Sunday, September 18, 2011

Andaikata supir taxi jadi Presiden ( Part 1 )



Menjelang krisis ekonomi 1998, saya berada di New York. Dan sempat membeli sebuah buku kecil yang berjudul TAXI DRIVER WISDOM. Sebuah uneg-uneg dari para supir taxi di New York yang sempat dikumpulkan Risa Mickenberg. Lucu, menggelitik dan kalau direnungkan terasa kebenaran yang polos terkadang nyelekit. Barangkali saja, memang Tuhan menakdirkan supir taxi memiliki pemikiran yang sangat berbeda. Yang membuat mereka bijaksana dengan cara yang sangat unik. Bayangkan saja, seorang supir taxi bisa keliling kota selama 8-12 jam seharinya. Bertemu dengan puluhan hingga ratusan orang tiap hari. Berinterkasi dengan mereka. Hingga akhirnya muncul persepsi yang sangat istimewa ini. Lalu menjadi pelajaran hidup dengan sudut pandang yang tidak akan kita temukan dimana-pun.

Terus terang, awalnya saya seringkali segan, ngobrol dengan supir taxi. Kadang dalam berbagai perjalanan yang melelahkan, tidak jarang supir taxi mengusik kantuk dan lelah saya. Terkadang kita suka bertemu juga dengan supir taxi yang bawel dan bicara ngalor ngidul ngak keruan. Hal itu sering terasa tidak nyaman. Namun setelah membaca buku TAXI DRIVER WISDOM, saya jadi lebih memberikan perhatian. Dan sesekali saya bertemu dengan supir taxi yang memberikan saya sejumlah pencerahan hidup yang sangat bernilai. Beberapa diantaranya saya kumpulkan dalam 10 tahun terakhir ini.

Sebut saja supir taxi ini pak Koeswanto. Saya naik Taxi pak Koes dari hotel menuju Bandara di Surabaya. Badannya kekar. Usianya mungkin menjelang 50 an. Rambutnya tipis hampir botak. Dan dipergelangan tangannya ia memakai gelang bahar. Ia mengaku dari Madiun. Di ajak ikut saudaranya berpetualang di Surabaya. Konon ia sudah 20 tahun lebih di Surabaya. Sempat bekerja bermacam-macam. Mulai dari penjaga gudang hingga berjualan soto. Namun sudah 8 tahun terakhir ini ia menjadi supir taxi.

Dalam perjalanan ke Bandara, kami melihat sekelompok anak muda memadati bagian jalan, sehingga membuat jalan menjadi macet. Pak Koes lalu menggerutu macam-macam. Sampai pada kisah yang menarik, menurut cerita beliau. Salah satu tetangga beliau, anaknya masuk rumah sakit karena demam berdarah. Tidak ada biaya. Dan anak sang tetangga tidak bisa ditebus. Mulanya saya tersenyum saja. Ini cerita biasa di republik ini. Kisahnya banyak kita temukan dikoran setiap hari. Dan sayapun bisa menebak kelanjutan cerita, pasti tetangganya akan menjadi maling dan nyolong sesuatu. Benar saja. Lanjut pak Koes sang tetangga lalu nyolong dan menjadi maling. Ia membawa kabur motor salah satu tokoh terpandang di kampong. Tertangkap basah oleh massa dan sang tetangga digebukin habis. Ironisnya sang tetangga harus masuk rumah sakit dan dipenjara. Sang anak akhirnya tidak tertebus. Terpaksa para tetangga urunan dan menebus sang anak agar bisa keluar dari rumah sakit. Cerita yang biasa dan basi sebenarnya. Lalu dimana pencerahan yang kita tunggu-tunggu ?

Secara menarik lalu pak Koes mengurai cerita tadi. Kata beliau, orang kecil, seringkali di cap sebagai tidak berpendidikan, tidak tahu hokum dan seringkali main hakim sendiri. Begitu kilah pak Koes atas berita yang sering ditulis di Koran. Disinilah tanpa saya sangka datang pencerahan pak Koes. Kata beliau, orang kecil di kampong seringkali frustasi. Karena mereka merasa jarang sekali mendapat perlindungan hukum. Ia secara sinis mencontohkan dan bertanya, kapan terakhir kali saya melihat polisi membantu orang biasa menyebrang jalan ? Saya jadi tersenyum mendengarnya. Lalu ia mencontohkan bagaimana bedanya orang penting kalau berpergian. Mobil orang penting cuma satu, tapi yang mengawal bisa selusin, dan galaknya bukan main. Semua mulut jalan ditutup. Akibatnya bikin macet dimana-mana. Pak Koes tertawa terkekeh-kekeh. Ia bilang kenapa sih, para orang penting itu selalu terburu-buru ? Kenapa mereka ngak bisa pelan sedikit dan ikut bersama rakyat menikmati kemacetan kota. Secara sinis pak Koes mengatakan bahwa mungkin itulah sebabnya jalanan tetap macet, karena orang penting tidak pernah merasakan macet dan tidak pernah tau masalah macet. Inilah pencerahan pak Koes yang membuat saya terpingkal-pingkal. Iseng saya tanya apakah pak Koes mau jadi Presiden ? Biar dikawal kemana-mana ? Kini gantian pak Koes yang tertawa. Ia tidak menjawab.

Usai tertawa berdua, pak Koes melanjutkan. Ia bercerita seringkali maling digebuki ramai-ramai, bukan karena main hakim sendiri. Tapi masyarakat seringkali merasa perlu bahwa maling itu diberi pelajaran agar kapok tidak lagi mau mencuri dimasa depan. Dan menjadi peringatan agar maling-maling lain-nya tidak berani mencuri di kampong mereka. Pak Koes dengan gaya politikus kampong, lalu menggugat situasi korupsi yang sekarang beredar. Ia secara kritis mengatakan koq jaman sekarang yang korupsi semakin banyak. Lalu saya ceritakan bahwa sekarang Indonesia sedang gencar memberantas korupsi. Makanya ada KPK segala. Pak Koes tidak setuju dengan saya. Beliau bilang koruptor harus dibikin kapok. Persis maling motor tadi. Kalau perlu digebukin rame-rame dan dihukum mati. Saya terkesima. Barangkali pak Koes benar adanya. Sistim hukuman para koruptor di republik ini terlalu ringan dan tidak membuat jera para pelakunya.

Pak Koes bercerita, bahwa kenapa tetangganya mencuri motor tokoh terpandang dikampunya, semata-mata karena tokoh terpandang itu terlalu suka pamer. Dan motornya diparkir dipekarangan tanpa dikunci. Sehingga menjadi godaan terbesar. Pak Koes menyindir bahwa yang diperlukan republik ini adalah sistim untuk mencegah kemalingan. Mencegah kemalingan menurut pak Koes tidak bisa dengan menangkap maling. “Iya kalau ketangkap ? Kalau kabur malingnya ?”, begitu sanggah pak Koes. Saya bersyukur atas pencerahan unik ini. Saya yakin andaikata pak Koes jadi presiden tahun 2014 nanti, ia akan punya sistim lebih baik untuk mencegah korupsi.

Barangkali pemerintah mau memakai logika sederhana pak Koes. Bahwa di republik ini, yang diperlukan adalah pemikiran baru tentang pemberantasan korupsi. Menurunkan angka korupsi barangkali lebih murah kalau lewat pencegahan korupsi. Daripada lewat upaya menangkap sebanyak-banyaknya koruptor dan menghukumnya. Karena kita akan membutuhkan aparat, jaksa, sistim peradilan dan penjara. Juga belum tentu hukuman itu bakal membuat jera dan menjadi contoh agar orang tidak berani korupsi lagi.

Mungkin ada baiknya kita hitung berapa biaya yang sudah dikeluarkan Negara untuk memburu koruptor, menangkap koruptor, mengadili koruptor dan menghukum koruptor. Pasti akan mahal sekali. Seperti kata pak Koes, andaikata motor itu dikunci dan tidak dipamerkan secara sembrono, tetangganya tidak akan tergoda mencurinya. Kata pepatah mencegah penyakit seringkali lebih murah dari pada mengobati penyakit. Ah, andaikata pak Koes jadi Presiden saya,…….