Sunday, July 08, 2012

JAKARTA BUTUH GUBERNUR DARI PLANET MARS



Beringsut malam merangkak perlahan menuju tengah malam. Kuhirup udara Jakarta. Terasa penuh jelaga. Beberapa perempuan dengan pakaian sangat seronok turun dari taxi. Dua diantaranya tersenyum dengan genitnya. Goda-an yang penuh dengan arti. Saya cuma tersenyum kecil. Menikmati godaan tersebut. Seorang penjaga pintu didepan loby hotel menegur saya :”Perlu taxi boss ?”. Saya mengangguk perlahan. Ketika mau masuk kedalam taxi, sang penjaga pintu hotel bertanya :”Kemana mobilnya boss ?”. Saya tidak menjawab hanya menyelipkan tip ditangannya. Ia tertawa kecil dan mengucapkan selamat malam.

Saya merebahkan tubuh yang penat ini didalam taxi. Terasa seperti sebagian beban melayang sirna. Supir taxi menggoda saya, berkata lirih : “Koq, sudah pulang boss. Ngak jadi ikut kedalam ?”. Pasti sang supir taxi ikut menjadi saksi dan melihat soal insiden perempuan berbaju seronok yang menggoda saya didepan loby hotel. Saya tertawa saja dan menjawab singkat :”Wah, sudah ngak ada tenaga mas”. Sang supir taxi ikut tertawa dan membalas : “Kan harus –‘Enjoy Jakarta’- kata bapak gubernur”. Saya membalas tertawa. Serba salah memang. Slogan “Enjoy Jakarta” seringkali diejek oleh teman-teman. Buat mereka apa sih yang mau dinikmati soal Jakarta. Masa sih yang dinikmati, polusinya, macetnya, dan banjirnya ? Dan kalau dibilang mau dinikmati soal kehidupan malamnya ? Jakarta juga masih kalah jauh dengan metropolis kayak Hongkong, Tokyo, Seoul dan ataupun dibanding Kuala Lumpur atau Singapura. Bilamana dipaksakan slogan itu, seolah kita menjual kemaksiatan kehidupan malam Jakarta. Benarkah itulah merek Jakarta yang sesungguhnya ? Sampai-sampai kalau kami bercanda diantara teman, dan ada beberapa yang pulang pagi sehabis berpesta ria, mereka selalu menjawab dengan klise , “kan harus ‘Enjoy Jakarta’ …..”

Dibundaran Hotel Indonesia, beberapa anak jalanan masih berusaha mengemis. Salah satu diantaranya mengendong bayi yang sedang tidur terlelap. Sang supir taxi berkata lirih : “…. Saya koq suka mikir, itu anak bayi selalu tidur enak digendong sembari diajak mengemis, ngak siang, ngak malam, pasti dikasih obat apa gitu ? Anak saya dirumah koq ngak bisa anteng kayak gitu ???” Lalu sang supir taxi melanjutkan pertanyaan-nya kenapa tidak ada petugas yang menangkapi mereka dan memeriksa sang bayi. Karena pasti kalau sang bayi dikasih obat tidur setiap hari, lama-lama kesehatannya akan terganggu. Tiba-tiba saja hati saya gusar dengan pertanyaan seperti itu. Karena rasa kuatir-nya memang masuk akal.

Iseng-iseng saya bertanya, nanti pas pemilihan ia mau coblos calon gubernur yang mana. Sang supir taxi tidak langsung menjawab. Ia menghela nafas panjang. Lalu bercerita kisah hidupnya, kakek dan neneknya orang Betawi asli. Asal Kemayoran. Ayah dan Ibunya juga orang Betawi asli. Ia dan istrinya juga orang Betawi asli, namun sekarang tinggal di Tanggerang. Semata-mata tidak lagi sanggup punya rumah di Betawi, karena sudah terlalu mahal. Dan ia tak sanggup bersaing dengan pendatang dari luar Betawi. Tiba-tiba saja saya merasakan kesedihan yang mendalam dalam nada bicara sang supir taxi. Ia merasa menjadi orang Betawi yang terpinggirkan. Lanjut sang supir taxi : “Saya binggung boss, ada bekas gubernur, ada bekas walikota, ada bekas bupati, ada bekas jendral, ada bekas ketua partai, dan ada juga ahli ekonomi, semuanya pengen jadi gubernur Jakarta. Apa ngak mabok nantinya ngurus Jakarta ? Emang enak jadi gubernur Jakarta ? Apa sih niat mereka ?”. Kini giliran saya yang tertawa. Karena ucapan sang supir taxi terasa meninju semua syaraf saya. Dan rasa penat yang saya rasakan tiba-tiba sirna. Rasa kantuk saya terusik.

Sepanjang sisa perjalanan pulang, kami melewati Sudirman. Dan kami ngobrol lepas tentang berbagai topik soal Jakarta. Mulai dari macet, banjir, sampah, hingga kemiskinan. Tiba-tiba saja saya melihat sang supir taxi penuh dengan “street wisdom”. Sepuluh tahun menjadi supir taxi dan setiap hari keliling Jakarta, pasti banyak yang dilihat. Pasti banyak pula yang dicerna. Barangkali sang supir taxi mirip filsuf jalanan soal Jakarta. Barangkali juga ia patut dianggkat menjadi staf ahli gubernur mendatang. Saat menjelang tiba dirumah saya, iseng-iseng saya tanya ia mau coblos calon gubernur yang mana ? Ia tertawa tergelak. Seolah mengejek saya. Katanya ia tidak bisa memilih sejak punya KTP Tanggerang. Ia kan warga Jakarta yang terpinggirkan. Saya jadi iba mendengarnya. Namun sembari tertawa ia mengatakan bahwa kalaupun ia boleh mencoblos, ia akan pilih gubernur dari planet. Dan sayangnya memang kali ini, tidak ada calon gubernur dari planet. Sayangnya sebelum saya sempat bertanya, ia sudah melanjutkan perjalanannya. Hilang ditelan kegelapan malam.

Orang kecil seperti sang supir taxi, punya suara yang jauh lebih jujur. Ia tidak punya agenda. Ia polos orang kecil yang menjalani hidup sehari-hari di Jakarta. Apapun situasinya. Tidak peduli panas, hujan dan ataupun banjir. Kejujurannya bukanlah keajaiban. Melainkan seringkali hanya itu yang mereka punya. Mereka juga bukan luar biasa berani, ketika jujur. Tetapi kejujuran tersebut hanya satu-satunya tempat pegangan mereka. Percuma bagi mereka punya sekian keinginan seperti janji dan slogan kampanye. Karena sekolah gratis dan pengobatan gratis toh tidak akan dinikmati keluarga supir taxi tersebut. Ia orang Betawi yang dipinggirkan, dan ia tidak bakal bisa menikmati semuanya apa yang dijanjikan calon gubernur. Karena realitanya ia adalah penduduk Tanggerang.

Jadi sah-sah saja, kalau sang supir taxi bertanya-tanya, koq ada orang repot-repot mau jadi gubernur Jakarta. Apa motifnya ? Apa alasan-nya ? Adakah calon gubernur Jakarta yang mau sejujur-jujurnya mengatakan apa alasan beliau ingin menjadi gubernur Jakarta ?  Yang kita dengar cuma janji, bahwa kalau mereka terpilih mereka akan ini dan itu. Tidak ada satupun yang berani jujur dan menatap mata kita dan berkata, mengapa mereka mau jadi gubernur Jakarta ? Seorang pensiunan polisi mengatakan pada saya, jaman dulu menjadi gubernur Jakarta, karena diberi mandat penugasan. Maka tugas itu harus diamankan dan diamalkan secara bertanggung jawab. Jaman sekarang beda, calon gubernur justru mengajukan diri dan minta dipilih. Jadi alas an kenapa mereka mau jadi gubernur Jakarta sangat penting.

Guru dan mentor saya, Mpu Peniti pernah berkata, bahwa banyak manusia tidak sama dengan kemanusian yang banyak. Banyak manusianya tapi nol kemanusian-nya, maka kita kehilangan nilai dan arti. Barangkali saatnya kita bertanya dimana kemanusian kita ?  Barangkali ada baiknya seorang calon gubernur menjelaskan dengan jujur, kepada kita alas an sesungguhnya dia mau jadi gubernur. Bilamana tidak ada yang berani, saya akan berpihak kepada supir taxi. Dan memilih calon gubernur dari Planet Mars.

Sang supir taxi berkisah, bahwa kalau ia ngotot mau tinggal di Jakarta, ia akan punya rumah petak ditengah kampung yang kumuh. Selalu kebanjiran. Dan disekelilingnya lebih banyak pengangguran dari pada yang kerja. Serta tetangga yang terlibat narkoba dan berbagai keributan. Ia merasa itu bukan tempat yang manusiawi buat keluarganya. Maka ia mengorbankan semua statusnya sebagai orang Betawi agar keluarganya punya tempat tinggal yang lebih manusiawi. Ia rela telanjang menanggalkan semua atributnya sebagai orang Betawi dan kehilangan haknya atas Jakarta yang ia cintai.

Barangkali kita perlu membersihkan kaca-mata kita. Melihat Jakarta lebih manusiawi. Dan membereskan masalah yang ada didepan kita. Yang terlihat begitu nyata. Soal anak jalanan. Jalan yang berlubang. Kesempatan berdagang. Dan kali yang penuh dengan sampah. Daripada kita janji yang muluk-muluk. Membuat Jakarta lebih manusiawi untuk kita tempati sebagai rumah.

Jadi, bapak calon gubernur ? Apa alasan anda ingin jadi Gubernur Jakarta ?