Thursday, March 29, 2007
Sunday, March 25, 2007
KAFI KURNIA - The Laughing Marketing Guru
Jakarta Post - Features - August 20, 2003
T. Sima Gunawan, Contributor, tabita@cbn.net.id
Kafi Kurnia was talking about corruption during a radio program last week when he suddenly burst into laughter. One of the listeners, became upset and immediately called the radio station to warn him to be more serious in addressing such problems.
Kafi apologized, explaining that he had no intention to laugh at anyone.
Indeed, Kafi laughs a lot. He attributes his ability to laugh, even during the hard times, to John Irving. "He talked about tragedy in his books, but still he could make us laugh at his dark humor."
But Kafi's own story is far from tragic. At 43, he is known as a successful consultant in the fields of communication and marketing. A managing director of Interbrand, and a consultant for a Singapore-based company, he is often invited to speak at universities around the country. Every Wednesday he talks on the radio and he writes regularly. A collection of his writing was published in 2001, and his second book will hit the shelves next month.
He used to work for the Hero Group and moved to another company -- which holds the license for Levi's, Nike and other international brands -- before he established his own consulting firm.
Among his clients are government offices, including the Ministry of Health and the Ministry of Maritime Affairs and Fisheries. He was asked for his advice on humanitarian programs in Aceh. And the Ministry of Maritime Affairs asked him to devise promotional strategies for the launching of the year of the sea.
The government, he said, lacks the skills needed to promote their own program.
"It's not that we are a low profile nation. Actually that is just a myth. Many of us are actually very high profile," he said.
One of the reasons why government officials lack in promotional skills, according to Kafi, is because of the centralized bureaucracy. Civil servants are accustomed to asking for petunjuk, or direction, from their supervisor and will not act on their own initiative.
He said that some programs promoted by the central government were very successful -- such as the family planning program -- as Indonesia was able to sharply curb its population growth. The claim of some activists, who said that coercion was used in the implementation of the program, was just a reflection of the era.
"Well, if the officials got results at any cost, was that so unusual? At that time it happened."
Kafi has a great interest in politics and the economy. He could happily spend hours discussing potential next-presidents. And he enthusiastically argues that Indonesia needs the leadership of an entrepreneur, in order to establish the welfare of the people.
"We have so many excellent commodities we could sell internationally, unfortunately, we cannot sell them," he lamented.
His first lesson in politics was from William Booth, the founder of the Salvation Army -- which opened many schools across the country. Booth believed that it was impossible to teach the people about salvation if they were hungry.
"This dependency is also the case with politics and the economy. They are one. Politics can not work without money," Kafi said on Friday, while having his lunch - spaghetti bolognaise, mango juice and an espresso - at a five-star hotel cafe in the heart of Jakarta.
Wasn't he afraid of a bomb attack?
"I was thinking of boycotting such places, not because of the bomb threat, but because of the excessive yet inappropriate security measures. There were times when I was checked not by a bomb detector, but by a metal detector," he grumbled.
Kafi, who was born in Jakarta, was educated in a Protestant elementary school run by the Salvation Army here, and later went to a Catholic high school. He then studied for an MBA degree in marketing at the liberal campus of the New South Wales Institute of Technology in Australia, where he also shaped his spiritual life. The young Kafi was at that time questioning his faith.
"Religion is one of the biggest mysteries," he said. His professor approached the restless young man -- who was looking for all the answers in his spiritual quest -- and said, "Why don't you return to your roots?" And Kafi began to contemplate what it was to be an Indonesian Chinese and started to learn about Eastern philosophy, including the teaching of Tao, Confucius, Gandhi and Buddha.
"Finally, I decided to become a Buddhist," said Kafi.
His parents are Confucians. His late father was a journalist with Harian Indonesia, a Chinese newspaper, and his mother an entrepreneur. He has two younger brothers and is not married. Like other men who remain single, Kafi is experiencing social pressure, especially from his mother. He says he is single because he has not found the right woman.
"A woman should complement me. I believe that a man and a woman are created to complete each other," said Kafi, who loves reading - he always reads in the toilet and in his car.
But without a woman, Kafi does not find his life empty or flawed.
"Its just like a bicycle. A bicycle has two wheels. But there are also monocycles (one-wheeled cycles)," he said.
Thursday, March 15, 2007
Wednesday, March 14, 2007
HUMOR DAN PARODI
Parodi sebenarnya memang bagian dari humor. Parodi sendiri, menurut kamus, memang humor yang berkarakter mengolok-olok. Persis karikatur. Jadi, kalau acara TV itu dilarang karena alasan mengolok-olok, maka semua karikatur di negeri ini juga harus dilarang. Kalau juga olok-olok dianggap tidak sopan dan tidak sesuai dengan budaya kita, barangkali olok-olok bakal dilarang di segala bidang.
Maka, Lembaga Sensor dan Komisi Penyiaran akan pontang-panting bekerja mengawasi semua humor. Karena mereka harus menginterpretasi mana yang olok-olok dan yang bukan. Tak lama kemudian, humor akan pelan-pelan punah. Dan kita akan jadi bangsa yang judes. Bayangkan saja kalau humor adalah tindakan kriminal. Runyam, bukan?
Padahal, sejumlah buku dan berbagai penelitian mengungkapkan, konon humor adalah bagian dari EQ atau kecerdasan emosi. Lucu dan menggelitik jelas bukanlah sesuatu yang mudah. Melucu itu susah bukan main. Steve Sultanoff, mirthologist danclinical psychologist mengatakan bahwa humor sangat manjur sebagai terapi. ,"Humor, it is a perspective or way of being in the world--a way of enjoying the ups and downs of life."
Humor bisa mengubah perasaan kita, sikap, dan juga biochemistry tubuh. Humor sering digunakan sebagai terapi penyembuhan. Tertawa jelas sangat sehat. Malah tertawa sering disebut "jogging of the internal organs". Tertawa melepas hormon endorphins dalam tubuh manusia. Konon, hormon inilah yang membuat kita rileks dan membuat tubuh kebal dari penyakit. Tertawa terbukti meningkatkan aktivitas otot dan pernapasan, menstimulasi sistem kardiovaskuler, dan mampu meningkatkan toleransi kita terhadap rasa sakit. Juga merendahkan denyut jantung dalam situasi tertawa terbahak-bahak.
Pada 1990, setelah ayah saya wafat, saya mengalami stres berat. Sebelumnya, dokter juga memperingatkan saya untuk mencari pekerjaan yang stress level-nya lebih rendah. Bila tidak, dokter menyatakan bahwa saya akan mengalami stroke dalam usia muda. Saat itulah saya bertemu dengan Mpu Peniti. Beliau pula yang mengajari saya untuk melihat apa pun dengan perspektif lebih luas. Dan beliau juga yang melatih saya agar lebih cerdas emosi dengan lebih peka melihat sesuatu dengan aspek humor. Bukan untuk mengolok-olok, melainkan agar lebih toleran, lebih pasrah, dan lebih menerima segala macam situasi. Kalau kita bisa melihat sisi humor dari setiap kejadian, toleransi kita biasanya lebih terbuka dan dalam.
Humor juga senjata utama dalam ilmu pemasaran. "Humor sells", begitu kredo para pemasar. Itu sebabnya, dalam ilmu periklanan, biasanya desainer iklan dan komunikasi memilih dua medium yang paling favorit: seks dan humor. Tidak semua produk bisa ditampilkan secara sensual dengan medium seks. Tetapi semua produk, tanpa terkecuali, laku dikemas dengan humor. Tidak percaya? Tonton saja iklan-iklan yang ditayangkan televisi kita, hampir lebih dua pertiganya barangkali dikemas dengan gaya humor.
Ada satu kasus pemasaran yang saya kagumi. Yaitu kasus permen mint Altoids. Produk Altoids sendiri sudah cukup lama, konon diciptakan pada 1780, sebagai permen mint untuk penyegar mulut, di Inggris. Asal mulanya, konon di tahun 1800 permen ini selalu mengusik rasa penasaran orang, karena permen mint ini dijual dalam sebuah kaleng kecil. Sehingga setiap kali orang mengambil permen mint dan mengunyahnya, orang-orang di sebelahnya selalu penasaran, "Orang itu mengunyah apa sih?"
Maklum, kaleng masih dianggap sesuatu yang luks pada periode itu. Lama-lama permen mint ini dikenal sebagai "The Original Celebrated Curiously Strong Peppermints". Hingga kini, kaleng kecil itu tetap populer di kalangan konsumennya. Sebab, setelah permennya habis, sang kaleng bisa digunakan untuk menyimpan aneka barang. Mulai baterai IPod hingga untuk menyimpan ganja dan tembakau.
Ketika produk ini akan dijual di Amerika, maka rasa penasaran itu dirasakan perlu untuk ditularkan. Hanya saja, zaman sekarang orang tidak akan merasa aneh dengan kemasan kaleng seperti itu. Solusinya, diciptakan iklan-iklan bergaya parodi, yang diselipi rasa penasaran. Iklan-iklan parodi Altoids laku keras. Malah sampai dikoleksi orang. Uniknya, lama-lama muncul juga "urban legends" di internet yang menceritakan bahwa permen mint Altoids digunakan konsumennya dalam oral seks dan konon bisa meningkatkan kepuasan para pelakunya.
Parodi dan humor memang terbukti ampuh dalam pemasaran. Menurut Mpu Peniti, seorang pemimpin hanya akan diparodikan dan ramai diparodikan karena memang ada tingkah lakunya yang nyeleneh sehingga mengundang humor. Tapi, kalau perilakunya apik, parodinya juga tidak akan ramai. Toh, kalaupun dipaksakan parodinya, penonton tidak akan terpengaruh, dan acara TV itu akan sepi ditonton orang. Jadi, menurut Mpu Peniti, mestinya para pemimpin cuek saja kalau diparodikan. Syukur-syukur malah bisa bertambah populer.
Monday, March 05, 2007
MUKTI
“Karma is a Sanskrit word which literally means ‘action’. This is a key concept in Buddhism, as it is in Hinduism. At its most simple, the Buddha taught that our actions (including thought, word and deed) have consequences.”
SEPULANG dari Chicago, saya mendapat sebuah SMS dari Mpu Peniti. Isinya, beliau minta dibelikan sarung untuk Lebaran. Hati saya langsung merasa galau. Bertahun-tahun saya berguru dan mencari ilmu kepada beliau, belum pernah sekalipun beliau minta sesuatu kepada saya. Hadiah yang ingin saya berikan juga selalu ditolaknya dengan halus. Dengan perasaan bercampur aduk, saya pun pergi mencari sarung untuk Mpu Peniti. Mumpung beliau sedang berkenan, sekalian saya belikan sajadah dan peci baru.
Ketiga hadiah itu saya bungkus rapi, dan berangkatlah saya ke rumahnya. Ketika menyambut kedatangan saya, wajah Mpu Peniti terlihat sangat gembira dan berseri-seri. Ketiga hadiah itu dibawanya masuk ke kamar tidur. Dan tak lama kemudian beliau keluar.
Tangannya menenteng bungkusan -- rupanya hadiah dari saya, oleh Mpu Peniti dibungkus kembali dengan kertas koran-- dan diserahkan kepada saya. Dengan suara berat dan serak, ia meminta agar saya memberikan ketiga hadiah itu kepada orang yang lebih membutuhkan. Tentu saja saya kaget. Apakah Mpu Peniti tidak berkenan dengan hadiah saya?
Mpu Peniti tertawa, katanya ia tahu betul bahwa saya telah menghabiskan waktu dan uang tidak sedikit untuk mencarikan hadiah sebagus itu. Tapi kini saatnya saya belajar memberi. Begitu nasihatnya. Ia cukup mendapatkan kotak hadiah dan kertas pembungkus kado. Isinya beliau serahkan kembali kepada saya untuk diberikan kepada orang lain.
Pulang ke rumah, saya bingung. Kepada siapa saya harus memberikan hadiah ini? Kalau mau, mudah saja memberikannya kepada sembarang orang. Tapi mencari orang yang patut diberi dengan derajat setinggi Mpu Peniti --seorang guru, mentor, dan pribadi yang saya kagumi-- rasanya sulit sekali. Akhirnya saya menyerah, dan kembali lagi ke rumah Mpu Peniti. Beliau tersenyum melihat muka kusut saya. "Negeri ini sedang sakit berat. Kita butuh pemimpin yang mau dan berani melakukan mukti," bisik beliau dengan suara bergetar, sambil memeluk saya erat-erat.
Mukti konon berasal dari kepercayaan Hindu. Mukti terdiri dari tiga elemen: ilmu, bhakti, dan karma. Mukti atau moksa merupakan sebuah ajaran yang secara konsisten dipraktekkan oleh Mahatma Gandhi, sebagai medium agar kita eling dan terbebas dari segala tekanan. Tetapi bisa tetap berprestasi dengan baik dan netral. Artinya sempitnya, seorang pemimpin harus berilmu - mau belajar terus hingga selalu memiliki pengetahuan yang cukup. Lalu mem-bhakti-kan ilmunya. Mengamalkan pengetahuan itu, dengan melakukan perubahan-perubahan penting, yang mampu mewujudkan karma orang banyak. Gandhi sendiri menyebut mukti atau moksa sebagai self-realization. Bagaimana seorang pemimpin menyadari status, posisi dan peran yang wajib ia perankan. Sehingga kepemimpinan-nya bermanfaat bagi orang banyak.
Dengan selalu belajar, seorang pemimpin akan ”ngelmu” – yaitu semakin eling tentang segala kekurangan dan kelemahannya. Ia akan semakin tahu diri, tidak arogan, dan mau merendah. Lewat bhakti dan pengamalan ilmunya, ia menjadi mercusuar yang memandu di tengah kegelapan. Sang pemimpin akan menjadi pemicu perubahan. ”The Agent of Changes” Perubahan yang kan menstimulasi kemajuan, terobosan dan inovasi. Perubahan yang akan mengubah nasib orang banyak.
Usai Ramadan yang sangat suci, Mpu Peniti memperingatkan saya agar eling sekali lagi. Meminta dan memberi bisa menjadi proses mukti yang bijak. Betapa sering kita memberikan barang-barang mewah kepada klien, relasi, sanak saudara, dan keluarga. Tanpa benar-benar berusaha menyelidiki apa yang dibutuhkan orang yang akan kita beri. Atau lebih sering asal beri. Kita tidak membaktikan pengetahuan kita selama bertahun-tahun mengenal mereka. Apa yang mereka butuhkan mungkin sangatlah spesifik. Seorang direktur bank mengatakan, barangkali hanya 10% bingkisan Lebaran yang diterimanya benar-benar bermanfaat. Sisanya serba tidak keruan. Memberikan hadiah yang tepat mungkin akan membuat orang yang menerima menjadi sangat berbahagia.
Mpu Peniti menasihati, kita tidak bisa memberi dengan bijak karena tak pernah mau belajar meminta dengan benar. Kita seringkali asal minta apa saja. Kadang menjadi sangat serakah. Kalau kita sudah belajar banyak dengan memberi, maka permintaan dan tuntutan kita juga menjadi lebih sederhana. Pengalaman saya dengan Mpu Peniti menyadarkan saya.
Barangkali hal terbaik yang bisa saya berikan kepada beliau adalah doa yang tulus, agar beliau senantiasa diberi kesehatan yang baik dan umur panjang. Ketika hari Lebaran saya menyempatkan diri sujud kepada beliau, dan minta maaf. Kata-kata dan bisikan beliau menyambut dan menerima ucapan maaf saya secara tulus, merupakan pemberian yang paling berharga. Hingga hari ini, itulah hadiah terbesar yang pernah diberikan beliau kepada saya.