Beringsut malam merangkak
perlahan menuju tengah malam. Kuhirup udara Jakarta. Terasa penuh jelaga. Beberapa perempuan dengan pakaian
sangat seronok turun dari taxi. Dua diantaranya tersenyum dengan genitnya.
Goda-an yang penuh dengan arti. Saya cuma tersenyum kecil. Menikmati godaan
tersebut. Seorang penjaga pintu didepan loby hotel menegur saya :”Perlu taxi
boss ?”. Saya mengangguk perlahan. Ketika mau masuk kedalam taxi, sang penjaga
pintu hotel bertanya :”Kemana mobilnya boss ?”. Saya tidak menjawab hanya
menyelipkan tip ditangannya. Ia tertawa kecil dan mengucapkan selamat malam.
Saya merebahkan tubuh yang penat
ini didalam taxi. Terasa seperti sebagian beban melayang sirna. Supir taxi
menggoda saya, berkata lirih : “Koq, sudah pulang boss. Ngak jadi ikut kedalam
?”. Pasti sang supir taxi ikut menjadi saksi dan melihat soal insiden perempuan
berbaju seronok yang menggoda saya didepan loby hotel. Saya tertawa saja dan
menjawab singkat :”Wah, sudah ngak ada tenaga mas”. Sang supir taxi ikut
tertawa dan membalas : “Kan harus –‘Enjoy
Jakarta’- kata bapak gubernur”. Saya membalas tertawa. Serba salah memang.
Slogan “Enjoy Jakarta” seringkali
diejek oleh teman-teman. Buat mereka apa sih yang mau dinikmati soal Jakarta. Masa
sih yang dinikmati, polusinya, macetnya, dan banjirnya ? Dan kalau dibilang mau
dinikmati soal kehidupan malamnya ? Jakarta juga masih kalah jauh dengan
metropolis kayak Hongkong, Tokyo, Seoul dan ataupun dibanding Kuala Lumpur atau
Singapura. Bilamana dipaksakan slogan itu, seolah kita menjual kemaksiatan
kehidupan malam Jakarta. Benarkah itulah merek Jakarta yang sesungguhnya ?
Sampai-sampai kalau kami bercanda diantara teman, dan ada beberapa yang pulang
pagi sehabis berpesta ria, mereka selalu menjawab dengan klise , “kan harus ‘Enjoy Jakarta’ …..”
Dibundaran Hotel Indonesia,
beberapa anak jalanan masih berusaha mengemis. Salah satu diantaranya
mengendong bayi yang sedang tidur terlelap. Sang supir taxi berkata lirih : “….
Saya koq suka mikir, itu anak bayi selalu tidur enak digendong sembari diajak mengemis,
ngak siang, ngak malam, pasti dikasih obat apa gitu ? Anak saya dirumah koq
ngak bisa anteng kayak gitu ???” Lalu sang supir taxi melanjutkan
pertanyaan-nya kenapa tidak ada petugas yang menangkapi mereka dan memeriksa
sang bayi. Karena pasti kalau sang bayi dikasih obat tidur setiap hari,
lama-lama kesehatannya akan terganggu. Tiba-tiba saja hati saya gusar dengan
pertanyaan seperti itu. Karena rasa kuatir-nya memang masuk akal.
Iseng-iseng saya bertanya, nanti
pas pemilihan ia mau coblos calon gubernur yang mana. Sang supir taxi tidak
langsung menjawab. Ia menghela nafas panjang. Lalu bercerita kisah hidupnya,
kakek dan neneknya orang Betawi asli. Asal Kemayoran. Ayah dan Ibunya juga
orang Betawi asli. Ia dan istrinya juga orang Betawi asli, namun sekarang
tinggal di Tanggerang. Semata-mata tidak lagi sanggup punya rumah di Betawi,
karena sudah terlalu mahal. Dan ia tak sanggup bersaing dengan pendatang dari
luar Betawi. Tiba-tiba saja saya merasakan kesedihan yang mendalam dalam nada
bicara sang supir taxi. Ia merasa menjadi orang Betawi yang terpinggirkan.
Lanjut sang supir taxi : “Saya binggung boss, ada bekas gubernur, ada bekas
walikota, ada bekas bupati, ada bekas jendral, ada bekas ketua partai, dan ada
juga ahli ekonomi, semuanya pengen jadi gubernur Jakarta. Apa ngak mabok
nantinya ngurus Jakarta ? Emang enak jadi gubernur Jakarta ? Apa sih niat
mereka ?”. Kini giliran saya yang tertawa. Karena ucapan sang supir taxi terasa
meninju semua syaraf saya. Dan rasa penat yang saya rasakan tiba-tiba sirna.
Rasa kantuk saya terusik.
Sepanjang sisa perjalanan pulang,
kami melewati Sudirman. Dan kami ngobrol lepas tentang berbagai topik soal
Jakarta. Mulai dari macet, banjir, sampah, hingga kemiskinan. Tiba-tiba saja
saya melihat sang supir taxi penuh dengan “street wisdom”. Sepuluh tahun
menjadi supir taxi dan setiap hari keliling Jakarta, pasti banyak yang dilihat.
Pasti banyak pula yang dicerna. Barangkali sang supir taxi mirip filsuf jalanan
soal Jakarta. Barangkali juga ia patut dianggkat menjadi staf ahli gubernur
mendatang. Saat menjelang tiba dirumah saya, iseng-iseng saya tanya ia mau
coblos calon gubernur yang mana ? Ia tertawa tergelak. Seolah mengejek saya. Katanya
ia tidak bisa memilih sejak punya KTP Tanggerang. Ia kan warga Jakarta yang
terpinggirkan. Saya jadi iba mendengarnya. Namun sembari tertawa ia mengatakan
bahwa kalaupun ia boleh mencoblos, ia akan pilih gubernur dari planet. Dan
sayangnya memang kali ini, tidak ada calon gubernur dari planet. Sayangnya
sebelum saya sempat bertanya, ia sudah melanjutkan perjalanannya. Hilang
ditelan kegelapan malam.
Orang kecil seperti sang supir
taxi, punya suara yang jauh lebih jujur. Ia tidak punya agenda. Ia polos orang
kecil yang menjalani hidup sehari-hari di Jakarta. Apapun situasinya. Tidak
peduli panas, hujan dan ataupun banjir. Kejujurannya bukanlah keajaiban.
Melainkan seringkali hanya itu yang mereka punya. Mereka juga bukan luar biasa
berani, ketika jujur. Tetapi kejujuran tersebut hanya satu-satunya tempat
pegangan mereka. Percuma bagi mereka punya sekian keinginan seperti janji dan
slogan kampanye. Karena sekolah gratis dan pengobatan gratis toh tidak akan
dinikmati keluarga supir taxi tersebut. Ia orang Betawi yang dipinggirkan, dan
ia tidak bakal bisa menikmati semuanya apa yang dijanjikan calon gubernur. Karena
realitanya ia adalah penduduk Tanggerang.
Jadi sah-sah saja, kalau sang
supir taxi bertanya-tanya, koq ada orang repot-repot mau jadi gubernur Jakarta.
Apa motifnya ? Apa alasan-nya ? Adakah calon gubernur Jakarta yang mau
sejujur-jujurnya mengatakan apa alasan beliau ingin menjadi gubernur Jakarta ? Yang kita dengar cuma janji, bahwa kalau
mereka terpilih mereka akan ini dan itu. Tidak ada satupun yang berani jujur
dan menatap mata kita dan berkata, mengapa mereka mau jadi gubernur Jakarta ?
Seorang pensiunan polisi mengatakan pada saya, jaman dulu menjadi gubernur
Jakarta, karena diberi mandat penugasan. Maka tugas itu harus diamankan dan
diamalkan secara bertanggung jawab. Jaman sekarang beda, calon gubernur justru
mengajukan diri dan minta dipilih. Jadi alas an kenapa mereka mau jadi gubernur
Jakarta sangat penting.
Guru dan mentor saya, Mpu Peniti
pernah berkata, bahwa banyak manusia tidak sama dengan kemanusian yang banyak. Banyak
manusianya tapi nol kemanusian-nya, maka kita kehilangan nilai dan arti. Barangkali
saatnya kita bertanya dimana kemanusian kita ? Barangkali ada baiknya seorang calon gubernur
menjelaskan dengan jujur, kepada kita alas an sesungguhnya dia mau jadi
gubernur. Bilamana tidak ada yang berani, saya akan berpihak kepada supir taxi.
Dan memilih calon gubernur dari Planet Mars.
Sang supir taxi berkisah, bahwa
kalau ia ngotot mau tinggal di Jakarta, ia akan punya rumah petak ditengah kampung
yang kumuh. Selalu kebanjiran. Dan disekelilingnya lebih banyak pengangguran
dari pada yang kerja. Serta tetangga yang terlibat narkoba dan berbagai
keributan. Ia merasa itu bukan tempat yang manusiawi buat keluarganya. Maka ia
mengorbankan semua statusnya sebagai orang Betawi agar keluarganya punya tempat
tinggal yang lebih manusiawi. Ia rela telanjang menanggalkan semua atributnya
sebagai orang Betawi dan kehilangan haknya atas Jakarta yang ia cintai.
Barangkali kita perlu
membersihkan kaca-mata kita. Melihat Jakarta lebih manusiawi. Dan membereskan
masalah yang ada didepan kita. Yang terlihat begitu nyata. Soal anak jalanan.
Jalan yang berlubang. Kesempatan berdagang. Dan kali yang penuh dengan sampah. Daripada
kita janji yang muluk-muluk. Membuat Jakarta lebih manusiawi untuk kita tempati
sebagai rumah.
Jadi, bapak calon gubernur ? Apa alasan
anda ingin jadi Gubernur Jakarta ?