Peniti, bertanya kepada saya "Andaikata kamu disuruh memilih. Kamu mau
jadi orang baik ? Atau orang jahat ?" - Saya tertawa, dan langsung berkata
enteng: "Yah, jadi orang baik dong !" - Mpu Peniti mengernyitkan
dahinya, "Serius ?".
Saya langsung terdiam. Seolah ada sesuatu yang
mengganjal kerongkongan saya. Dada saya terasa sesak. Karena saya tidak berani
mengaku "orang yang baik". Saya hanya berusaha menjadi orang baik.
Dan saya alami betul, menjadi orang baik sangat susah. Hidup tanpa dendam,
tanpa iri, tanpa kelicikan, tanpa kebohongan, dan terus menerus baik -
sangatlah susah. Barangkali hampir tidak mungkin ! Lalu Mpu Peniti, bercerita
tentang seorang murid, yang baru saja kalah berkelahi, karena dikeroyok orang
banyak. Sang murid bertanya kepada sang guru, minta nasehat. Apa yang harus ia
lakukan ? Sang guru memejamkan matanya, menarik nafas. Lalu berkata perlahan,
"Kau harus punya keberanian untuk memaafkan mereka." Sang murid
bingung. Lalu protes. Ia berkata, bahwa ia telah luka, cedera, dan juga
dipermalukan. Sang guru berkata, "Luka bisa sembuh. Harga diri bisa pulih.
Tapi dendam tidak akan pernah habis. Dendam akan terus tumbuh." Sang murid
menangis tidak bisa menerima nasehat gurunya. Akhirnya, sang guru menuntun
muridnya menaiki sebuah bukit. Dipuncak bukit, sang guru mengajak sang murid
diam sejenak dan melakukan meditasi. Lalu berceritalah sang guru. "Wahai
murid-ku lihatlah. Puncak bukit selalu lebih runcing dan terjal. Karena runcing
dan terjal maka puncak bukit tidak pernah bisa menampung air hujan. Akibatnya
di puncak bukit tidak banyak kita temui pepohonan. Karena semua kesuburan-nya
selalu dikikis air hujan dan dibawah ke lembah. Dan lihatlah lembah dibawah
kita, sangat subur, penuh dengan tanaman. Karena semua air hujan turun kelembah
bersama semua kesuburan-nya."
Sang guru menarik nafas panjang. Lalu melanjutkan,
"Semua kebaikan apabila disatukan maka akan menjadi sebuah kebaikan besar
yang menciptakan sebuah kesejahteraan yang besar. Namun kalau saja kita
mengumpulkan semua yang tidak baik menjadi satu, maka yang akan timbul adalah
keserakahan, dendam, iri, cemburu, permusuhan, dan perperangan diantara sesama.
Tidak ada kesatuan. Maka semuanya meruncing, menjadi terjal, tajam, dan kering
sendiri" Saat itulah Mpu Peniti, menasehati saya agar berbuat kebajikan
dan kebaikan sebanyak mungkin. Menurut beliau dalam hidup ini, lebih baik
menjadi lembah yang subur. Dari pada puncak gunung yang gersang.
Setahun
setelah kuliah kebajikan yang saya terima dari Mpu Peniti, saya bertemu seorang
Romo di Hongkong. Saat itu saya sedang makan siang sendiri. Rupanya Romo
penggemar tulisan saya dibeberapa kolom majalah. Lalu kami ngobrol di sebuah
kedai kopi. Sang Romo menemani seorang pengusaha yang sedang melakukan cangkok
hati di China. Sang pengusaha ketakutan sekali akan penyakitnya. Dan minta
ditemani. Obrolan saya dan Romo berkembang serius setelah kami menghabiskan
secangkir kopi, dan beringsut ke cangkir berikutnya. Romo juga bercerita soal
kebaikan dan kebajikan. Saya ingat betul beliau mengutip sebuah ayat di
Alkitab, Matius - 5:39 yang berbunyi, "Tetapi Aku
berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu,
melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi
kirimu". Saya sempat tersenyum ketika mendengar ayat kontroversial itu.
Karena ketika saya sekolah dulu, ayat itu sering diutarakan dalam berbagai misa
dan kebaktian, namun seringkali ayat itu lebih diagungkan sebagai sikap dan
kepribadian Kristus yang luar biasa. Yang sangat bijak dan welas asih.
Lain dengan cerita Romo sore itu
kepada saya. Beliau menasehati saya, bahwa yang diajarkan Kristus sangat
sederhana. Jangan membalas kejahatan dengan kejahatan. Rumusnya cuma satu.
Apapun juga harus dibalas dengan kebaikan. Hanya kebaikan yang patut kita
lakukan. Bayangkan saja kalau dunia ini lebih banyak orang berbuat baik. Maka
kita tidak perlu polisi. Kita tidak perlu penjara. Kita tidak perlu senjata.
Tidak akan ada korupsi. Tidak akan ada kejahatan. Anda mungkin tertawa ! Dan
berkata - "mana mungkin sih". Karena terus terang kita semua selalu
ragu pada kebaikan. Tidak pernah percaya pada kebaikan. Pemimpin dunia saja
masih meragukan pada kebaikan setiap saat. Mereka lebih percaya kepada senjata
dan tentara. Andaikata pemimpin dunia percaya kepada kebaikan, dan menghapus
semua bujet militer. Dunia ini akan sejahtera. Aman dan makmur. Seperti lagu
John Lennon, "berikanlah kesempatan pada perdamaian".
Lalu apakah sejak peristiwa itu
saya otomatis jadi orang baik ? Tentu saja tidak. Tapi cerita Romo memotivasi
saya untuk lebih banyak berbuat kebaikan. Perlahan-lahan saya rasakan
akibatnya. Pertama saya lebih bisa membedakan mana yang baik dan mana yang
jahat. Saya lebih mudah memilih kebaikan. Kedua, lingkungan saya terasa penuh
dengan enerji kebaikan yang positif. Orang disekeliling saya perlahan-lahan
lebih banyak berbuat kebaikan. Dan ketiga yang saya rasakan kebaikan selalu
mendatangkan lebih banyak kebahagian.
Hal luar biasa yang kini saya
rasakan, adalah kebaikan yang telah saya perbuat, seperti benih yang saya
tanamkan. Entah sudah berapa kali saya alami, seolah benih yang saya tanamkan
akhirnya berbuah. Entah berapa kali, saya mengalami kesulitan, selalu saja saya
menemukan solusi dan jalan keluarnya. Hidup ini seperti ada yang menuntun.
Apakah itu Tuhan atau bukan ? Yang terpenting, saya merasakan kehadiran itu.
Hingga saya berani mengatakan kepada siapa saja, "Tuhan itu ada bung
!"
Saya percaya bahwa dunia ini hanya
akan bisa berubah dengan kita bersama-sama berbuat kebaikan. Bukan bersama-sama
berbuat kejahatan. Rumus ini lebih masuk akal rasanya.